Di Bawah Remang Rembulan
https://www.belajarsampaimati.com/2024/11/di-bawah-remang-rembulan.html
Ilustrasi/detik.com |
Apakah kamu pernah menginap di kantor pos? Saya pernah. Tepatnya di halaman kantor pos. Bersama beberapa teman, yang terkunci di dalamnya.
Jadi, waktu itu liburan semester kuliah, dan saya kumpul dengan beberapa teman dari kampus lain yang biasa nyangkruk bareng. Malam itu, semula kami kumpul di rumah saya, lalu keluar untuk makan malam. Saya masih ingat, teman-teman yang kumpul malam itu adalah Adit, Safik, Miko, Ridwan, Hakim, dan Tanjung.
Usai makan malam, Safik usul agar kami nyangkruk di halaman kantor pos, karena sepertinya enak buat leyeh-leyeh. Kantor pos di masa itu memiliki halaman luas dengan taman berumput dan pepohonan. Kami masuk ke halaman kantor pos, kemudian duduk-duduk di taman sambil menikmati udud.
Waktu itu, kami tidak tahu kalau pintu gerbang kantor pos akan ditutup pada pukul 21.00. Dan karena keasyikan ngobrol, kami tidak sadar ketika seorang petugas menutup pintu gerbang, menguncinya dengan gembok, lalu pergi. Petugas itu mungkin tidak tahu kami masih ada di taman kantor pos, atau mungkin pula dia tahu tapi sengaja mau mengerjai kami.
Yang jelas, sekitar pukul 23.00, saat mau keluar dari sana, kami mendapati pintu gerbang telah tertutup dan tergembok. Sebenarnya, kami bisa saja melompati pintu itu, karena tingginya tidak sampai 2 meter. Masalahnya, kami tidak tahu bagaimana mengeluarkan motor-motor kami dari sana!
Dengan santai, Miko berkata, “Yo wis, kita nginap aja di sini.”
“Nginap di sini gimana?” sergah Safik.
Miko menjelaskan, “Besok, kantor pos buka jam delapan pagi. Pasti pintu gerbang akan dibuka, dan kita bisa keluar.”
Untungnya, waktu itu bukan malam Minggu, jadi penjelasan Miko terdengar masuk akal. Kami pun lalu meneruskan obrolan malam itu, dan benar-benar nyangkruk semalam suntuk, di taman kantor pos. Itu jadi masa-masa menyenangkan dari zaman kuliah, ketika rata-rata kami belum menghadapi tantangan hidup seberat sekarang.
Bertahun-tahun kemudian, ketika tidak lagi kuliah, pertemuan kami makin lama makin jarang, karena masing-masing sibuk dengan kehidupan sendiri-sendiri. Miko dan Safik bekerja di luar kota. Ridwan sibuk mengurusi bisnisnya, dan tak lama kemudian menikah. Tanjung mengajar di sekolah, dan belakangan juga di pondok pesantren. Hakim bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan, dan kemudian menikah. Belakangan, yang masih sering ketemu dengan saya cuma Adit, yang masih sama-sama lajang.
Sewaktu-waktu, saya ketemuan dengan Adit, sampai sekarang. Suatu malam, ketika saya ngobrol dengannya, Adit berkata, “Kamu udah dengar kabar Hakim?”
“Kabar soal apa?” tanya saya.
“Hakim mau jual ginjal.”
“Hah?” saya terkejut. “Jangan ngawur!”
Adit lalu menceritakan, “Tempo hari, aku nggak sengaja ketemu Hakim di tempat fotokopi. Dia sempat tanya, di mana kira-kira bisa jual ginjal. Aku kaget. Entah dia serius atau bercanda. Dia bilang lagi bingung, karena udah lama nggak kerja. Tapi kami nggak ngobrol banyak, karena dia lagi buru-buru. Mau melamar kerja, katanya.”
Adit maupun saya memang sudah lama tidak bertemu Hakim, sama seperti kami sangat jarang ketemu dengan teman-teman yang sudah menikah. Karena kami sadar, teman-teman yang sudah menikah umumnya sangat sibuk mengurusi keluarga, jadi kami tahu diri untuk tidak mengganggu mereka. Hakim termasuk teman yang sudah menikah. Dulu, awal-awal dia menikah, kami memang masih ketemuan. Tapi setelah Hakim punya anak, kami sangat jarang ketemu, bahkan belakangan sangat lama sekali tidak ketemu.
Saya lalu mengusulkan untuk mengunjungi Hakim, dan Adit setuju. Saya tanya, “Nomornya Hakim yang dulu masih aktif nggak, sih?”
“Kayaknya masih,” jawab Adit. “Coba aja.”
Saya membuka ponsel, lalu mengirim pesan ke nomor Hakim, memberi tahu kalau saya bersama Adit ingin dolan ke tempatnya. Sesaat kemudian, datang jawaban Hakim, “Bagus sekali! Aku tunggu.”
