Ferry Irwandi Menantang Santet
https://www.belajarsampaimati.com/2024/11/ferry-irwandi-menantang-santet.html?m=0
Malam Jumat kemarin, Ferry Irwandi tampil live di YouTube untuk menunggu kiriman santet dari seseorang. Ketika saya ikut menonton tayangan live itu, ada 27 ribuan orang yang sedang menonton, dengan livechat yang terus aktif. Well, ada puluhan ribu orang yang ingin menyaksikan Ferry Irwandi mati disantet!
Tayangan live “menunggu santet” di YouTube itu bisa dibilang puncak dari keributan soal santet di media sosial X. Mula-mula cuma keributan biasa, sampai Ferry menantang siapa pun yang bisa menyantetnya (membuatnya muntah paku) akan ia beri satu unit mobil Alphard. Kita percaya janji itu, wong dia memang mampu—jangan terkecoh dengan lagaknya yang sederhana. Kalau cuma beli Alphard, itu hal mudah baginya.
Tantangan santet berhadiah Alphard itu viral dan ramai di X, hingga muncul orang-orang yang mengaku sebagai perantara dukun, dan menyatakan akan menyantet Ferry. Tapi semuanya tidak terbukti. Meski Ferry sudah memberikan fotonya—sebenarnya tidak perlu, wong muka dia mudah didapatkan di internet—dan sudah ngasih tanggal lahir dan lain-lain, nyatanya ancaman santet itu tidak terjadi, tidak pernah terbukti.
Kenapa ancaman santet itu tidak terjadi? Oh, alasannya macam-macam, dan sangat klise. Salah satunya terekam dalam tangkapan layar chat yang diunggah Ferry di X. Dalam chat itu, si perantara menyatakan bahwa si dukun adalah “orang baik yang tidak ingin menyakiti,” yatata yatata dan semacamnya. Klise, karena alasan semacam itu serupa dengan alasan lain semisal, “Dia tidak bisa disantet karena bla-bla-bla,” atau, “Dukunnya memilih tidak melakukan santet kepadanya karena bla-bla-bla,” dan semacamnya.
Dari dulu sampai sekarang, setiap kali ada orang yang menantang pembuktian santet, alasannya selalu berputar di situ-situ saja. Dan tantangan Ferry terkait santet kemarin jadi moment penting, karena beberapa alasan. Pertama, dia orang terkenal, dengan lebih dari 1 juta subscriber di YouTube. Kedua, dia melakukan tantangannya secara terbuka, sehingga siapa pun bisa merespons secara terbuka pula. Ketiga, Ferry membuktikan keseriusan tantangannya terhadap santet secara live.
Latar belakang tayangan live itu karena ada orang yang mengirim chat kepada Ferry. Orang yang mungkin dukun itu menyatakan bahwa “nanti malam, pukul 00.00” dia akan membuat tubuh Ferry kembung atau melembung atau apalah. Intinya dia mau menyantet Ferry. Jadi, untuk membuktikannya, dan agar disaksikan banyak orang secara terbuka, Ferry lalu muncul secara live di YouTube menjelang pukul 00.00 sampai hampir pukul 01.00.
Dan apakah kemudian Ferry muntah paku? Badannya kembung dan kepalanya melembung? Tiba-tiba jatuh pingsan? Mati? Tidak! Sampai melewati pukul 00.00, dia masih tetap cengengesan di depan kamera sambil menikmati udud! Boro-boro kena santet, yang ada malah dia dapat saweran dari penonton, mencapai Rp36 juta!
Jadi, sekarang, dalih apa lagi yang kira-kira akan dilontarkan orang-orang yang mengaku bisa menyantet, atau yang percaya pada santet? Ferry sudah terang-terangan dan terbuka menantang siapa pun untuk menyantet dirinya, dan tantangan itu sudah dilihat ribuan atau bahkan jutaan orang. Ketika kemudian ada yang menyatakan ingin menyantetnya, Ferry juga sudah membuktikannya lewat tayangan live yang ditonton lebih dari 27.000 orang. Kenapa santet itu tidak datang, atau tidak terjadi?
