Jatuh Cinta dan Patah Hati di Instagram
https://www.belajarsampaimati.com/2024/12/jatuh-cinta-dan-patah-hati-di-instagram.html
Ilustrasi/liputan6.com |
Jatuh cinta, atau perasaan cinta, kadang memang aneh. Dulu ada teman yang pernah jadian dengan seorang perempuan berjilbab, dan mereka telah menjalin hubungan beberapa bulan, serta sama-sama siap untuk membawa hubungan itu ke pernikahan. Namun, suatu waktu, perempuan itu tidak lagi memakai jilbab, dan teman saya kecewa. Dia telah menyampaikan kekecewaannya, berharap pacarnya mau kembali berjilbab seperti sebelumnya, namun si pacar tampaknya telah memutuskan untuk tidak lagi berjilbab.
Karena latar belakang itu, hubungan mereka pun putus. Sekitar setahun kemudian, teman saya menikah dengan perempuan lain, yang berjilbab, sementara mantan pacarnya juga menikah dengan pria lain, dan sampai sekarang tetap tidak berjilbab.
Saya teringat pada kisah mereka, karena ketemu teman lain yang menghadapi masalah sebaliknya.
Tempo hari, usai makan malam, saya menyandarkan punggung di kursi, dan menikmati udud sendirian. Beberapa menit kemudian, seseorang menepuk bahu saya dari belakang, dan saya menyapa tanpa menengok, “Gimana kabarnya, Al?”
Alfi tertawa. “Gimana kamu bisa tahu ini aku?”
“Baumu sangat mudah dikenali.”
Tawanya semakin renyah. Dia lalu duduk di kursi di depan saya, dan menyulut rokok. Pelayan lewat, dan Alfi memesan minuman sambil memberi tahu kalau dia pindah meja. Saya ikut pesan minuman, karena sadar pasti akan cukup lama di sana.
Alfi dan saya lalu bercakap-cakap, membicarakan kerja, dunia usaha yang makin suram, politik terkini, konflik Israel-Palestina, masalah di Papua, Bitcoin yang makin menggila, teknologi AI yang kian tak terkendali, sampai sekilas sejarah nabi-nabi. Dan kalau dua pria lajang sudah ngobrol ngalor ngidul, selalu ada kemungkinan ujungnya akan membicarakan wanita.
“Aku baru sadar kalau perasaan cinta ternyata bisa berubah karena penampilan,” ujar Alfi memulai.
Saya tersenyum. “Kedengarannya ini akan jadi sesi curhat yang panjang.”
Alfi tertawa. Dia menyeruput minumannya, lalu mulai bercerita, “Sekitar setengah tahun yang lalu, aku naksir seseorang di Instagram. Omong-omong, kenapa sampai sekarang kamu nggak punya Instagram?”
“Alasan aku nggak punya Instagram sama sekali nggak penting. Lanjutkan ceritamu.”
Alfi melanjutkan, “Dia cantik—maksudku, wanita yang aku taksir tadi. So, kami kenalan, berkomunikasi, dan perlahan makin akrab. Dia tipe wanita yang asyik diajak ngobrol, nggak banyak jaim atau semacamnya. Jadi kami bisa komunikasi dengan enak, lancar, nggak ada masalah. Sampai kami ketemuan, layaknya dua orang yang saling tertarik. Karena sejak awal aku udah naksir, dan dia kayaknya tahu, interaksi kami pun menjurus ke arah itu. Beberapa bulan sejak kenalan, aku berencana nembak dia, lalu terjadi masalah.”
“Dan masalahnya?” tanya saya.
“Dia hijrah,” jawab Alfi.
“Hijrah ke mana?”
“Uhm... maksudku hijrah, pakai jilbab. Atau hijab. Atau apalah itu sebutannya.”
Saya mengangguk, dan bertanya, “Lalu kenapa itu jadi masalah?”
