Urusan Santet dan Kemarahan yang Belum Selesai
https://www.belajarsampaimati.com/2024/11/urusan-santet-dan-kemarahan-yang-belum.html
Ilustrasi/cnnindonesia.com |
Ribut-ribut urusan santet tempo hari ternyata belum selesai. Setelah Ferry Irwandi tampil live di YouTube untuk menunggu santet yang dijanjikan akan dikirim pada pukul 00.00 dan ternyata tak terbukti, belakangan ada yang marah. Dan yang marah bukan Ferry. Mestinya dia yang paling berhak marah, karena sudah dijanjikan bukti santet tapi ternyata dibohongi atau tak terbukti.
Di Youtube, konon ada bekas dukun santet yang menyatakan kemarahannya kepada Ferry. Saya sebut “konon”, karena rekaman video itu sekarang sudah tidak ada karena di-take down. Intinya, dia marah karena Ferry tidak percaya pada santet bahkan menantang minta dibuktikan. Lanjutannya jadi panjang, dan urusan ini sepertinya akan panas lagi. Buat yang ingin tahu lebih lengkap, silakan cek timeline Ferry saja.
Yang membuat saya gatal menulis catatan ini adalah betapa sulitnya masyarakat kita membedakan pengetahuan dan keyakinan. Kebanyakan orang mengira pengetahuan dan keyakinan adalah hal yang sama, lalu terperangkap dalam pemahaman yang salah. Padahal pengetahuan dan keyakinan adalah dua hal yang berbeda. Pengetahuan itu kebenaran objektif, dalam arti bisa diterima semua orang. Sementara keyakinan adalah kebenaran subjektif, yang mungkin bisa diterima sebagian orang, tapi belum tentu bisa diterima semua orang.
Sesuatu disebut pengetahuan jika ia bisa diukur, diteliti, diobservasi, hingga bisa dibuktikan. Sementara keyakinan sering kali sulit diukur, tidak bisa diteliti, mungkin bisa diobservasi tapi sangat acak dan nyaris mustahil, dan terakhir juga sulit dibuktikan, atau bahkan tidak bisa dibuktikan sama sekali.
Mari gunakan contoh sederhana untuk memahami soal ini, agar kita tidak mencampuradukkan antara pengetahuan dan keyakinan.
Jarak Pekalongan-Semarang sejauh 80 kilometer. Jika saya naik sepeda motor dari Pekalongan, dan kecepatan motor saya stabil di angka 80 km/jam, dan tidak ada halangan apapun selama perjalanan, saya akan sampai di Semarang dalam waktu 1 jam. Itu pengetahuan, karena bisa diukur dan bisa dibuktikan.
Jadi kalau misal ada teman yang bertanya pada saya, berapa jam perjalanan Pekalongan-Semarang, saya cukup pede menjawab, “Satu jam.” Mungkin bisa lebih beberapa menit, kalau mungkin ada halangan tertentu di jalan, mungkin pula bisa kurang kalau sesekali kita ngebut di atas 80 km/jam selama perjalanan. Sekali lagi, bisa diukur, bisa diteliti, dan bisa dibuktikan siapa pun. Dan itulah pengetahuan!
Beda dengan keyakinan. Sesuatu disebut keyakinan, karena ia tidak bisa diukur, tidak bisa diteliti, sulit diobservasi, bahkan nyaris mustahil dibuktikan. Dalam perspektif saya, santet adalah bagian dari keyakinan.
Jadi kalau ada orang bertanya, bagaimana cara mengirim santet—misal paku payung—ke dalam tubuh seseorang, saya tidak tahu jawabannya! Karena memang tidak ada ilmu pengetahuan yang mampu menjelaskan bagaimana mengirim benda fisik—semisal paku—ke dalam tubuh seseorang, bahkan dari jarak jauh. Itu bukan hanya melanggar hukum fisika, tapi juga melanggar semua hukum alam! Karena jika seseorang memang mampu, misalnya, mengirim paku dari Pekalongan ke Semarang tanpa menggunakan sarana transportasi, ya buat apa ada biro ekspedisi?
Maksud saya, daripada menjadi dukun santet yang mencelakakan orang, jauh lebih baik kalau misal dukun santet membuka biro jasa ekspedisi saja untuk mengirim aneka barang secara gaib. Itu pasti akan jadi layanan yang diandalkan semua orang, bahkan oleh marketplace-marketplace. Karena tidak perlu repot mencetak struk, tidak perlu mengerahkan armada ekspedisi, juga tidak perlu ada pekerja yang berkeliling kampung untuk mencari rumah pembeli. Bahkan drone Amazon dijamin kalah!