Sebenarnya ada jawaban sederhana, yang mestinya dapat dipahami semua orang, bahkan anak SD sekalipun. Yaitu karena santet tidak ada.
Tapi kebanyakan orang sepertinya keberatan menerima jawaban sederhana itu. Mereka lebih suka jawaban rumit yang ndakik-ndakik, untuk menjelaskan kenapa santet tidak terjadi.
Inilah masalah kebanyakan orang, khususnya di Indonesia. Sebagian, atau mayoritas, penduduk negara ini lebih suka mengedepankan—meminjam istilah Tan Malaka—logika mistika, yaitu cara berpikir yang menganggap segala sesuatu disebabkan oleh pengaruh hal-hal gaib.
Sampai di sini, saya teringat sesuatu. Belum lama, di media sosial X ada video yang merekam adegan “aneh” di suatu jalan raya. Ada banyak kendaraan yang melewati jalan itu, dan anehnya motor-motor yang melewati suatu titik di jalan itu tiba-tiba terjatuh. Satu per satu sepeda motor lewat—seperti yang terlihat di video—dan satu per satu motor-motor itu berjatuhan di aspal. Video itu dilengkapi kapsi, “Mengapa fenomena aneh ini bisa terjadi?”
Mengapa? Mengapa puluhan sepeda motor yang melintas di jalan itu berjatuhan satu per satu? Mengapa tidak ada satu pun motor yang selamat saat melewati jalan itu? Mengapa “fenomena aneh ini bisa terjadi”?
Jawabannya sederhana, yaitu karena ada oli yang tercecer di sana!
Tetapi, ketika saya membaca komentar-komentar terkait video itu, rata-rata orang mengajukan kemungkinan gaib. Ada yang menyatakan karena jalanan itu ada penunggunya, karena jalanan itu bekas pembunuhan, karena di sana ada genderuwo yang sedang nongkrong, dan lain-lain. Yang tidak bisa saya lupakan sampai sekarang, ada satu komentar yang mengatakan, “Tolong jangan ada yang menjelaskan kejadian ini secara ilmiah, nanti tidak menarik lagi.”
Did you see that? Itulah potret cara berpikir masyarakat kita. Logika mistika, kata Tan Malaka. Absurd, kata saya. Betapa suatu peristiwa yang mestinya dapat dipahami dengan nalar dan akal sehat, justru dipahami dengan cara membuang nalar dan akal sehat. Masyarakat kita sepertinya tidak rela menggunakan akal sehatnya untuk berpikir, dan lebih suka mengedepankan kemungkinan mistis yang sebenarnya tidak mereka pahami.
Pertanyaannya, mengapa ada banyak orang yang senang dengan hal-hal mistis semacam itu, bahkan mempercayai mati-matian? Penelitian terkait hal ini, yang pernah saya baca, menyebutkan bahwa alasan kenapa ada orang-orang yang percaya pada hal-hal mistis adalah karena mereka “akan merasa hebat karena dapat memahami sesuatu yang tidak dipahami orang-orang lain.”
Ketika orang mengatakan, “Di tempat sana itu ada makhluk gaib penunggunya,” diam-diam dia merasa “hebat” karena merasa bisa memahami sesuatu yang tidak dilihat orang-orang—meski sebenarnya dia juga tidak bisa melihatnya! Hal serupa terjadi pada hal-hal mistis seperti santet, dan semacamnya. Pertama karena masyarakat kita masih terikat dengan logika mistika, dan kedua karena banyak orang akan merasa hebat ketika bisa mempercayai hal-hal mistis semacam itu.
Dan pola pikir semacam itu terus terwarisi dari satu generasi ke generasi lain, karena ada orang-orang yang juga terus berusaha meyakinkan kita bahwa hal-hal mistis semacam itu memang ada.