Alfi tampak bingung. Ia mengisap rokoknya, lalu berkata perlahan, “Saat aku mengenalnya pertama kali, dia nggak pakai jilbab, hijab, atau apapun sebutannya. Aku nggak cuma tertarik pada sosoknya yang memang cantik, tapi juga suka baca tulisan-tulisannya (maksudnya caption) di Instagram. Dia tipe wanita asyik yang enak diajak ngobrol, membicarakan hal-hal biasa, dan aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Lalu, ketika dia hijrah dan memakai hijab, yang berubah bukan cuma penampilannya, tapi juga seluruhnya. Sejak itu, tulisan-tulisannya (sekali lagi, maksudnya caption) di Instagram jadi berubah total. Isinya nggak lagi hal-hal asyik kayak sebelumnya, tapi nasihat-nasihat keagamaan, ibadah, dan semacamnya.”
“Bukannya itu bagus, Al?” ujar saya. “Artinya dia berhijrah secara kaffah, kan? Yang berubah bukan cuma penampilannya, tapi juga kepribadiannya.”
Alfi tampak dongkol. “Masalahnya, aku lebih suka dia yang dulu!”
Saya jadi teringat ucapan Felix Siauw, “Ya udah, putusin aja.”
Alfi ngamuk, “Putusin gimana? Wong kami belum jadian!”
Lalu, entah bagaimana, kami tertawa-tawa, seperti menyadari humor yang sangat ironis atau membingungkan, hingga kami tidak bisa mengatakan apapun selain tertawa.
Setelah tawa kami reda, Alfi kembali berkata serius, “Masalah yang aku alami ini rumit. Kalau misal aku udah jadian sama wanita tadi, masalahnya cukup mudah, karena status kami udah jelas. Mungkin aku bisa terus terang sama dia, kalau aku lebih suka dia yang dulu, dan kami bisa sama-sama memikirkan langkah terbaik. Masalahnya, aku sama dia belum jadian, karena baru pedekate. Aku nggak mungkin ngomong kalau aku nggak suka perubahannya yang sekarang. Emang siapalah aku, wong bukan siapa-siapanya. Paham, kan, maksudku?”
Saya mengangguk. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?”
“Itulah yang ingin aku tanyain ke kamu!”
Saya tertawa. “Lha kok malah tanya aku? Wong kamu yang menjalani, kok aku yang disuruh mikir!”
“Fuck, lah!” Alfi ngakak. “Kamu bayangin aja, lah, kalau misal kamu di posisiku, kira-kira kamu bakal gimana?”
Saya mematikan puntung rokok di asbak, lalu berkata, “Terus terang aku nggak yakin apa yang aku lakukan kalau menempati posisimu. Di satu sisi, yang dilakukan wanita yang kamu ceritakan itu bagus, karena dia berhijrah. Tadinya nggak pakai jilbab, sekarang berjilbab. Tadinya mungkin agak mbeling, sekarang jadi alim. Di satu sisi itu bagus, dan kamu pasti setuju. Masalahnya, di sisi lain, kamu justru lebih suka dia yang dulu, yang nggak pakai jilbab, dan yang menurutmu asyik. Sebenarnya aku paham maksud ‘asyik’ itu. Maksudnya agak mbeling gitu, kan?”
Alfi tertawa. “Orang nggak asyik kalau nggak ada mbeling-mbelingnya sama sekali.”
“Mari sepakati itu benar,” saya menyahut sambil tersenyum. “Dan karena kamu berpikir gitu, artinya wanita yang kamu ceritakan tadi udah bukan tipemu lagi. Ya udah, kamu cari wanita lain aja, yang ada mbeling-mbelingnya sesuai tipemu, dan biarkan dia—wanita yang udah bikin kamu jatuh cinta—menemukan jodoh lain yang sesuai dengannya.”
Alfi tampak bingung.
