Bapak Tua Penjual Bajigur
https://www.belajarsampaimati.com/2025/02/bapak-tua-penjual-bajigur.html?m=0
Ilustrasi/genpi.co |
Pagi yang tidak indah, saya duduk menatap makam seseorang yang baru dikuburkan. Para pelayat mulai meninggalkan tempat, karena acara pemakaman telah selesai. Tapi saya merasa berat untuk bangkit. Saya masih memandangi makam itu, mengenang seseorang yang pernah akrab, yang menemani banyak malam dalam kehidupan saya yang sunyi.
Bertahun lalu, saya suka dolan ke rumah Edi. Tidak jauh dari rumah Edi, ada penjual bajigur (minuman berbahan gula aren dan santan). Edi suka mengajak saya membeli bajigur di sana. Biasanya kami menikmati bajigur hangat dan kacang rebus yang tersedia.
Penjual bajigur itu bernama Pak Rohan. Sepuluh tahun lalu, waktu pertama kali saya diajak Edi menikmati bajigur di tempatnya, Pak Rohan mungkin berusia 60-an. Dia biasa memakai baju dan celana sederhana, serta peci hitam yang tampak lusuh. Saya juga kadang melihatnya melinting tembakau, yang lalu ia isap dengan nikmat.
Pak Rohan berjualan bajigur di sebuah gerobak, di halaman rumahnya. Gerobak itu dilengkapi atap seng untuk menahan air kalau sewaktu-waktu hujan turun. Ada dua bangku panjang di sana, yang masing-masing cukup untuk duduk dua orang. Kenyataannya, warung bajigur Pak Rohan memang sering sepi. Tiap kali saya dan Edi ke sana, cuma kami pembelinya. Kadang-kadang ada pembeli lain—mungkin orang sekitar situ—yang membeli bajigur dan dibungkus untuk dibawa pulang.
Di tempat saya, sangat jarang ada penjual bajigur. Pak Rohan adalah satu-satunya penjual bajigur yang saya tahu. Karenanya, kalau lagi ingin bajigur, yang terbayang dalam pikiran saya cuma bajigurnya Pak Rohan. Tapi bukan hanya itu yang membuat saya suka jajan bajigur Pak Rohan. Selain bajigurnya memang enak, Pak Rohan juga teman ngobrol yang menyenangkan.
Edi dan Pak Rohan saling kenal, karena rumah mereka tidak terlalu jauh. Jadi, saat saya dan Edi menikmati bajigur di sana, Edi pun bercakap-cakap dengan Pak Rohan, dan sesekali saya ikut nimbrung. Lama-lama, kami jadi seperti teman nyangkruk, meski usia Pak Rohan sebaya ayah kami.
Biasanya, setelah menghabiskan bajigur dan menikmati kacang rebus di sana, kami menyulut rokok, lalu mengobrol dengan Pak Rohan, sampai cukup lama. Sepertinya, Pak Rohan juga menikmati obrolan bersama kami, sambil menunggui warungnya yang sepi. “Saya ngantuk kalau tidak ada teman,” ujarnya suatu kali.
Ada banyak malam ketika saya dan Edi menikmati obrolan menyenangkan dengan Pak Rohan, saat kami menikmati bajigur di warungnya. Sebagai orang yang usianya jauh di atas kami, Pak Rohan memiliki pengalaman sekaligus pengetahuan yang jauh lebih banyak dibanding kami, khususnya terkait kehidupan sehari-hari. Dan dia suka menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang banyak hal.
Berbeda dengan umumnya orang-orang tua yang suka menasihati atau menggurui, Pak Rohan hanya bercerita. Atau berbagi pengetahuan hal-hal yang kami tanyakan, dengan cara yang santai. Tidak ada nasihat, tidak ada ceramah, tidak ada sikap menggurui, dan itu membuat kami senang mengobrol dengannya, karena merasa nyaman.
Suatu waktu, Edi menikah, lalu pindah ke rumahnya sendiri yang telah ia beli. Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal orang tuanya, dan itu artinya juga jauh dari warung bajigur Pak Rohan. Sejak itu, kalau saya lagi ingin bajigur, saya datang sendirian ke warung Pak Rohan, dan mengobrol dengannya, tapi kali ini tanpa Edi.
Seperti yang disebut tadi, warung bajigur Pak Rohan ada di halaman rumahnya. Kalau sewaktu-waktu dia harus ngasih uang kembalian ke pembeli, kadang di warung tidak ada uang kecil, dan dia harus ke rumah untuk mencarikan uang kembalian. Saat Pak Rohan melangkah menuju rumahnya, saya selalu melihat ia berjalan dengan membungkuk.
Suatu waktu, saya menanyakan hal itu, dan Pak Rohan bercerita, “Dulu saya jualan keliling, dan memanggul beban berat di pundak tiap hari sepertinya bikin pundak saya tidak normal lagi. Mungkin karena tubuh saya lemah, ya. Sejak itu saya berhenti jualan keliling, dan hanya buka warung di sini.”
Ketika saya bertanya asal usul ia berjualan bajigur, ceritanya mengalir panjang.