Ada tukang ceramah, misalnya, yang mungkin ingin dianggap sakti oleh orang-orang yang mendengar ceramahnya. Jadi, dia suka mengumpulkan “bahan ghibah” dari orang-orang sekitar, lalu ia gunakan sebagai bahan ceramah. Mungkin dia ingin dianggap “bisa tahu hal-hal yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya”. Salah satu bahan ghibah yang ia peroleh terkait seseorang yang menderita GERD, yang gejalanya mungkin terdengar asing baginya. Dia mungkin tidak tahu apa itu GERD. Lalu dia ceramah dengan dikeraskan toa, berkoar-koar menyatakan, “Itulah jika tidak berbakti pada orang tua, akibatnya kena penyakit aneh-aneh!”
Kita yang terpelajar mungkin tertawa mendengar ceramah semacam itu, tapi rata-rata orang yang menyimak ceramahnya tidak menyadari. Bahkan si penceramah sendiri juga tidak sadar kalau dia sedang mempertontonkan kebodohannya sendiri. GERD itu bukan penyakit langka atau “penyakit aneh-aneh”, karena dialami jutaan orang di mana-mana. Orang awam biasa menyebutnya “maag”. Dan penyebab umumnya karena sering telat makan, bukan karena tidak berbakti pada orang tua.
Tapi si tukang ceramah itu mungkin tipe orang yang juga suka menggunakan logika mistika, seperti rata-rata masyarakat awam, yang tidak mau menerima penjelasan rasional, dan lebih suka penjelasan ndakik-ndakik yang tidak nyambung. Tidak tahu tapi sok tahu. Akibatnya, masyarakat luas yang menjadi korban.
Faktanya, logika mistika itu berbahaya, karena dapat mengancam keselamatan orang per orang. Ferry Irwandi juga menceritakan hal itu, hingga ia dongkol setengah mati pada urusan santet dan hal-hal mistis semacamnya.
Ibu Ferry menderita kanker, hingga sering bolak-balik ke rumah sakit, dan bertemu dengan para penderita kanker lain di sana. Di antara penderita kanker yang ditemui Ferry di rumah sakit, ada yang termakan omongan “orang pintar” (maksudnya dukun), lalu mengalihkan pengobatan ke orang pintar. Setelah diterapi si orang pintar, penyakitnya bukan sembuh tapi malah makin parah. Ketika kembali dirawat di rumah sakit, penyakitnya sudah tak tertolong. Itu mengerikan, sekaligus tragedi.
Andai para penderita kanker—yang termakan omongan orang pintar tadi—mau terus melakukan terapi di rumah sakit, mereka sebenarnya memiliki harapan sembuh. Tapi gara-gara percaya bacotan “orang pintar”, yang berusaha mengobati mereka dengan cara-cara mistis, penyakit mereka malah makin parah. Sekali lagi, itu mengerikan, sekaligus tragedi.
Dan ada kisah tragis lain yang sekarang ingin saya ceritakan. Teman saya, sebut saja Agung, punya ibu yang mengalami masalah pada perutnya. Ada istilah medis untuk itu, tapi saya tidak bisa menyebutkannya di sini, karena Agung tidak mengizinkan. Intinya, Agung telah berusaha agar ibunya dirawat di rumah sakit, agar segera sembuh. Agung telah membawa ibunya menjalani terapi, dan telah diberi obat. Butuh proses dan waktu untuk penyembuhannya, seiring rutin menjalani terapi dan mengonsumsi obat yang diresepkan dokternya.
Tetapi, ibu Agung merasa lebih nyaman berobat pada seorang tukang pijat yang terkenal sebagai orang pintar. Menurut si orang pintar tersebut, penyakit pada perut ibu Agung karena “dikirim” oleh salah satu tetangganya. Semacam santet gitu, lah. Ibu Agung percaya omongan itu, dan melabrak tetangganya. Padahal, menurut Agung sendiri, penyakit yang diderita ibunya adalah penyakit biasa yang mestinya akan sembuh jika ibunya patuh pada saran dokter.
