Urusan Maut di Pemakaman

Ilustrasi/upnews.id
Ketika ikut acara pemakaman Pak Rohan tempo hari (lihat: Bapak Tua Penjual Bajigur), saya sendirian dan tidak mengenal orang-orang yang ikut dalam pemakaman tersebut, karena nyatanya saya mengenal Pak Rohan karena sering mampir ke warung bajigurnya, bukan karena hubungan famili atau semacamnya. Namun, ketika prosesi pemakaman sedang berlangsung, saya bertemu Nasir, seorang teman yang lama tidak ketemu.

Nasir kaget mendapati saya di antara orang-orang di sana, dan bertanya, “Kamu kenal Pak Rohan?”

Saya mengangguk. “Aku sering jajan bajigur di warungnya.”

Nasir mengangguk-angguk, “Nggak ngira...”

Saya balik bertanya, “Kamu sendiri, kok kenal Pak Rohan?”

“Aku keponakannya.” Lalu Nasir menjelaskan, dia adalah anak kakak Pak Rohan. 

Saya terkejut, karena juga tidak mengira.

Usai pemakaman, orang-orang mulai meninggalkan kuburan, namun keluarga Pak Rohan masih ada di sana. Nasir dan saya lalu duduk-duduk di pinggiran jalan kompleks pemakaman, cukup jauh dari makam Pak Rohan yang masih baru, lalu kami bercakap-cakap, mumpung ketemu.

Nasir adalah kakak kelas saya di SMA. Karena kami sama-sama aktif di OSIS, waktu itu, kami pun berteman akrab. Lulus SMA, Nasir kuliah di Yogya. Kalau saya dolan ke Yogya, kadang-kadang saya menginap di kosannya. Kami juga masih sering ketemuan kalau dia pas pulang saat liburan kuliah. Sampai kemudian dia sibuk kerja dan belakangan menikah, kami mulai jarang ketemu, bahkan sampai bertahun-tahun tidak pernah ketemu. Pertemuan kami di pemakaman Pak Rohan benar-benar tak terduga.

Nasir yang sekarang jauh berbeda dengan Nasir yang dulu, waktu masih belia. Badannya yang dulu ramping kini tampak subur, sementara wajahnya juga berubah jauh meski masih dapat dikenali. Karenanya saya berkata, “Kamu benar-benar manglingi, Sir.”

Nasir tersenyum, “Yeah, aku udah jadi bapak-bapak sekarang. Anakku dua. Gimana denganmu?”

“Aku masih sama kayak dulu.”

Nasir tertawa. “Ya, menurutku juga gitu. Kamu masih sangat mudah dikenali, karena nggak banyak berubah.”

Saya mengeluarkan rokok, dan berkata, “Setahuku nggak ada larangan merokok di sini.”

“Setahuku juga gitu,” sahut Nasir, dan dia ikut mengeluarkan rokok.

Duduk sambil udud di pinggir jalan pemakaman, percakapan kami perlahan-lahan sampai pada topik kematian. 

Nasir berkata, “Kamu belum menikah, dan artinya juga belum punya anak. Kalau misal—sekali lagi, misal—tahun depan kamu mati, gimana?”

Saya menyahut, “Ya nggak gimana-gimana.”

“Uhm, maksudku, kamu nggak takut kalau mati padahal belum menikah?”

Saya tersenyum. “Apa bedanya? Wong sama-sama mati. Aku nggak menikah ya mati, aku menikah ya tetap mati.”

Nasir tampak bingung. “Jadi, kamu nggak takut kalau misal mati tahun depan, padahal belum menikah?”

Saya mengisap udud, lalu menjawab, “Nggak perlu sampai tahun depan, wong umpama tahun ini aku mati pun nggak masalah. Atau misal kita lagi ngobrol gini, sekarang, pas di pemakaman, terus tiba-tiba aku mati. Ya nggak apa-apa.”

Nasir menatap saya. “Kamu serius? Maksudku, kamu sama sekali nggak takut?”

“Kenapa harus takut?”

Nasir mengisap rokoknya, kemudian berkata sungguh-sungguh, “Sejujurnya aku takut mati, dan jutaan orang lain juga takut mati. Kenapa kamu nggak takut?”

“Kamu nggak ingin dengar jawabannya.”

“Ayolah, mumpung kita ketemu.”