Jika ada yang tersinggung membaca uraian barusan, sekarang izinkan saya memberi tahu; begitu pula kami ketika dipaksa mempercayai sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa dibuktikan, tapi kami dipaksa percaya bahwa itu memang ada!
Secara pribadi, jika saya ditanya percaya santet atau tidak, saya akan tegas menjawab “tidak percaya”. Bukan karena saya menafikan keberadaan santet, tapi karena saya bisa membedakan mana pengetahuan dan mana keyakinan. Jika saya ditanya apakah percaya santet ada atau tidak, dan saya menjawab “percaya”, maka orang yang bertanya itu punya hak—secara intelektual—untuk meminta saya membuktikannya.
Jika paragraf itu masih membingungkan, mari gunakan percakapan sederhana yang akan langsung dapat dipahami:
Teman: “Kamu percaya santet?”
Saya: “Tidak.”
Percakapan selesai. Tidak ada yang perlu membuktikan apapun, karena dia bertanya dan saya menjawab “tidak”. Selesai.
Tapi mari ubah percakapannya:
Teman: “Kamu percaya santet?”
Saya: “Percaya.”
Sampai di situ, teman yang bertanya itu punya hak untuk melanjutkan pertanyaan, misalnya, “Kalau kamu percaya santet, apa buktinya?”
Menghadapi pertanyaan itu, saya punya kewajiban intelektual—atau setidaknya secara moral—untuk membuktikan kepercayaan saya. Karena klaim membutuhkan bukti. Dan siapa yang mengklaim, dia yang harus membuktikan. Itu pedoman moral sekaligus aturan universal dalam ilmu pengetahuan yang telah disepakati para intelektual di mana pun. Kalau kamu mengklaim sesuatu, kamu punya kewajiban membuktikannya.
Ketika saya ditanya percaya santet atau tidak, dan saya menjawab “tidak”, saya tidak mengklaim apapun. Karena saya tidak mengklaim apapun, saya juga tidak wajib membuktikan apapun. Tetapi ketika saya ditanya percaya santet atau tidak, dan saya menjawab “percaya”, artinya saya mengklaim sesuatu, yaitu eksistensi santet. Dan karena saya mengklaim sesuatu, saya punya kewajiban membuktikannya. Sesederhana itu aturannya.
Begitu pula dengan orang-orang yang marah pada Ferry Irwandi karena dia tidak percaya santet. Kalau memang kamu marah pada Ferry karena alasan itu, ya jawab saja tantangannya, dan buktikan kalau santet benar-benar ada. Simpel, kan? Kalau kamu cuma marah-marah tapi tidak bisa membuktikan apapun, kemarahanmu justru mengonfirmasi ketidakpercayaan Ferry, dan makin menunjukkan kalau santet memang tidak ada.
Dan sekarang, mari letakkan urusan ini secara proporsional, agar kita lebih bijak memahami kenapa ribut-ribut soal santet ini menggema.
Mengapa Ferry Irwandi secara frontal menunjukkan ketidakpercayaannya pada santet, bahkan sampai terang-terangan menantang dengan tayangan live? Menurut saya, jawabannya sederhana, yakni karena dia merasa dirugikan, secara langsung maupun tak langsung. Dia menyaksikan kepercayaan pada santet telah merenggut kehidupan orang-orang yang mestinya jadi sehat tapi malah mati gara-gara percaya pada hal-hal mistis. Orang kena kanker malah disebut kena santet. Orang yang mestinya ditangani dengan kemoterapi malah dipaparkan asap dan dupa. Orang yang mestinya sembuh malah makin parah sakitnya.
Orang tidak akan melakukan perlawanan pada apapun secara tiba-tiba, tanpa ada api kemarahan yang menyala dalam dirinya. Faktanya, kepercayaan pada santet selama ini telah merugikan banyak orang—bukan pada yang tidak percaya, tapi justru pada yang percaya!
Pada era 2000-an, ketika media cetak mengalami booming di Indonesia, ada banyak sekali iklan paranormal di berbagai majalah dan tabloid. Orang yang tadinya pedagang bakso, berubah jadi paranormal. Orang yang semula bekerja sebagai buruh pabrik, berubah jadi paranormal. Orang yang semula normal-normal saja, berubah jadi paranormal. Karena caranya mudah. Cukup bikin nama yang terdengar sangar, lalu buka tempat praktik, dan pasang iklan di media cetak, lalu pasien akan berdatangan.
