Obrolan [Tidak] Receh Soal Receh
https://www.belajarsampaimati.com/2024/11/obrolan-tidak-receh-soal-receh.html
Ilustrasi/disway.id |
Sekitar pukul 13.00 siang, saya baru keluar dari sebuah warteg, ketika mendengar seseorang memanggil. Ketika menengok ke arah panggilan, saya mendapati Anwar sedang berdiri di depan warung sembako. Saya pun mendekatinya, dan menyapa, “Lagi libur apa gimana?”
Anwar menyahut, “Diliburkan, tepatnya.”
Anwar menerima tas plastik berisi mi instan dari penjual di warung, lalu menerima uang kembalian. Penjual warung berkata kepadanya, “Kembaliannya receh nggak apa-apa, ya?”
“Nggak apa-apa,” jawab Anwar sambil menerima segenggam receh, yang lalu ia masukkan ke saku celananya. Ia lalu berpaling kepada saya, “Ayo mampir.”
“Nggak mengganggu?”
“Nggak! Udah beberapa hari aku nganggur, cuma bengong di rumah.”
Anwar tinggal di dekat tempat itu. Sekitar empat bulan yang lalu saya juga datang ke sana, saat melayat ibunya yang meninggal. Kami pun lalu melangkah bersama menuju rumahnya. Lalu duduk di teras, dan mengobrol sambil menikmati silir-silir angin.
Anwar berkata, menjelaskan ucapannya tadi, “Kerjaan sering sepi, jadi karyawan sering terpaksa diliburkan.”
Anwar bekerja di sebuah pabrik batik skala rumahan. Dulu, bertahun lalu, saat saya masih kerja di pabrik, kami teman sekerja. Setelah saya keluar dari sana, beberapa tahun kemudian pabrik itu tutup. Lalu Anwar bekerja di tempat lain, sampai sekarang. Menurut ceritanya, sudah setahun terakhir produksi batik di tempatnya bekerja tersendat-sendat karena pasarnya sepi. Akibatnya, para karyawan sering terpaksa diliburkan, dan baru diundang kerja saat perlu memulai produksi—misal karena ada pesanan.
“Untung nggak sampai kena PHK, War,” ujar saya.
“Nah itu yang yang aku khawatirkan,” sahut Anwar. “Kemarin ada teman sekerja dolan ke sini, dan bilang kalau kami udah perlu antisipasi kalau-kalau nantinya kena PHK. Ya moga-moga nggak, sih. Cuma kemungkinan kayak gitu selalu ada, kan? Karena bisnis di mana-mana lagi sepi, pabrik-pabrik pada tutup. Makanya meski kadang libur kadang kerja, aku masih bersyukur.”
Mungkin karena merasa tidak nyaman ada uang receh di saku celananya, Anwar lalu merogoh saku celananya dan mengambil segenggam receh yang tadi ia terima dari penjual di warung. Ia letakkan receh-receh itu di pinggir tembok tempat kami duduk. “Receh-receh ini kayak nggak ada nilainya kalau pas lagi punya uang. Tapi kalau pas bener-bener bokek, punya receh gini udah kayak punya mutiara.”
Saya tertawa. “Bener! Orang yang nggak pernah kehabisan duit pasti nggak tahu kayak apa rasanya punya segenggam receh.”
“Omong-omong soal kehabisan duit,” ujar Anwar, “aku pernah telanjur pesan nasi goreng keliling, dan belakangan baru sadar nggak ada duit sama sekali. Jadi saban malam ada tukang nasi goreng lewat sini, dan aku juga sering beli. Karena kebiasaan, dan karena nggak sadar lagi bokek, aku pede aja pesan nasi goreng, karena perut pas lapar banget. Giliran mau bayar, aku baru sadar nggak ada duit sama sekali. Dompetku kosong. Aku ubek-ubek saku-saku celana, nggak ada duit nyempil. Belakangan nemu receh lima ratusan yang nggak sengaja aku kumpulin, dan aku hitung jumlahnya delapan ribu. Masih kurang buat bayar nasi goreng. Tapi paling nggak, waktu itu aku bisa bayar, meski kurang. Aku jujur ke penjualnya, dan janjiin buat bayar sisanya lain hari kalau pas dia lewat lagi. Itu jadi pengalaman yang kayak bikin aku trauma.”
Cerita Anwar mengingatkan saya pada video viral di medsos X. Video itu merekam pembeli bensin di SPBU yang protes pada petugas di sana, karena uang kembaliannya kurang Rp800. Gara-gara itu, si pembeli dan petugas SPBU sampai cekcok. Video itu mendapat komentar dari banyak orang, pro dan kontra. Sebagian ada yang mengatakan, “Halah, paling delapan ratus perak aja ribut.” Sebagian lain menyatakan, “Bagi sebagian orang, delapan ratus perak itu sangat berharga.”