Saya lalu menjelaskan, “Secara umum, ada dua penyebab orang takut mati. Pertama karena berat ninggalin dunia, dan kedua karena takut pada apa yang terjadi setelah kematian. Kalau kita tanya pada siapa pun, kemungkinan jawabannya cuma seputar itu. Kamu sendiri ngaku takut mati. Pasti alasannya karena dua hal itu, kan?”

Nasir mengangguk.

Saya melanjutkan, “Nah, aku nggak punya dua hal yang bikin takut itu. Aku nggak punya apapun yang mengikatku dengan dunia, jadi aku siap mati kapan pun. Dalam contoh sederhana, aku nggak punya istri, nggak punya anak-anak, dan apapun yang kumiliki nggak pernah mengikatku, dalam arti aku bisa ninggalin kapan pun tanpa beban. Jadi, seperti yang kubilang tadi, bahkan umpama sekarang aku tiba-tiba mati, sama sekali nggak masalah bagiku, dan aku nggak berat sama sekali ninggalin kehidupan ini, karena memang nggak ada apa-apa yang mengikatku.”

“Aku mulai paham sekarang,” ujar Nasir. “Tapi itu soal dunia. Gimana soal alam kematian atau akhirat?”

“Memangnya ada apa di alam kematian atau akhirat?”

Nasir berkata serius, “Aku nggak ingin berdebat, tapi kita dulu sama-sama sekolah di SMA Islam, dan kita sama-sama diberi tahu bahwa ada alam kubur dan siksa kubur, ada surga neraka di akhirat, dan kamu juga pasti tahu. Jadi, kenapa kamu nggak takut dengan semua itu?”

“Karena kita sama-sama masih hidup dan belum ada yang pernah dikubur, juga sama-sama belum pernah melihat akhirat, mari kita asumsikan itu benar.” Saya mengisap rokok, lalu melanjutkan, “Mari asumsikan bahwa alam kubur itu ada, nikmat dan siksa kubur itu ada, akhirat itu ada, dan surga neraka juga ada. Pertanyaannya, itu sebab atau akibat?”

Nasir terdiam sesaat, lalu menjawab, “Akibat. Benar, kan? Orang dapat nikmat kubur dan masuk surga karena hidup baik di dunia, dan orang dapat siksa kubur serta masuk neraka karena hidup jahat di dunia. Begitu, kan?”

Saya mengangguk. “Nikmat dan siksa kubur, surga dan neraka di akhirat, itu akibat. Masalahnya, kebanyakan orang menganggap semua itu sebagai sebab. Akibatnya, mereka fokus pada alam kubur dan akhirat, tapi malah menjadikan mereka takut mati. Dalam hal itu, aku menjalani hidup dengan cara sebaliknya.”

“Sori, aku nggak nangkep maksudmu. Jelaskan dengan lebih sederhana.”

Rokok saya makin memendek. Saya mengisapnya sesaat, kemudian mematikannya. “Aku ingat, dulu kamu suka main basket pas SMA. Waktu main basket, kamu fokus pada bola basket di lapangan, atau fokus pada papan skor?”

“Pada bola di lapangan,” jawab Nasir.

“Pasti begitu.” Saya mengangguk. “Kalau kamu main basket, kamu harus fokus pada bola di lapangan, karena papan skor adalah akibat dari permainanmu. Kalau mainmu bagus, skormu akan tinggi. Tapi kalau mainmu buruk, skormu akan rendah. Karena kamu harus main dengan bagus, mau nggak mau kamu harus fokus pada bola yang kamu mainkan. Kalau kamu malah fokus pada papan skor, permainanmu pasti buruk, dan skormu bukannya tinggi tapi malah jeblok. Nggak ada pemain basket yang cukup tolol untuk fokus pada papan skor, sementara ia harus bermain bagus di lapangan.”

“Oke, aku paham, tapi apa hubungannya itu dengan kematian?”

“Itu analogi terkait kehidupan kita.” Saya menyulut rokok baru, lalu melanjutkan, “Lapangan basket adalah kehidupan kita, dan papan skor adalah hasil—dosa dan pahala—yang akan kita peroleh di akhirat. Karena aku masih hidup, aku menyadari harus menjalani kehidupan dengan baik, sebaik yang aku bisa. Aku nggak merisaukan kematian apalagi akhirat, karena itu papan skor. Aku hanya fokus pada kehidupanku, dan berusaha mengisinya dengan hal-hal baik yang bisa kulakukan. Soal apakah skorku bagus atau rendah, itu urusan Tuhan, bukan urusanku. Karena urusanku adalah ‘bermain’ sebaik-baiknya di lapangan kehidupan. Aku percaya Tuhan adalah Juri yang baik sekaligus adil. Jadi nggak mungkin ada penilaian yang curang, dan aku percaya itu sepenuhnya. Kepercayaan serta pemikiran itulah yang bikin aku nggak terlalu peduli pada penilaian manusia, sekaligus membuatku nggak takut lagi pada kematian.”

