Jajan Tahu Aci di Pasar Tiban
https://www.belajarsampaimati.com/2025/01/jajan-tahu-aci-di-pasar-tiban.html?m=0
Sore hari, dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja saya melewati jalanan yang waktu itu dipakai untuk pasar tiban. Sepertinya itu pasar tiban yang relatif besar, hingga banyak orang—laki-laki, wanita, tua, muda, anak-anak—di sepanjang jalan. Jarak menuju rumah saya masih sangat jauh. Sambil bergerak perlahan menembus kemacetan, saya melihat penjual tahu aci di salah satu pinggir jalan. Akhirnya saya terpikir untuk berhenti, sambil menunggu kemacetan berkurang.
Saya melangkah ke tempat penjual tahu aci. Ketika sedang berdiri menunggu tahu dimasukkan ke kantong kertas, Nurul lewat. Nurul ini laki-laki, nama lengkapnya Nurul Hakim.
“Da’,” panggil Nurul. “Lagi ngapain?”
Saya menoleh, dan mendapati Nurul sedang terjebak dalam kemacetan pasar tiban. Saya menjawab, “Jajan tahu aci.”
Nurul tertawa. “Kamu tuh kayak bocah!”
Saya ikut tertawa. “Lha emang aku bocah!”
Saya menerima kantong tahu aci, dan mengira Nurul sudah berlalu. Saya lalu duduk di trotoar di samping gerobak tahu aci, dan mulai menikmati jajan yang enak itu. Sekadar informasi, tahu aci mirip tahu tegal, tapi acinya lebih garing, tidak sekenyal tahu tegal—setidaknya, di tempat saya begitu. Kalau tahu tegal dimakan dengan cabai rawit, tahu aci dimakan dengan saus.
Ketika saya sedang asyik menikmati tahu aci sambil memandangi keramaian orang-orang di pasar tiban, tiba-tiba Nurul muncul. Dia melangkah ke arah saya sambil senyam-senyum.
Saya kaget, “Lhoh, kirain kamu udah nyampai rumah.”
“Aku tuh bingung,” ujar Nurul sambil masih senyam-senyum, “kok bisa-bisanya kamu jajan tahu aci di sini?”
Mungkin karena tertarik ingin mencoba, dia lalu ikutan beli sekantong tahu aci, dan memakannya di samping saya.
Sambil makan tahu aci, saya menjelaskan kalau waktu itu sedang dalam perjalanan pulang, dan tidak tahu kalau di jalan itu ada pasar tiban. Karena melihat ada penjual tahu aci, saya pun lalu memutuskan untuk jajan tahu aci, sambil menunggu kemacetan di sana berkurang.
“Udah, cuma gitu?” tanya Nurul seperti tak percaya.
“Emang kamu ingin penjelasan kayak gimana?”
Nurul mengambil sepotong tahu aci di kantong, mengunyahnya, lalu berkata, “Aku tuh bingung...”
“Iya, kamu udah ngomong itu tadi.”
Sekarang dia ngikik. Lalu berkata, “Aku pernah ketemu Rizal (yang dia maksud adalah Rizal ini), dan dia cerita pernah ketemu kamu, pas kamu lagi makan sendirian di lesehan pinggir jalan. Aku juga pernah baca tulisanmu soal kamu beli jagung bakar di pinggir jalan. Sekarang aku lihat sendiri, kamu jajan tahu aci sendirian. Andai aku nggak lewat sini, aku pasti nggak akan tahu, dan kamu juga pasti lagi asyik sendirian di sini.”
“Nah, sekarang kamu udah tahu.”
“Karena itulah aku bingung!”
Saya ngikik. “Kenapa harus bingung karena lihat aku jajan tahu aci di sini?”
“Aku nggak tahu gimana ngomongnya,” ujar Nurul dengan bingung. “Aku cuma ngerasa kalau... aku ngerasa nggak pede kalau misal jajan tahu aci di sini, terus duduk santai kayak gini.”