Memang, kalau kita menjalani kehidupan yang stabil secara ekonomi, dan tidak pernah kehabisan uang, receh sebesar lima ratus atau delapan ratus atau bahkan seribuan mungkin terkesan tidak berharga. Jangankan receh yang benar-benar receh yang paling nominalnya tak seberapa, ada orang-orang yang bahkan menganggap nominal seratus ribu itu receh. Tetapi bagi orang-orang lain, yang hidupnya kembang kempis, yang menjalani kehidupan dengan uang tak seberapa, receh-receh semacam lima ratus rupiah itu sangat berharga. Saya tahu betul yang saya katakan ini, karena telah mengalami dan merasakannya sendiri.
Ketika saya ceritakan video tadi pada Anwar, dia mengatakan, “Kayaknya, orang baru tahu nilai uang yang sebenarnya saat benar-benar nggak punya uang sama sekali.”
Saya setuju pada ucapannya. Kalau kita punya uang satu miliar, misalnya, uang satu juta itu receh, dan uang seribu rupiah tidak ada nilainya. Begitu pun kalau kita punya uang satu juta, uang sepuluh ribu masih terasa receh, apalagi seribu. Nilai uang sangat relatif, tergantung berapa yang kita punya. Dan saat kita benar-benar tidak punya uang sama sekali, saat itulah kita akan tahu nilai uang yang sebenarnya.
Anwar lalu bercerita, “Dulu, beberapa tahun lalu, ketika ayahku meninggal, kerjaanku masih lancar. Jadi bisa mengurus segala macam keperluan tanpa masalah, dari biaya pemakaman, tahlilan, dan lain-lain. Kakak sama adikku juga ikut membantu, jadi semua urusan itu bisa dibilang nggak ada masalah, dan kami—anak-anaknya—merasa telah memberikan yang terbaik buat ayah kami. Tapi empat bulan lalu, saat ibu meninggal, aku benar-benar dalam kondisi nggak punya apa-apa. Waktu itu aku masih di pabrik, baru sehari itu masuk kerja setelah cukup lama nganggur. Hape nggak ada kuota sama sekali. Sekitar jam sebelas siang, waktu ibu meninggal, kakakku mengirim WA ke aku, ngasih tahu kalau ibu meninggal. Tapi karena hape nggak ada kuota, pesan kakakku nggak nyampai. Siang hari, pas aku laut (istirahat kerja) dan pulang ke rumah, aku mendapati rumah dalam keadaan ramai, dan baru tahu kalau ibu meninggal. Aku merasa ingin nangis tiap kali teringat itu.”
Anwar terdiam beberapa saat. Kemudian melanjutkan, “Tapi yang paling perih bukan itu. Waktu itu, aku benar-benar nggak ada duit sama sekali, karena lama nggak kerja. Kakak dan adikku juga sama. Kami bukan hanya bingung menghadapi kematian ibu, tapi juga bingung memikirkan biaya pemakaman, tahlilan, dan macam-macam lainnya. Akhirnya kami montang-manting cari pinjaman, dan sampai sekarang aku masih merasa nyesek karena menganggap nggak bisa ngasih yang terbaik buat ibu.”
Hening menggantung. Angin berembus pelan. Penjual sayur lewat.
Saya mengambil rokok, dan menyulutnya. Lalu menawari Anwar, dan dia mengambil sebatang, lalu menyulutnya.
Di antara kepulan asap rokok, Anwar berkata perlahan, “Aku kadang mendengar orang mengatakan, ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’. Orang yang mengatakan itu pasti belum pernah mengalami yang kualami, belum pernah merasakan gimana rasanya nggak punya uang sama sekali, sampai mau memakamkan jenazah ibu aja harus ngutang ke sana kemari. Dia mungkin nggak tahu ucapan semacam itu bisa menyakiti perasaan orang lain yang mengalami sakitnya nggak punya uang. Karenanya, tiap kali mendengar orang mengatakan itu, aku selalu berdoa semoga dia mengalami kondisi benar-benar nggak punya uang sama sekali, agar tahu bahwa omongannya keliru.”
Anwar mengisap rokoknya, lalu bertanya, “Kamu pernah mengalami kondisi benar-benar nggak punya uang sama sekali, sampai berhari-hari?”
“Pernah,” saya menjawab.
“Apa yang kamu rasakan waktu itu?”
“Banyak. Tapi yang paling pasti adalah nggak bisa tidur. Nggak bisa tidurnya itu pertama karena perut kosong, dan kedua karena bingung memikirkan hari esok.”