Yang menyedihkan adalah, ibu Agung sudah meninggal ketika saya menulis catatan ini. Seiring waktu, penyakitnya makin berat, ia makin kesakitan, namun tetap kukuh hanya mau berobat pada si orang pintar. Hasilnya, penyakit yang diderita bukannya sembuh, tapi malah parah dan semakin parah. Hati Agung hancur menyaksikan kematian ibunya, jiwanya terluka mendapati ibunya, menjelang kematian, masih percaya pada kebohongan orang yang ia anggap “pintar”.
Sampai di sini, pernahkah kita berpikir kenapa ada banyak orang yang lebih suka mendatangi dukun atau orang pintar ketika sakit, daripada mendatangi dokter? Mari saya tunjukkan.
Ketika seseorang menderita sakit, dan ia mengunjungi dokter, biasanya dokter akan memberitahu—secara langsung maupun tak langsung—bahwa penyakit itu terjadi karena kesalahan orang tersebut. Misalnya karena makan sembarangan, atau karena malas gerak, atau karena tidak pernah olahraga, atau karena hal lain yang biasanya disebabkan oleh orang itu sendiri.
Tetapi, ketika seseorang menderita sakit, dan ia mengunjungi dukun atau orang pintar, biasanya si dukun atau orang pintar akan memberitahu bahwa penyakit itu terjadi karena ulah orang lain. Misalnya karena ada orang yang mengirimi guna-guna, santet, tenung, atau semacamnya. Intinya, dukun atau orang pintar itu tidak menyalahkan si pasien, tapi menyalahkan orang lain. Hal itu membuat si pasien merasa lebih nyaman, karena ego mereka tidak terusik.
Bisa melihat garis tipisnya di situ? Banyak orang tidak nyaman memeriksakan penyakitnya ke dokter, karena mereka akan mendapati kenyataan bahwa penyakit itu disebabkan oleh dirinya sendiri—entah karena makanannya, entah karena gaya hidupnya, entah karena kebiasaannya, intinya salahnya sendiri! Itu membuat ego mereka tidak nyaman.
Di sisi lain, banyak orang lebih nyaman memeriksakan penyakitnya ke dukun atau orang pintar, karena mereka akan diberitahu bahwa penyakit yang mereka derita karena ulah orang lain—entah santet, tenung, guna-guna, atau apapun sebutannya. Intinya, penyebab penyakit itu adalah orang lain! Itu membuat ego mereka merasa nyaman.
Latar belakang itulah yang menjadikan praktik perdukunan dan orang-orang [sok] pintar tetap ramai didatangi orang, dengan berbagai keluhan. Orang-orang yang datang itu mungkin tidak mendapat kesembuhan atas penyakitnya, atau tidak memperoleh solusi atas masalahnya, tapi mereka merasa nyaman, karena ego mereka tidak terusik! Mereka tidak merasa disalahkan, karena, menurut si dukun atau si orang pintar, penyakit atau masalah mereka disebabkan orang lain!
Fenomena semacam itu sudah seperti kanker di kalangan masyarakat kita—ia ada di mana-mana, dengan berbagai nama, dan sulit dihilangkan. Masyarakat kita lebih suka mendengar omongan ndakik-ndakik dan mistis dari dukun atau orang pintar, daripada omongan rasional dan masuk akal.
Yang jadi masalah, fenomena masyarakat yang lebih mengedepankan pola pikir mistis semacam itu berdampak pada kemajuan bangsa secara keseluruhan. Karena masyarakat semacam itu akan lebih mudah menerima berita hoaks atau kebohongan yang tidak masuk akal, membuat mereka malas berpikir hingga terus terbelakang, yang pada akhirnya membuat mereka gampang menyerah karena lebih mudah menyalahkan takdir daripada bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.
Kita memiliki tugas besar dalam menghadapi kenyataan pahit itu, khususnya jika kita peduli pada kemajuan masyarakat dan bangsa ini. Selama takhayul dan mistis masih menjadi kepercayaan mayoritas orang, selama itu pula bangsa kita tidak akan pernah beranjak ke mana-mana.
Ferry Irwandi telah memulai. Dan kita bisa menyertainya.