Jagung Bakar di Malam Minggu

Ilustrasi/batamnews.co.id
Malam Minggu, sepulang dari rumah ortu, saya iseng jalan-jalan, menikmati jalan raya yang ramai karena akhir pekan. Rata-rata jalan raya sebenarnya ramai pada malam apapun, tapi biasanya jauh lebih padat di malam Minggu. Ketika sedang terburu-buru, jalanan yang padat bisa bikin stres. Tapi dalam kondisi sedang selo, seperti saya malam itu, jalanan yang ramai terasa menghibur.

Saya melaju perlahan-lahan, tanpa tujuan, hanya mengikuti arah jalan. Sekitar setengah jam melaju, saya sampai di jalanan yang lebih sepi, karena memang bukan jalan utama. Saya terus melaju perlahan-lahan, menikmati pemandangan di kanan kiri jalan. Kafe-kafe dan tempat-tempat makan tampak ramai, dengan banyak kendaraan terparkir di depannya, muda-mudi sedang menikmati malam Minggu.

Ketika sedang memperhatikan semua itu, pandangan saya menangkap sebuah gerobak bertuliskan “Jagung Bakar”, di salah satu sisi jalan. Jagung bakar adalah salah satu favorit saya. Jadi, saya pun lalu berhenti, dan melangkah mendatangi gerobak tadi, sambil menenteng botol air.

Seorang pria bertopi seketika berdiri saat melihat saya mendekati gerobaknya, dan menyapa, “Jagung bakar, Mas?”

“Iya, dua,” saya menjawab sambil menyerahkan pembayaran. “Pilihkan yang agak tua, ya.”

Secara ilmiah, setidaknya dalam pikiran saya, ada tiga jenis jagung bakar. Yang pertama adalah jagung bakar yang masih muda. Rasanya manis, dan banyak disukai orang. Tapi saya tidak suka. Karena, ketika dimakan langsung dari bonggolnya, jagung bakar yang masih muda tidak dapat termakan semua. Selalu ada bagian dari jagung, yaitu kulit arinya, yang akan menempel di bonggol jagung, dan akibatnya bonggol tidak bersih, meski jagung sudah habis dimakan. 

Saya tidak nyaman menghadapi kenyataan semacam itu—bonggol jagung yang tidak bersih—karena tidak sesuai prinsip-prinsip environmentalisme, apapun artinya. Karenanya, saya lebih suka jagung bakar yang agak tua. Rasanya tetap manis, tapi ketika dimakan dari bonggolnya, seluruh bagian jagung akan tercabut, hingga menyisakan bonggol yang bersih saat jagung habis dimakan. Dan itu memuaskan saya. Jagungnya enak, bonggolnya bersih, segalanya terasa pas.

Sementara yang ketiga adalah jagung bakar yang sudah tua. Biasanya manisnya sudah jauh berkurang, juga terasa lebih keras saat dimakan. Jika tujuannya untuk mengenyangkan perut, jagung yang tua mungkin pilihan tepat, karena terasa lebih mengenyangkan.

Sambil menunggu jagung bakar disiapkan, saya duduk di pinggir trotoar. Jalanan di depan saya kadang ramai, kadang sepi. Saya senang menemukan penjual jagung bakar ini, karena saya suka jagung bakar tapi di tempat tinggal saya hampir tidak ada penjual jagung bakar. 

Lamunan saya tentang jagung bakar terhenti, saat si penjual membawakan dua jagung bakar yang tadi saya pesan.

Saya menikmati jagung bakar sendirian, sambil memandangi jalanan. Sementara penjual jagung bakar tampak melayani pembeli lain yang datang. Setelah menghabiskan dua jagung bakar yang enak, saya meminum air dalam botol yang tadi saya bawa, lalu menyulut rokok. Malam Minggu yang menyenangkan.

Saya masih duduk di pinggir trotoar dan mengisap rokok, ketika penjual jagung bakar—yang telah selesai melayani pembeli—datang mendekati saya, lalu duduk tidak jauh dari tempat saya. Dia melepas topinya, dan saya melihat kalau dia mungkin sebaya dengan saya.

Penjual jagung bakar berkata, “Malam Minggu kok sendirian, Mas?”

“Iya,” saya menjawab, “soalnya nggak punya pacar.”

Dia tertawa.

Saya ikut tertawa. “Kenapa sampeyan kok malah ketawa?”

Dia menjawab sambil tersenyum, “Saya mengira sampeyan bakal menjawab pacarnya lagi ke luar kota atau semacamnya, ternyata jawabannya bener-bener nggak terduga.”