“Lhah, kamu beli tahu aci, dan sekarang lagi duduk santai di sini.”
“Ya karena ada kamu, jadi aku pede.”
Saya tertawa. “Wong jajan tahu aci aja nggak pede.”
Tahu aci di kantong saya sudah habis. Saya lalu membeli dua teh kemasan, memberikan satu untuk Nurul, kemudian menyulut rokok.
Nurul ikut mengeluarkan rokok, lalu menyulutnya. Setelah itu ia berkata, “Misal, ya. Misal kamu lagi jajan tahu aci di sini, terus ada orang yang kenal kamu pas lewat sini, gimana?”
“Bukannya udah terjadi? Aku lagi jajan tahu aci di sini, terus kamu lewat, dan kamu kenal aku. Nggak gimana-gimana, kan?”
Nurul tertawa bingung. “Kalau misal orang lain—selain aku—gimana?”
“Ya nggak gimana-gimana. Emang mestinya harus gimana?”
Nurul mengisap rokoknya, kemudian terdiam seperti memikirkan sesuatu. Saya memandangi keramaian orang di jalan, dan baru tahu ada pasar tiban seramai itu.
Nurul lalu berkata, “Aku kenal orang-orang yang mengaku nggak pede kalau makan di warung pinggir jalan, dan mereka mungkin nggak akan berani kalau misal beli tahu aci di sini, sendirian, kayak yang kamu lakukan sekarang. Sejujurnya, aku juga gitu—maksudku nggak pede. Pernah, aku ngantar ibuku beli rujak di warung pinggir jalan, dan kebetulan di sana ada teman yang lagi makan rujak. Dia kayak malu atau nggak nyaman waktu ketemu aku di sana, dan aku memaklumi, karena aku sendiri juga kayaknya bakal gitu. Jadi, aku bingung gimana kamu bisa pede makan di warung lesehan pinggir jalan—kayak yang dibilang Rizal—atau menikmati jagung bakar sendirian di pinggir jalan, atau beli tahu aci di pasar tiban kayak sekarang? Gimana penjelasan ilmiahnya?”
“Sebenarnya nggak perlu penjelasan ilmiah, sih.”
“Menurutku perlu,” sahut Nurul, “karena aku benar-benar ingin tahu. Kok bisa kamu sepede ini—maksudku keluyuran sendirian, jajan sendirian, nongkrong sendirian—dan kamu bisa sesantai ini. Jujur aja, aku sebenarnya juga ingin kayak gitu, tapi aku ngerasa nggak pede.”
Saya mengisap rokok, lalu menjelaskan, “Aku cuma menjalani hidup dengan cara yang aku suka. Karena aku suka sendirian, ya aku sendirian. Karena aku suka makan di pinggir jalan, ya aku makan di pinggir jalan. Karena aku suka jagung bakar atau tahu aci, ya aku beli jagung bakar atau jajan tahu aci. Sesederhana itu.”
“Lanjutkan,” sahut Nurul. “Setelah tadi aku ngomong panjang lebar, kamu pasti bisa membaca pikiranku.”
Saya tersenyum, dan melanjutkan, “Aku pernah ngomong ini sama Rizal. Kamu nggak pede makan di lesehan, nggak pede jajan sendirian di pinggir jalan, kemungkinan besar karena kamu memikirkan ‘apa yang sekiranya dipikirkan orang lain jika mereka melihatmu’. Aku nggak punya pemikiran kayak gitu. Aku makan di mana pun, termasuk di pinggir jalan, dan bodo amat kalau ada yang lihat. Sebenarnya, aku bahkan nggak peduli orang suka atau nggak suka. Maksudku, kalau orang menyukaiku ya monggo, kalau nggak menyukaiku juga monggo. Asal nggak cari-cari masalah denganku, aku juga bodo amat.”