Nasir mengangguk-angguk. Ia mematikan puntung rokoknya, lalu berkata, “Tadi kamu bilang, kebanyakan orang menjalani kehidupan dengan cara terbalik, menganggap akhirat sebagai sebab. Gimana penjelasannya?”

“Mungkin terdengar berlebihan, tapi kebanyakan orang menjalani hidup dengan cara terbalik, mirip orang main basket tapi fokusnya pada papan skor, bukan pada bola di lapangan. Misalnya, saat melakukan apapun, mereka terus menerus mengingat akhirat, alam kubur, surga dan neraka. Padahal itu akibat. Tapi mereka menjadikannya sebagai sebab. Saat melakukan kebaikan, mereka berpikir biar dapat pahala dan masuk surga. Menjauh dari keburukan, mereka berpikir biar nggak dapat dosa dan biar nggak masuk neraka. Mereka menjalani hidup dengan fokus pada akhirat. Padahal akhirat cuma mengikuti cara hidup kita di dunia. Surga dan neraka hanyalah akibat atas sebab yang kita lakukan di dunia. Ironisnya, karena mereka berpikir begitu, mereka justru takut mati. Aku nggak bermaksud mengatakan mereka salah, karena yang salah adalah yang memaksa orang-orang lain agar menjalani hidup seperti mereka, seolah mereka lebih tahu dari Tuhan.”

Nasir tersenyum. “Aku mulai tercerahkan sekarang. Jadi, biar aku bisa meniru, khususnya biar nggak takut lagi pada kematian, gimana cara berpikirmu menjalani kehidupan?”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Seperti yang aku bilang tadi, aku masih hidup di dunia, dan segala hal terkait kematian, alam kubur sampai akhirat, adalah pengetahuan Tuhan. Kayaknya sombong sekali kalau aku bilang bahwa aku tahu alam kubur dan alam akhirat dan segala macam. Wong aku manusia biasa dengan pengetahuan terbatas. Dan karena sadar pengetahuanku terbatas, aku pun menyerahkan hal-hal yang nggak aku tahu sebagai pengetahuan Tuhan.”

“So,” saya melanjutkan, “Karena aku masih hidup, aku pun berusaha menjalani kehidupan dengan baik, sebaik yang aku bisa. Melakukan hal-hal bermanfaat, bagi diri sendiri, dan kalau bisa juga bagi orang lain. Soal apakah aku dapat pahala atau dapat dosa, masuk surga atau neraka, itu urusan Tuhan, dan aku percaya Tuhan Maha Tahu sekaligus Maha Adil. Konsep berpikir semacam itu membuatku nggak terikat pada dunia, sekaligus nggak lagi takut pada kematian.”

Nasir menangguk-angguk. Ia baru akan menyulut rokok baru, tapi salah satu keluarga Pak Rohan mendekat ke tempat kami, dan mengatakan kalau mereka sudah perlu pulang. 

Nasir lalu berkata pada saya, “Kayaknya kita perlu membahas soal ini lebih lanjut, tapi sekarang aku harus ngantar mereka pulang. Kapan-kapan kita harus ketemu.” 

Kami pun lalu berpisah.

Ketika sendirian menyusuri jalanan di tengah pemakaman untuk pulang, saya melihat di kanan kiri saya adalah petak-petak makam, dengan baru-batu nisan. Beberapa di antaranya tampak baru. 

Dulu, setiap kali melewati pemakaman, saya merasa takut, seperti umumnya orang-orang yang takut kematian, karena “kita selalu takut pada hal-hal yang tidak kita pahami”. 

Sekarang, setiap kali melewati pemakaman, saya hanya memandangnya sebagai bagian kehidupan, bahwa setiap orang hidup akan mati, dan sungguh sia-sia mengikatkan diri pada dunia, sekaligus sia-sia merisaukan surga neraka versi manusia. Kesadaran itu menghilangkan segala keraguan dan ketakutan dari diri saya. 

Related

Hoeda's Note 6077991755559032512

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item