Saya kembali tertawa. “Ya soalnya emang nggak punya pacar, jadi cuma itu yang terlintas di pikiran.”

“Jadi ini emang lagi menikmati jalan-jalan sendirian?”

“Iya.” 

Kami lalu mengobrol layaknya dua pria asing yang baru bertemu. Mungkin karena sebaya, obrolan kami mudah nyambung. Saya bertanya, sejak kapan dia jualan jagung bakar, dan dia menjawab baru dua bulan.

“Tadinya saya karyawan pabrik,” dia menceritakan. “Karena kena PHK, saya jadi bingung. Udah nyoba melamar ke mana-mana, tapi belum ada yang nyangkut. Mau buka warung makan, nggak bisa masak. Mau bikin usaha, nggak ada modal. Istri lalu ngasih saran jualan jagung bakar, yang masih minim saingan, dan modalnya ringan. Akhirnya saya pun nekat jualan jagung bakar. Emang minim saingan, sih, tapi ternyata nggak seramai yang saya bayangkan.”

“Mungkin karena sampeyan baru jalan dua bulan. Biasanya, merintis usaha butuh waktu lama, bisa berbulan-bulan, agar dikenal orang-orang.”

“Kayaknya gitu.”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Saya punya teman, tadinya punya usaha batik. Nggak terlalu besar, tapi usahanya lancar, sampai dia menikah dan punya anak. Sekitar tahun 2017, usaha batiknya mandeg. Akhirnya dia jualan bakso keliling. Menurutnya, itu kejatuhan luar biasa, dari pengusaha batik berubah jadi penjual keliling. Sampai dua tahunan dia jualan bakso, kelelahan setiap hari, tapi merasa nggak berkembang, dan dia nyaris putus asa. Memasuki tahun ketiga, dia menceritakan, pelanggan tetapnya makin banyak. Tapi dia udah kecapekan. Akhirnya dia buka warung bakso di dekat rumahnya. Para pelanggannya mau datang. Makin lama, pembeli makin banyak. Saat ini, warung baksonya lumayan terkenal, dan ramai saban hari.”

Saya lalu mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi pesan makanan, dan menunjukkannya ke penjual jagung bakar, “Ini warung bakso yang saya ceritakan.”

Penjual jagung bakar melihat layar ponsel saya, dan berkata, “Jadi, warung bakso itu sekarang udah masuk aplikasi?”

“Waktu aplikasi pesan makanan mulai marak, warung bakso teman saya udah cukup terkenal. Jadi pihak aplikasi lalu mendatangi teman saya, dan ngajak kerja sama. Warungnya pun masuk aplikasi, dan, menurutnya, penjualannya meningkat pesat, karena orang dari mana pun bisa pesan baksonya. Belakangan, teman saya sampai merekrut karyawan, karena dia sama istrinya kewalahan mengurusi penjualan.”

Penjual jagung bakar manggut-manggut.

Saya melanjutkan, “Jadi, kalau sampeyan merasa usaha masih sepi karena baru jalan dua bulan, sampeyan bisa mengingat warung bakso ini.”

Dia terdiam beberapa saat, lalu berkata ragu-ragu, “Omong-omong soal aplikasi, mungkin nggak, ya, kalau jagung bakar bisa masuk aplikasi?”

“Saya nggak tahu. Tapi kenapa nggak sampeyan coba? Siapa tahu ada orang yang ingin menikmati jagung bakar, tapi di tempat tinggalnya nggak ada penjual jagung bakar?”

“Caranya gimana, Mas? Maksud saya, cara biar jualan kita bisa masuk aplikasi.”

“Saya nggak punya pengalaman soal itu,” saya menjawab jujur, “tapi saya cukup tahu gimana caranya mendaftar ke aplikasi agar jualan sampeyan bisa masuk.”

“Ya?” Dia tampak tertarik. “Gimana caranya?”

Saya pun lalu menjelaskan cara mengurus hal itu, dan dia menyimak dengan serius. Melihat matanya yang berbinar, saya berharap penjelasan saya dapat ia pahami dengan baik, dan harapannya bisa terkabul. 

Setelah selesai membicarakan soal itu, dan saya telah menghabiskan dua batang rokok, saya pun pamit. Dia mengucapkan terima kasih atas penjelasan soal aplikasi tadi, dan saya berharap dia berhasil.

Ketika saya mulai melangkah meninggalkannya, dia berkata dengan riang, “Semoga segera dapat pacar, Mas!”

Saya tertawa.

Related

Hoeda's Note 5856140391304599231

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item