“Orang tua saya dulu jualan bajigur,” ujarnya, memulai cerita. “Ketika saya harus mulai kerja, cari duit, saya tidak tahu harus kerja apa. Saya cuma lulusan SD. Kakak-kakak saya, keduanya laki-laki, mengikuti usaha orang tua, jualan bajigur. Mereka keliling ke tempat-tempat berbeda. Ketika saya juga harus mulai kerja, saya akhirnya mengikuti mereka, jualan bajigur. Karena cuma itu pekerjaan yang kami tahu.”
Pak Rohan melinting tembakau, lalu berkata dengan ekspresi seperti tersenyum, “Sebenarnya, saya tidak ingin jualan bajigur.”
Saya bertanya heran, “Kenapa, Pak?”
Pak Rohan meletakkan lintingan tembakau di mulut, lalu menyulutnya dengan korek api. “Dua kakak saya tadi, usianya jauh di atas saya. Waktu saya masih sekolah, mereka berdua sudah menikah. Dan saya melihat orang tua saya, juga kakak-kakak saya, semuanya jualan bajigur, dan tidak ada yang kaya.” Setelah itu dia tertawa terkekeh, seperti menertawakan pikirannya sendiri.
“Saat pertama kali menyadari hal itu,” lanjut Pak Rohan, “saya pun tidak ingin jualan bajigur, karena sama artinya akan mengulang nasib mereka. Dua kakak saya mengulang nasib orang tua, dan, kalau saya juga jualan bajigur, saya hanya akan mengulang nasib kakak-kakak saya. Tetap miskin, hidup susah, dan bisa jadi anak-anak saya kelak juga akan mengulangi hal sama.”
Pak Rohan mengisap tembakaunya, lalu melanjutkan, “Saya benar-benar tidak ingin jualan bajigur, waktu itu. Ketika saya sudah cukup besar, dan harus mulai cari duit sendiri, saya berusaha mencari pekerjaan lain, apa saja, selain jualan bajigur. Tapi di masa itu cari kerja benar-benar sulit, karena pabrik-pabrik belum sebanyak sekarang, sementara saya tidak punya keahlian apapun. Akhirnya saya menyerah. Sama seperti kakak-kakak saya sebelumnya, saya pun terpaksa jualan bajigur, karena hanya itu yang saya bisa.”
Sejak itu, Pak Rohan jualan bajigur keliling, seperti orang tua dan dua kakaknya, dan hal itu ia jalani bertahun-tahun, sampai kemudian usia memaksanya berhenti. Semakin tua, tenaganya makin menghilang, hingga ia tak mampu lagi membawa beban jualan di pundaknya. Sejak itulah, ia memutuskan jualan bajigur di halaman rumah, sebagai upaya menyambung hidup.
“Dulu, waktu masih muda, saya sempat optimis hidup saya bisa lebih baik dari orang tua dan kakak-kakak saya,” ujar Pak Rohan. “Tapi makin menua, optimisme saya makin hilang. Akhirnya saya harus menerima kenyataan kalau saya bernasib sama seperti orang tua saya, sama seperti kakak-kakak saya. Usia saya sekarang hampir tujuh puluh, dan tidak ada lagi yang saya harapkan.”
Pak Rohan kembali mengisap tembakaunya, lalu berkata sambil tersenyum, “Waktu masih muda, saya kepikiran untuk melakukan sesuatu yang sekiranya bisa memperbaiki nasib. Tapi lalu menyadari, saya tidak bisa apa-apa, tidak tahu apa-apa. Saya cuma lulusan SD. Mau buka usaha toko, tidak punya modal. Mau merantau, saya merasa berat meninggalkan orang tua yang waktu itu sudah sangat sepuh. Karena tidak nemu jalan untuk memperbaiki nasib, akhirnya saya terpikir untuk melakukan ikhtiar batin.”
“Ikhtiar batin gimana, Pak?”
“Saya menemui orang-orang pintar,” jawab Pak Rohan. “Saya minta nasihat mereka, agar bisa memperbaiki nasib. Mereka ngasih nasihat agar saya rajin baca ini, baca itu, melakukan amalan ini dan amalan itu, dan saya melakukan semua nasihat mereka dengan baik. Tapi sampai bertahun-tahun, nasib saya sama sekali tidak berubah, hidup saya tidak ada perubahan sama sekali. Sampai belakangan mereka meninggal, hidup saya ya tetap sama. Karenanya saya sampai pada kesadaran kalau saya memang mengulang kehidupan orang tua dan kakak-kakak saya.”
“Bedanya,” lanjut Pak Rohan, “saya tidak mewariskan hal sama pada anak-anak yang tidak saya miliki.”
Itu menjadi percakapan terakhir kami. Sekitar tiga minggu setelah itu, saya kembali datang ke warung bajigur Pak Rohan, tapi warung itu tutup. Beberapa hari kemudian, saya mendapat kabar dari Edi kalau Pak Rohan meninggal.
Di pemakaman, saya memandangi makam Pak Rohan sambil mengenangnya, dan saya terbayang pada sosoknya yang sederhana, cerita-ceritanya yang panjang di banyak malam—kisah hidup seorang manusia yang kini tiada.