Lompatan Paradigma
https://www.belajarsampaimati.com/2024/11/lompatan-paradigma.html?m=0
Ilustrasi/infolintar.com |
Kehidupan kita adalah apa yang kita lihat. Apa yang kita lihat adalah apa yang kita ketahui. Apa yang kita ketahui adalah apa yang kita pelajari. Apa yang kita pelajari adalah apa yang kita hadapi. Dan yang kita hadapi itulah yang kemudian kita sebut hidup. Manusia, sesungguhnya, hidup dengan terpenjara oleh paradigmanya sendiri.
Siapa sesungguhnya manusia adalah definisi yang digunakan seseorang untuk menyebut “diri”-nya. Dan seseorang menyebut dirinya bergantung pada bagaimana dia menjalani hidupnya. Dan bagaimana dia menjalani hidupnya bergantung pada paradigma yang digunakannya. Dan paradigma yang digunakannya bergantung pada hidup yang dijalaninya.
“Cogito ergo sum,” kata Descartes. “Aku berpikir maka aku ada.” Tapi Descartes tidak akan bisa berpikir seperti itu, jika ia tidak melakukan lompatan terlebih dulu pada paradigma kehidupan yang dijalaninya. Sebagaimana Rumi yang menari dalam ekstase, dan Gibran menyepi dalam kesunyian, atau Einstein dan Hawking tenggelam dalam rumus, semua penemuan atas “diri” ditemukan setelah manusia melompati paradigma yang memenjarakannya.
Kita semua adalah makhluk dalam cangkang, sosok kecil yang merasa diri paling besar, hingga sering lupa bahwa hidup kita hanyalah apa yang kita lihat. Dan sebelum kita mau dan mampu menyadari bahwa sesungguhnya kita terpenjara, maka selamanya kita tidak akan dapat keluar dari penjara yang mengungkung kita. Pengetahuan berasal dari kesadaran, dan kesadaran hanya dapat diperoleh dengan kerendahan hati.
Bayangkanlah dua butir telur ayam. Di dalam masing-masing telur terdapat anak ayam yang terkurung cangkang. Secara alami, masing-masing telur itu akan menetas, setelah dierami oleh induknya. Tetapi, satu di antara calon anak ayam itu sadar ia ada dalam cangkang, dan kemudian menerobos dinding cangkang yang mengurungnya.
Ketika cangkang yang mengurungnya pecah, anak ayam itu pun terlempar ke luar, dan jatuh menghantam tanah. Ia kesakitan. Tetapi, bersama kesakitannya, ia menyaksikan segala sesuatu yang menakjubkan, yang membuatnya lupa pada rasa sakit. Ia melihat langit, mega-mega, awan di angkasa, hamparan tanah yang luas, pohon-pohon menjulang tinggi, dan makhluk-makhluk lain yang jauh lebih besar dari dirinya.
Di tengah keterpesonaan yang membuatnya takjub, anak ayam itu tanpa sadar berbicara sendiri, “Oh, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata dunia seluas ini. Aku tak pernah tahu kalau ternyata aku hanyalah makhluk kecil di tengah semesta ini. Aku jadi malu, selama ini aku merasa paling hebat dan paling besar sendiri.”
Anak ayam yang masih terkurung dalam cangkang mendengar celoteh itu. Dia marah dan membentak, “Hei, apa yang kamu katakan? Bagaimana bisa kamu bilang dunia ini luas? Dunia ini sempit, sialan! Dan kita memang besar—bahkan sebesar dunia yang kita tinggali!”
“Uh, kamu berpikir seperti itu karena masih hidup di dalam cangkang,” kata anak ayam yang telah keluar dari cangkangnya. “Kamu menganggap dunia ini kecil, karena kamu terpenjara oleh cangkangmu. Cobalah menerobos cangkang yang mengeliligimu, dan kamu akan melihat dunia ini sangat luas, sementara kita amat sangat kecil.”
“Apa? Menerobos?” ejek anak ayam dalam cangkang. “Bicaramu semakin aneh! Tidak usah macam-macam. Jalani saja hidup kita sebagaimana adanya, seperti anak-anak ayam yang lain! Sepertinya otakmu mulai sinting!”
Anak ayam yang telah keluar dari cangkang menatap sekelilingnya, lalu menyahut, “Kamu sebenarnya tertipu oleh pandanganmu sendiri. Matamu tertutup cangkangmu.”
Alam semesta tahu bahwa telur-telur itu akan menetas jika saatnya tiba, tetapi jika—dan hanya jika—saatnya memang tiba. Dan alam semesta pun tahu bahwa ada tak terhitung banyaknya telur ayam yang tak pernah menetas… karena membusuk sebelum sempat keluar dari dalam cangkangnya.
William James, filsuf sekaligus Bapak Psikologi Modern Amerika, yang menjadi Profesor Filsafat di Harvard University, menyatakan, “Penemuan terbesar dalam generasi saya adalah bahwa manusia dapat mengubah hidup mereka dengan cara mengubah sikap pikiran mereka.”
Jauh-jauh hari sebelum William James menyatakan ucapan itu, Sunan Kalijaga telah membisikkan pesan rahasia pada murid-muridnya, “Menggeliatlah dalam matimu.”
Menggeliatlah dalam matimu—keluarlah dari cangkang penjaramu, teroboslah dinding paradigma yang membelenggu kemanusiaanmu.
Seperti anak-anak ayam yang ada di dalam cangkangnya, kita ada dalam cangkang paradigma kita. Dan seperti anak-anak ayam yang dierami agar menetas, kita pun dierami oleh pengetahuan, wawasan, kebudayaan, dan juga kesadaran untuk “menetas” menjadi manusia sesungguhnya. Tetapi jangan pernah lupakan fakta bahwa tidak semua telur dapat menetas… karena ada banyak telur yang tak pernah menetas, karena telah membusuk sebelum ia sempat keluar dari cangkangnya.
“Kita lahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam mimpi, dan kita mati sebelum sempat terbangun.” Rumi menyenandungkan solilokui itu sambil menangis dan tersenyum, dan tersenyum sambil menangis, karena tidak semua manusia mau diajak untuk “terbangun dari tidurnya”. Lebih banyak yang menyukai khayal-impian dalam ketidaksadaran daripada kesadaran dalam kenyataan. Hingga mereka kemudian mengembuskan napas terakhir sebelum sempat menyadari apa sesungguhnya kehidupan.
Dan apakah sesungguhnya kehidupan?
“Kehidupan adalah apa yang dibuat oleh pikiran kita,” kata Marcus Aurelius di Roma.
Pikiran adalah anak kesadaran, dan kesadaran adalah akar kehidupan. Karena kehidupan adalah hasil pikiran, maka kita hanya dapat berpikir jika kita dalam keadaan sadar. Dan kita hanya bisa merasakan kesadaran jika kita benar-benar hidup. Dan kapankah kita benar-benar hidup? Kita tidak pernah tahu, karena kita tidak pernah memberi kesempatan pada diri sendiri untuk menyadari bahwa kita benar-benar hidup.
Kehidupan kita adalah apa yang kita lihat. Apa yang kita lihat adalah apa yang kita ketahui. Apa yang kita ketahui adalah apa yang kita pelajari. Apa yang kita pelajari adalah apa yang kita hadapi. Dan yang kita hadapi itulah yang kemudian kita sebut hidup. Manusia, sesungguhnya, hidup dengan terpenjara oleh paradigmanya sendiri.