“Tepat sekali!” Anwar mengangguk. “Tepat seperti itulah yang kualami setiap kali kehabisan uang. Dalam sebulan, aku paling dapat panggilan kerja tiga atau empat hari, dan artinya harus bertahan hidup sebulan dengan penghasilan tiga atau empat hari. Itu jelas nggak cukup, bahkan jika aku cuma makan mi instan satu kali per hari. Saat stok mi instan habis, dan uang benar-benar habis, aku benar-benar gelisah. Karena perut kosong. Juga bingung besok harus gimana. Orang mungkin bisa enak ngomong, nggak perlu khawatir soal rezeki, karena rezeki udah ada yang ngatur. Orang yang suka ngomong gitu pasti belum pernah mengalami kondisi nggak punya uang, nggak punya makanan, hingga rasanya benar-benar hampa.”
Sekali lagi hening menggantung. Angin berembus pelan. Penjual ember lewat.
“Da’,” ujar Anwar kemudian, “gimana menurutmu soal orang-orang yang suka ngomong ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, atau ‘nggak perlu khawatir soal rezeki karena udah ada yang mengatur’?”
“Menurutku, mereka cuma tukang bacot,” sahut saya. Setelah mengisap rokok sesaat, saya melanjutkan, “Maksudku begini. Kalau ada orang mengatakan bahwa ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, atau mengatakan ‘harta dunia nggak ada nilainya’, lalu dia membagi-bagikan uang dan harta miliknya pada orang-orang yang membutuhkan, dia pasti orang bijaksana. Tapi kalau dia cuma ngomong ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, ‘harta dunia nggak ada nilainya’, tapi sebatas cuma ngomong, ya dia cuma tukang bacot yang mungkin ingin dianggap bijaksana. Begitu pun orang yang suka ngomong ‘nggak perlu khawatir soal rezeki’. Kalau dia ngomong begitu sambil memastikan orang-orang yang dikenalnya hidup tanpa kelaparan, dan membantu orang-orang yang memang membutuhkan, dia pasti orang bijaksana. Tapi kalau cuma ngomong, ya dia cuma tukang bacot yang mungkin ingin dianggap bijaksana.”
Anwar mengangguk-angguk, dan perlahan tersenyum. “Baru kali ini aku mendengar penjelasan yang memuaskan soal itu.”
Saya ikut tersenyum.
Anwar lalu bertanya, “Kamu sendiri, percaya nggak kalau kita nggak perlu khawatir soal rezeki, karena katanya rezeki udah ada yang ngatur?”
“Secara pribadi, aku nggak suka—atau nggak berani—ngarep-ngarep sesuatu yang tingkat kepastiannya nggak jelas.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya gini. Kalau aku kerja di pabrik, dan dibayar per minggu tiap hari Kamis, misalnya, aku bisa ngarep-ngarep itu. Karena kepastiannya cukup tinggi, dan bisa diharapkan. Asal aku kerja saban hari, di hari Kamis akan dapat bayaran. Aku berani ngarep-ngarep hal yang pasti semacam itu. Tapi kalau nggak ada kerjaan, nggak ada usaha apa-apa, lalu pede berpikir rezeki udah ada yang ngatur, terus terang aku nggak berani. Karena jatuhnya kayak panjang angan-angan. Wong nggak ada kerjaan, nggak ada apa-apa, tapi ngarep rezeki bakal datang.”
Saya kembali mengisap rokok, lalu melanjutkan, “Orang kadang ngomong, ‘jangankan manusia, bahkan hewan-hewan pun udah dapat jatah rezeki sendiri-sendiri’. Orang yang ngomong gitu pasti nggak tahu kalau ada jutaan spesies hewan yang mati karena kelaparan di mana-mana. Dia juga mungkin nggak tahu ada jutaan orang mati kelaparan di berbagai belahan dunia, bahkan masih terus terjadi sampai hari ini. Karenanya, omongan semacam ‘nggak perlu khawatir soal rezeki’, atau ‘rezeki udah ada yang ngatur’ itu mestinya disampaikan secara bijak. Bukan asal yang penting yakin. Kalau kamu nggak punya uang sama sekali, misalnya, kamu akan tetap nggak bisa beli makanan, meski kamu sangat yakin kayak apapun. Dan kalau kamu nggak makan sama sekali, perutmu nggak akan kenyang meski kamu punya keyakinan sebesar gunung.”
Saya menjentikkan puntung rokok ke tempat sampah, lalu memungut receh-receh yang tergeletak di samping kami duduk. Ada delapan uang receh lima ratusan. Saya taruh receh-receh itu di telapak tangan kanan, lalu menghadapkan kedua telapak tangan saya pada Anwar. “Jika kamu benar-benar nggak punya apapun untuk makan dan bertahan hidup, manakah yang akan kamu pilih? Receh-receh di telapak kanan yang nilainya nggak seberapa, atau telapak kiri yang kosong?”
Anwar memilih telapak tangan saya yang berisi delapan receh lima ratusan. Saya mengangguk, kemudian berkata, “Jangan pernah percaya pada hal-hal kosong—angan-angan kosong, harapan kosong, omongan kosong.”