Kesadaran Lebih Tinggi
https://www.belajarsampaimati.com/2024/12/kesadaran-lebih-tinggi.html?m=0
Ilustrasi/buletinpillar.org |
Sesuatu yang disebut “kehidupan” sebenarnya saat ini. Bukan masa lalu, karena itu namanya kenangan. Juga bukan masa depan, karena itu adalah bayangan. Manusia hidup pada saat ini, dan karena itulah “saat ini” yang disebut kehidupan.
Tapi kebanyakan kita tidak terima.
Kebanyakan kita tidak mau menerima kenyataan bahwa saat inilah kehidupan sebenarnya. Alasan ketidakterimaan itu, biasanya, karena tidak puas dengan kehidupan saat ini. Sebagian kita lalu membanggakan masa lalu, sebagian lain mengangankan masa depan. Sebagian lainnya lagi bahkan mengangankan atau bahkan membangga-banggakan kehidupan setelah mati.
Padahal masa lalu sudah berlalu, dan masa depan juga tidak ada yang tahu. Apalagi kehidupan setelah mati. Jangankan masa lalu, bahkan waktu sedetik lalu pun sudah berlalu. Dan jangankan masa depan yang jauh, bahkan besok kita masih hidup atau tidak pun kita tidak tahu. Saat inilah kehidupan, dan hidup kita.
Kesediaan untuk menerima kenyataan ini—bahwa kita hidup di saat ini—akan menempatkan kita pada kesadaran yang lebih tinggi, bahwa kita sebenarnya tidak tahu akan sampai kapan dapat hidup. Dan kesadaran itu akan membuat kita enggan menyia-nyiakan waktu dan usia.
Saya suka berziarah, untuk mengingat kematian. Bukan karena saya takut pada kematian, tapi untuk mengingatkan diri sendiri bahwa waktu hidup saya di dunia ini terbatas, dan karena itu saya harus menggunakannya dengan baik. Sejujurnya saya tidak merisaukan alam kubur, siksa kubur atau kehidupan setelah kematian. Itu bukan tugas saya, karena tugas saya saat ini adalah menjalani dan mengisi kehidupan sebaik-baiknya, sebaik yang saya bisa.
Ada orang-orang yang suka menakut-nakuti kita dengan ancaman alam kubur, siksa kubur, sampai hal-hal yang terdengar horor terkait kehidupan setelah kematian. Ancaman semacam itu mungkin terdengar meyakinkan saat dikatakan seribu tahun lalu. Tapi di masa sekarang, ketika ilmu pengetahuan telah mengungkap banyak hal, omongan atau bahkan acaman semacam itu malah akan ditertawakan.
Wong masih sama-sama hidup, tapi sok tahu tentang alam kematian. Wong belum pernah mati, tapi sudah berlagak tahu tentang alam kubur. Wong belum pernah dikubur, tapi sudah berani mengancam-ancam orang lain dengan siksa kubur.
Saya lebih memilih untuk berpikir dan bersikap seperti ini: “Tugas kita yang masih hidup saat ini adalah menjalani dan mengisi kehidupan sebaik-baiknya, sebaik yang kita bisa. Waktu kita di dunia ini terbatas, karena itu gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jika tidak bermanfaat bagi orang lain, setidaknya bermanfaat bagi diri sendiri.
“Gunakan waktu yang terbatas ini untuk belajar dan bekerja. Kejar impian dan cita-cita, agar kelak tidak menyesal ketika tua. Lakukan hal-hal baik yang ingin kita lakukan, perjuangkan sesuatu yang berharga, agar kelak kita dapat mengenangnya dengan senyum. Dan saat akhirnya kita meninggalkan dunia ini, orang-orang akan mengenang hal-hal baik yang telah kita tinggalkan.”