Saya mengisap rokok sesaat, lalu kembali ngoceh, “Aku selalu merasa bukan siapa-siapa, dan aku menjalani hidup sebagai bukan siapa-siapa. Aku nggak punya ambisi jadi orang terkenal, dan nggak peduli dengan personal branding atau semacamnya. Aku cuma menjalani hidup dengan caraku sendiri, sebagai bukan siapa-siapa. Orang mau kenal denganku ya silakan, nggak mau kenal denganku juga nggak apa-apa. Aku nggak peduli dengan hal-hal kayak gitu. Makanya aku bisa pede melakukan hal-hal yang menurutmu aneh, misalnya jajan tahu aci sendirian di sini.”
Nurul mengangguk-angguk. “Sekarang aku mulai paham,” ujarnya kemudian. “Kalau mendengar penjelasanmu barusan, kedengarannya mudah, kan? Tapi kenapa banyak orang—termasuk aku—yang nggak bisa melakukannya?”
“Selama kamu masih berpikir orang akan suka atau nggak suka kepadamu—padahal kamu nggak merugikan siapa-siapa—selama itu pula hidupmu nggak akan bebas.” Saya terdiam sesaat, lalu melanjutkan, “Menurutku, hidup terbaik adalah hidup yang dijalani dengan caramu sendiri. Selama kamu menjalani hidup dengan baik tanpa merugikan orang lain, kamu berhak menjalaninya, dan mestinya kamu nggak peduli orang lain akan suka atau nggak suka denganmu. Wong itu hidupmu, kenapa kamu butuh persetujuan orang lain untuk menjalaninya?”
Nurul tersenyum. “Aku selalu suka melihat aslimu kayak gini. Jadi kelihatan pintarnya.”
Saya tertawa.
“Lanjutkan,” ujar Nurul.
“Lanjutkan apanya?”
“Yang barusan itu.”
Saya kembali berkata, “Banyak orang—dan kayaknya termasuk kamu—menjalani hidup dengan tergantung pada persetujuan orang-orang lain. Mau melakukan apapun, berpikir ‘apa nanti kata orang’. Mau makan di pinggir jalan, khawatir dilihat orang. Mau jajan tahu aci, malu kalau dilihat orang. Padahal itu hal-hal biasa, yang nggak melanggar hukum, dan nggak merugikan siapa pun. Tapi banyak orang nggak pede melakukannya, karena merisaukan apakah orang lain akan suka atau nggak suka kepadanya.”
“Tapi kebanyakan orang emang gitu, kan?” sahut Nurul. “Kenapa kamu bisa berbeda? Maksudku, kenapa kamu bisa nggak peduli dengan yang orang lain pikirkan saat kamu, misalnya, makan di pinggir jalan atau jajan tahu aci di pasar tiban?”
“Sebenarnya, aku dulu juga kayak kebanyakan orang,” jawab saya. “Dulu aku juga nggak pede jajan sendirian di pinggir jalan kayak gini. Tapi belakangan aku sadar; kenapa aku harus merisaukan apa kata orang, sementara mereka nggak punya kontribusi apapun dalam hidupku? Orang-orang nggak peduli kalau aku kelaparan, orang-orang nggak peduli saat aku kehabisan uang, orang-orang nggak peduli ketika aku risau dan harus menghadapi banyak masalah sendirian. Jadi kenapa aku harus mempedulikan apa kata mereka?”
Sekali lagi Nurul mengangguk-angguk.
Saya mengisap rokok yang makin memendek, lalu berkata perlahan, “Aku bisa pede jajan tahu aci di sini atau di mana pun, karena prinsip hidupku sederhana; aku hanya menjalani hidup dengan caraku sendiri. Mau makan di warung kaki lima atau di restoran bintang lima, terserah! Wong aku makan pakai duitku sendiri. Kalau misal ada orang lihat aku makan lesehan di pinggir jalan, lalu nggak mau jadi temanku, ya bodo amat. Aku nggak merisaukan apakah orang akan suka atau nggak, hanya karena aku menjalani hidup dengan caraku sendiri. Selama mereka nggak cari-cari masalah denganku, hidup akan baik-baik aja.”