Catatan di Kala Meriang

Ilustrasi/id.tastemade.com
Kalau cuaca lagi tidak jelas seperti sekarang, badan saya sering terpengaruh. Sudah empat hari ini saya merasakan badan tidak enak, kepala berat, hidung meler, dan bersin-bersin. Karenanya, saat makan malam di tempat langganan kemarin, saya pesan sayur sup. Seperti orang-orang kuno, saya percaya sayur sup bisa membantu tubuh lebih nyaman saat meriang.

Usai menghabiskan semangkuk sayur sup, saya minum obat pereda flu, lalu menyulut udud. Rencananya, setelah udud habis, saya akan pulang untuk berbaring-baring. Tapi rencana itu tidak tercapai, karena baru dua menit saya menikmati udud, muncul tiga orang mendekati meja saya.

Tiga orang itu semula duduk tidak jauh dari meja saya. Sepertinya mereka menunggu saya selesai makan, dan sekarang mereka datang. Salah satunya menyapa, “Mas Hoeda?”

“Ya.” Saya menatap mereka, dan tidak mengenali satu pun. 

Tiga orang itu masih berdiri dan tampak ragu-ragu. Saya lalu berkata, “Silakan duduk.”

Mereka menarik tiga kursi, kemudian duduk. Salah satunya mengenalkan diri, bernama Iwan. Dia mengenalkan dua temannya, bernama Zaki dan Fauzan. Mereka mahasiswa di salah satu kampus, dan sedang berencana mengadakan workshop kepenulisan. Jadi mereka menemui saya di sana untuk meminta jadi salah satu pemateri di acara workshop itu. 

Saya mengambil tisu, bersin, lalu berkata, “Aku lagi meriang, sekarang. Kapan acaranya?”

“Sekitar tiga minggu mendatang,” sahut Iwan.

“Oh, ya syukur kalau gitu. Tiga minggu ke depan kayaknya aku udah sehat.”

Iwan memastikan, “Jadi, sampeyan bisa datang?”

“Kalau acaranya tiga minggu mendatang, kemungkinan besar aku udah sehat. Jadi, ya, aku bisa datang. Nggak ada publisitas, kan?”

“Nggak ada,” sahut Fauzan, “ini acara internal kampus.”

Saya mengangguk. 

Lalu hening. Tiga orang di depan saya seperti tidak yakin mau ngomong apa.

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Omong-omong, kalian kok tahu aku makan di sini?”

Iwan dan Fauzan menatap Zaki, lalu Zaki mengatakan, “Mas Farid yang ngasih tahu. Katanya sampeyan sering makan di sini.”

“Farid siapa?” Saya kenal beberapa orang bernama Farid.

“Farid AMIK,” jawab Zaki.

Saya langsung paham. Itu Farid teman nyangkruk zaman kuliah dulu. Saya pun bertanya pada Zaki, “Jadi kamu kenal Farid?” 

“Aku adiknya.”

Saya kaget. “Kamu adiknya Farid?”

Zaki tersenyum. “Aku dulu sering lihat sampeyan waktu dolan menemui Mas Farid di rumah.”

Saya mengingat-ingat zaman kuliah dulu, lalu berkata ragu-ragu, “Seingatku dulu, Farid emang punya adik laki-laki, tapi masih kecil.”

Zaki tertawa. “Ya karena waktu itu aku masih SMP, Mas.”

Saya ikut tertawa. “Gimana kabar kakakmu sekarang?”

“Baik. Kenapa sampeyan nggak pernah dolan lagi ke rumah?”

“Kakakmu udah menikah, jadi aku nggak enak kalau mau dolan. Takut mengganggu. Salam aja buat kakakmu.”

Iwan lalu menjelaskan rangkaian acara workshop yang mereka adakan, agar saya punya bayangan mengenai apa yang perlu saya siapkan. “Nanti akan kami serahkan proposalnya,” kata Iwan kemudian.

Saya bertanya, “Orang-orang yang akan ikut workshop ini... mereka suka membaca buku, kan?”

“Rata-rata ya, suka baca buku,” jawab Iwan.

“Bagus. Karena aku nggak bisa mengajari menulis pada orang yang nggak membaca buku.”

Fauzan berkata, “Kami, para mahasiswa yang ikut workshop ini, rata-rata suka baca buku, hingga punya banyak bahan pemikiran. Masalahnya, kami nggak tahu gimana menuangkannya dalam tulisan. Makanya kami perlu belajar soal itu.”

Saya mengangguk. 

Zaki berkata, “Kami sering baca blog sampeyan, juga situs BSM. Banyak dari tulisan sampeyan yang isinya percakapan dengan orang-orang. Itu sampeyan pakai rekaman atau gimana, kok percakapannya bisa sangat teratur gitu?”

Saya tertawa. “Nggak pakai rekaman. Itu cuma pakai ingatan. Sebenarnya, percakapan yang terjadi nggak seteratur yang kalian baca di tulisan. Namanya percakapan, isinya tentu spontan dan acak, juga ngalor ngidul nggak teratur. Cuma, waktu menulisnya, aku sengaja menyusunnya secara teratur, agar enak dibaca. Itu bagian dari seni menulis. Merapikan hal-hal yang acak dan kacau jadi sesuatu yang rapi dan terstruktur, hingga enak dibaca.”

Mereka mengangguk-angguk. 

Saya melanjutkan, “Kayak sekarang, misalnya. Aku nggak merekam percakapan ini, kan? Dan percakapan kita kayaknya juga nggak rapi-rapi amat, namanya juga percakapan spontan. Tapi kalau misal aku menulisnya, isinya akan rapi dan terstruktur.”

Fauzan berkata ragu-ragu, “Uhm... apa pertemuan ini akan ditulis? Di BSM?”

Saya tersenyum. “Kalau kalian suka.”

Mereka antusias. Iwan mewakili teman-temannya, “Ya, Mas! Tolong ditulis, ya! Biar teman-teman sekampus kami baca!” 

Maka saya pun menulis catatan ini.

Related

Hoeda's Note 6165474085727033450

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item