Jika saya ngomong seperti itu kepada siapa pun, apakah akan ada yang marah? Tidak! Karena saya tidak membawa kepentingan apapun dalam ajakan itu. Saya hanya mengajak pada hal positif, tanpa ancaman, tanpa menakut-nakuti, dan, yang terpenting, tanpa ada kepentingan sama sekali. Orang lain mau menerima ajakan itu ya silakan, kalaupun tidak mau menerima ya tidak apa-apa, wong itu hidup mereka sendiri. Saya tidak untung dan tidak rugi apa-apa, terlepas mereka mau mengikuti ajakan saya atau tidak.
Tapi sekarang bayangkan saya ngomong seperti ini: “Hidup di dunia ini cuma sementara, jadi mari kita isi dengan hal-hal baik seperti yang saya katakan dan saya tunjukkan. Saat kita mati dan jasad kita dikubur, kita akan sendirian menghadapi alam kubur, dan bisa jadi akan menerima azab dan siksa kubur. Karena itulah, sebelum kelak menyesal saat di alam kubur, ikuti saya, agar kalian tidak tersesat. Dan inilah hal-hal yang harus dilakukan, agar kelak tidak menyesal di alam kubur.” [Lalu saya menjelaskan aneka hal panjang lebar yang harus diikuti orang-orang lain.]
Kalimat semacam itu jelas membawa tendensi dan kepentingan orang yang mengatakannya. Bisa jadi ia ingin dianggap guru, ingin dipatuhi, ingin dianggap hebat, ingin mendapat pengikut, dan sederet kemungkinan kepentingan lain. Karenanya, jika kemudian ada yang tidak mau mengikutinya, dia bisa saja marah lalu mengancam-ancam dengan siksa kubur sampai siksa neraka.
Prinsip saya dalam hidup ini sederhana; kalau saya menyampaikan sesuatu secara tulus—dalam arti tanpa ada kepentingan apapun—saya tidak akan marah atau kecewa jika orang lain tidak menerima hal-hal yang saya sampaikan. Wong saya tidak punya kepentingan, kok. Mereka mau menerima ya silakan, tidak mau menerima juga tidak apa-apa.
Tapi jika saya menyampaikan sesuatu karena adanya kepentingan tertentu—dari ingin dianggap guru sampai ingin mendapat pengikut—saya akan marah dan kecewa jika orang lain tidak menerima hal-hal yang saya sampaikan. Kemarahan dan kekecewaan itu muncul karena saya merasa dirugikan, akibat kepentingan saya tidak tercapai. Dan karena dorongan kemarahan serta kekecewaan pula, saya bisa melakukan hal-hal tolol, semisal merisak orang lain yang tidak mau mengikuti saya, atau semacamnya.
Lalu bagaimana dengan alam kubur, siksa kubur, dan lain-lain semacamnya?
Faktanya adalah kita masih sama-sama hidup saat ini, menghirup oksigen di bumi, dan mematuhi hukum gravitasi. Tak peduli sefasih apapun seseorang membicarakan alam kubur, faktanya dia belum pernah mati lalu dikubur. Jadi semua hal yang kita tahu tentang alam kubur hanya ada dalam ranah keyakinan, bukan pengetahuan faktual. Karena masuk ranah keyakinan, maka mestinya cukup yakini sebagai pegangan pribadi, dan bukan digunakan untuk mengancam-ancam orang lain demi memaksakan kepentingan pribadi.
Wong masih sama-sama hidup, kok mengancam-ancam orang lain dengan siksa kubur—kayak pernah dikubur saja. Masih sama-sama hidup, tapi sudah sok tahu Si A bakal senang atau susah di alam kuburnya. Itu namanya penghakiman, dan bukan tugas kita untuk melakukannya. Karena penghakiman pada manusia—apalagi setelah mati—adalah hak prerogatif Tuhan.