Sampai di situ, sebenarnya itu urusan mereka. Siapa pun tentu berhak mengklaim dirinya sebagai paranormal. Toh pada akhirnya mekanisme pasar yang akan menentukan. Masalahnya, sebagian mereka yang mengaku paranormal itu ternyata ada yang terang-terangan melakukan penipuan dan terbukti merugikan jutaan orang.
Jadi, pada waktu itu ada seseorang yang memasang iklan besar-besar di hampir semua majalah dan tabloid yang terbit pada masa itu. Jika saya kalkulasi—pada masa peristiwa ini terjadi—biaya iklan orang itu mencapai ratusan juta per bulan. Dan apa isi iklannya? Dia mengiklankan diri sebagai “Dukun Dahsyat” (sebagian kalian yang dulu aktif membaca media cetak era 2000-an pasti ingat iklan kontroversial itu.)
Si Dukun Dahsyat itu menyatakan bisa menyantet siapa pun. Caranya cukup kirim nama dan foto orang yang akan disantet ke alamat yang tertulis di iklan, dan transfer biaya Rp500.000 ke rekeningnya (untuk ukuran waktu itu, Rp500.000 bukan nominal kecil.)
Perhatikan detail yang saya ceritakan ini. Dukun Dahsyat tadi memasang iklan di hampir semua majalah dan tabloid yang terbit pada masa itu, dan estimasi biaya iklannya mencapai ratusan juta per bulan. Artinya, secara bisnis, dia memperoleh minimal tiga sampai lima kali biaya iklannya! Jadi ada jutaan orang dari berbagai tempat yang terpedaya iklan itu, mengirim foto ke alamat yang dituju, dan mentransfer pembayaran Rp500.000 ke rekening si dukun.
Lalu bagaimana kita tahu kalau dukun itu ternyata penipu? Mudah saja, karena semua kiriman foto dalam amplop yang ditujukan ke alamat si dukun belakangan dikembalikan ke alamat pengirimnya. Karena alamat si dukun ternyata fiktif! Apa yang lebih bejat dari itu?
Oh, ada. Ada yang lebih bejat dari itu, dan inilah kebejatan yang paling sulit dimaafkan.
Ketika ribuan orang yang terpedaya iklan dukun tadi menyadari kalau mereka tertipu, mereka pun melayangkan protes pada media-media yang waktu itu memuat iklan si dukun. Para korban mengirim surat pada media-media cetak, menyatakan bahwa iklan si dukun adalah penipuan, dan meminta semua media agar tidak lagi memuat iklan penipuan tersebut. Dan apakah media-media itu lalu berhenti menayangkan iklan si dukun penipu?
Tidak! Dan inilah bagian yang paling asu dari yang paling asu!
Ingat kembali detail cerita tadi. Si dukun menggelontorkan ratusan juta per bulan untuk biaya iklan di media-media cetak yang terbit pada masa itu. Artinya, iklan itu adalah pemasukan bagi media-media yang menerbitkan iklan penipuan tersebut. Mereka tidak ingin kehilangan pemasukan yang besar itu, dan tetap menayangkan iklan yang sudah jelas-jelas penipuan. [Belakangan, ketika kasus itu makin panas, media-media membubuhkan catatan pada halaman iklan, berbunyi, “Iklan yang tampil di halaman ini di luar tanggung jawab penerbit.”]
Jadi, iklan yang sudah jelas-jelas penipuan itu tetap tayang di berbagai media yang dikonsumsi jutaan orang, dan terus menjaring korban-korban penipuan baru, tanpa ada yang bisa menghentikan. Alurnya sederhana; ratusan juta dari dukun masuk ke rekening media-media sebagai biaya iklan, lalu miliaran uang masuk ke rekening si dukun dari korban-korban penipuannya. Setiap kali terjadi kejahatan terstruktur, masyarakat luas yang menjadi korban!
Bagian yang paling buruk dari kejahatan penipuan itu adalah... si dukun bangsat penipu tadi bukan satu-satunya! Pada masa itu, ada cukup banyak orang yang mengaku dukun, dan menggunakan modus serupa. Mereka memasang iklan yang tampak meyakinkan, lalu menipu banyak orang, dan skema penipuan tadi kembali terjadi.
Era media cetak kini sudah berlalu, tapi para penipu yang menggunakan topeng dukun, paranormal, orang pintar, atau semacamnya, bisa jadi masih gentayangan di berbagai tempat, berusaha menjaring korban dengan berbagai modus. Dan sama seperti yang terjadi pada masa lalu, selalu akan ada orang yang muncul dan terang-terangan melawan upaya-upaya penipuan semacam itu. Karena penipuan adalah kejahatan, dan menipu orang yang lemah atau sakit adalah kejahatan tak termaafkan.