Saya menyesap minuman, menyulut rokok baru, lalu kembali berkata, “Konon, jodoh atau pasangan kita adalah cerminan diri kita sendiri. Aku mengartikannya gini; orang yang alim biasanya juga ingin pasangan yang alim. Sementara orang yang agak mbeling—kayak kamu, misalnya—juga menginginkan pasangan yang ada mbeling-mbelingnya. Jadi, menurutku, mulailah dari situ. Maksudku, karena kamu sadar agak mbeling, ya cari yang sesuai tipemu, yang ada mbeling-mbelingnya. Kalau wanita yang tadinya mbeling sekarang berubah alim karena dia hijrah, artinya dia bukan tipemu lagi. Ya udah, biarkan dia tetap istiqamah berhijrah, dan kamu cari wanita lain.”
“Nama wanita itu bukan Istiqamah.”
Saya tertawa sambil bingung. “Persetan dengan namanya! Udah, kamu cari wanita lain aja!”
Alfi ngikik. Setelah mematikan puntung rokoknya di asbak, dia berkata, “Kedengarannya kamu ingin aku patah hati.”
“Kadang-kadang, patah hati membawa kita pada calon pasangan yang lebih baik.”
“Kalimat yang sangat Instagramable,” seloroh Alfi sambil tersenyum.
Sesaat kami menikmati rokok dalam keheningan, sementara musik instrumental mengalun lamat-lamat. Orang-orang datang dan pergi dari tempat makan itu—sebagian sendiri, ada yang bersama pasangan, ada pula yang bareng teman-teman.
Seorang wanita melangkah sendirian dengan anggun memasuki ruang dalam, lalu Alfi berkata, “Da’, jujur ya, kalau tipe wanita yang kamu sukai tuh yang kayak gimana?”
“Seperti yang aku bilang tadi, pasangan kita adalah cerminan diri kita. Kalau aku melihat diri sendiri, aku orang yang sederhana. Jadi aku berharap pasanganku juga orang sederhana.”
“Definisi sederhana itu sangat luas. Spesifiknya?”
“Kalem.”
“Itu nggak menjelaskan apa-apa. Jadi, gimana yang kamu maksud sederhana dan kalem? Siapa tahu bisa aku pakai jadi referensi.”
Saya menjelaskan, “Ketika orang berpakaian atau berpenampilan, misalnya, ada yang motivasinya agar menarik perhatian. Dia memakai pakaian dengan warna atau gaya yang mencolok, dengan aksesoris macam-macam yang sama mencolok. Menurutku, itu nggak sederhana. Aku suka wanita sederhana, yang berpenampilan tanpa menarik perhatian orang. Karena aku juga berpenampilan kayak gitu. Kalau kemudian orang-orang memperhatikan, ya itu urusan mereka—yang jelas, aku nggak bermaksud menarik perhatian.”
“Dan soal kalem?”
“Ini terkait seleraku yang jelas subjektif. Ada wanita yang suka pakai makeup atau riasan tebal, hingga kita benar-benar tahu kalau dia pakai makeup. Menurutku, itu nggak kalem, sama kayak penampilan yang ditujukan buat menarik perhatian. Aku lebih suka wanita yang kalem, dalam arti yang pakai makeup sekadarnya, hingga tampak lebih alami.”
Alfi mengangguk-angguk. “Kayaknya aku juga suka yang kayak gitu.”
“Bukannya kamu suka yang agak mbeling?”
Alfi ngikik. “Kalau itu nggak perlu dibahas!”
Percakapan kami terhenti saat dua orang yang kami kenal—Heri dan Adit—tampak melangkah mendekati meja kami sambil cengengesan. Setelah menarik salah satu kursi, Heri berkata, “Dari tempat parkir sono, kalian kelihatan serius sekali ngobrolin sesuatu. Berani taruhan, kalian lagi bahas wanita, kan?”
“Nggak,” saya menjawab, “kami lagi bahas Nabi Yunus yang ditelan ikan paus.”
Kami tertawa-tawa.
Pelayan datang. Heri dan Adit memesan makanan dan minuman. Saya dan Alfi memesan minuman baru dan kudapan.
Sepertinya ini akan jadi malam panjang.