Karena kita sama-sama manusia, tidak usah petingkah, apalagi bertingkah seolah Tuhan yang merasa punya hak menghakimi manusia lain. Kalau kita memang meyakini adanya alam kubur dan kehidupan setelah mati, yakini itu jika memang dapat membantu diri kita menjalani kehidupan dengan lebih baik. Tapi tidak perlu menggunakan keyakinan itu untuk memaksa dan mengancam-ancam orang lain agar mengikuti kita.
Kalau kita meyakini keberadaan alam kubur dan kehidupan setelah kematian, termasuk surga dan neraka, dan kita menggunakan keyakinan itu untuk terus memperbaiki diri serta menjalani hidup dengan lurus, itulah yang disebut iman. Orang semacam itu pasti akan jadi orang baik, tanpa ia harus gembar-gembor, pamer ibadah secara demonstratif, apalagi sampai memaksa dan mengancam-ancam orang lain. Dan orang-orang lain justru akan tertarik mengikutinya tanpa dipaksa-paksa, karena menganggapnya suri tauladan yang dapat dicontoh dan diikuti.
Tapi kalau kita memaksakan keyakinan mengenai alam kubur dan mengancam-ancam orang lain dengan siksa neraka dan semacamnya, itu bukan iman, tapi kepentingan. Kalau kamu mengancam-ancam orang lain, menakut-nakuti orang lain, tak peduli membawa alam kubur, akhirat, atau siksa neraka, kamu tidak bisa mengatakan itu iman. Karena yang disebut iman itu “ke dalam” (pada diri sendiri), bukan “ke luar” (pada orang lain). Dan semakin keras kamu melakukannya, orang-orang justru akan menjauh, karena paham kalau kamu punya kepentingan.
Bisa melihat inti masalahnya sekarang?
Kalau kamu menggunakan keyakinan ke dalam (pada dirimu sendiri) agar dapat menjalani kehidupan dengan baik sebagaimana yang diajarkan keyakinanmu, itulah yang disebut iman! Iman tidak memiliki tendensi, dan tidak butuh pembuktian.
Tapi kalau kamu menggunakan keyakinan ke luar (pada orang-orang lain) agar dapat mengatur-atur kehidupan orang lain dengan dalih agar “jadi orang benar” atau apapun, itu bukan iman, tapi kepentingan! Sudah jelas kamu punya tendensi.
Sekali lagi, kehidupan kita yang nyata dan dapat dibuktikan adalah kehidupan kita saat ini. Kehidupan masa lalu sudah berlalu. Kehidupan masa depan baru wacana, rencana, atau setidaknya harapan dan impian. Sementara kehidupan setelah mati adalah urusan keyakinan pribadi. Karena itu, mari isi kehidupan kita yang jelas dan nyata ini sebaik-baiknya, sebaik yang kita bisa. Setiap orang memiliki tugas ini pada hidupnya sendiri-sendiri, yaitu menjalani dan mengisi kehidupannya dengan baik.
Cara mengisi hidup orang per orang tentu bisa berbeda-beda, dan itu sunnatullah sekaligus manusiawi, karena nyatanya tidak ada orang yang sama, dan masing-masing orang menjalani kehidupan dengan berbagai pengalaman yang berbeda. Kalau misal caramu mengisi kehidupan berbeda dengan cara saya, tidak apa-apa, karena kamulah yang menjalani kehidupanmu, jadi kamulah yang lebih tahu apa yang terbaik untuk hidupmu. Selama yang kamu lakukan baik dan tidak merugikan orang lain, kamu berhak melakukannya. Bahkan kalaupun kamu melakukan kesalahan-kesalahan kecil, itu sangat manusiawi, dan kamu bisa belajar dari kesalahan itu.
Kita sama-sama manusia biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangan, dan karena itulah kita bisa saling belajar tanpa harus saling menyalahkan sambil merasa paling benar. Saya tidak berhak memaksakan keyakinan saya kepada siapa pun, dan saya juga tidak mau diancam-ancam keyakinan siapa pun.
Jadilah manusia yang baik. Itu saja sudah cukup.