Malam itu sekitar pukul 20.00, dan kami lalu berangkat ke rumah Hakim. Setelah menikah, Hakim dan istrinya tinggal di sebuah perumahan. Saya masih ingat nama perumahan itu, tapi sudah lupa rutenya, karena lama sekali tidak ke sana. Adit ternyata juga lupa. Akhirnya, Hakim mengirim map ke ponsel saya, dan map itu memandu kami ke rumahnya.
Setelah dua puluh menit perjalanan, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Hakim telah menunggu di depan rumah. Dia tersenyum lebar saat melihat kami, dan berkata kepada saya, “Sebenarnya, aku mau bilang kamu tambah kurus, Da’. Tapi aku kayaknya lebih kurus dari kamu, ya.”
Hakim memang tampak kurus, jauh lebih kurus dari Hakim yang dulu biasa nyangkruk di zaman kuliah.
Rumah Hakim tampak gelap. Ketika Adit menanyakan hal itu, Hakim menjelaskan, “PLN mencabut listrik di rumahku, karena aku nggak bisa bayar.” Dan ternyata bukan hanya listrik, PAM juga mencabut aliran air ke rumah Hakim dengan alasan sama.
Kami bertiga duduk di lantai teras rumah Hakim, hanya diterangi lampu jalan dan sinar bulan. Dalam keremangan itu, kami bercakap-cakap layaknya teman yang lama tidak ketemu. Seiring percakapan, saya kemudian mengatakan pada Hakim bahwa saya mendapat kabar dari Adit. “Tadi Adit bilang, katanya kamu mau jual ginjal. Jadi kami ke sini buat memastikan kamu masih waras.”
Hakim tertawa. “Kedengarannya sangat frustrasi, ya? Karena aku nggak tahu lagi yang harus dilakukan. Hidupku lagi nggak karuan sekarang.”
Hakim lalu menceritakan kondisinya saat ini. Sudah setahun dia menganggur setelah kena PHK dari tempatnya bekerja. Selama menganggur, dia sudah ke sana kemari mencari kerja, tapi sampai kini belum juga dapat kerja. Sementara kebutuhan hidup terus berjalan, satu per satu barang dijual, dari kendaraan, televisi, sampai aneka perabotan. Belakangan, rumah yang ia tempati bersama keluarga kecilnya akan disita bank, karena tunggakan utang.
“Hanya nunggu waktu aku keluar dari rumah ini,” ujar Hakim. “Karena nyatanya aku udah nggak ada uang buat nyicil pembayaran.”
Rumah yang ditinggali Hakim tampak kosong. Bukan hanya tanpa perabotan, tapi istri dan anak-anaknya juga tidak ada. Hakim menjelaskan, istrinya terpaksa pulang ke rumah orang tuanya, “Karena di sini udah nggak ada apa-apa. Nggak ada air, nggak ada listrik, nggak ada harapan.”
Kehidupan bisa naik turun sangat mengerikan, mirip rollercoaster. Di satu waktu, kita bisa menikmati kenyamanan—pekerjaan lancar, uang lancar, kehidupan lancar—lalu di waktu lain tiba-tiba kita kehilangan pekerjaan, uang habis, dan kehidupan morat-marit. Hakim mengatakan itu di bawah keremangan rembulan, saat kami duduk di teras rumahnya.
“Dulu,” ujar Hakim, “aku nggak pernah membayangkan kalau suatu ketika akan sampai di titik ini. Waktu lulus kuliah dulu, aku merasa hidupku lancar-lancar aja. Dapat kerja, penghasilan lumayan, terus menikah, bisa punya rumah, lalu punya anak-anak. Itu kehidupan yang sempurna. Lalu, tiba-tiba, PHK terjadi, dan semuanya berubah. Aku benar-benar nggak mengira...”
Saya menyulut rokok, lalu berkata, “Aku baru tahu kabarmu sekarang, setelah ketemu Adit. Karena kita lama banget nggak ketemu. Aku mengira hidupmu masih baik-baik aja.”
Hakim tersenyum. “Sebenarnya, aku kadang ketemu teman-teman kita, khususnya yang udah menikah. Tapi mereka juga menghadapi masalahnya sendiri-sendiri. Kayaknya ruwet banget kehidupan orang-orang yang udah berumah tangga.”
Kami lalu membicarakan kabar teman-teman, dan mengenang masa-masa dulu saat masih kuliah, ketika masih sering nyangkruk bersama, termasuk “menginap” di halaman kantor pos. Kami bernostalgia sambil tertawa-tawa.
“Kalau ingat masa-masa itu,” ujar Hakim, “rasanya aku ingin kembali ke masa lalu. Hidup belum terasa berat, belum ada tanggungan macam-macam.”
Adit menyulut rokok, lalu bertanya pada Hakim, “Omong-omong, rencanamu soal jual ginjal itu bercanda, kan?”
“Aku bahkan nggak tahu apakah aku bercanda atau nggak, Dit,” sahut Hakim dengan berat. “Aku udah nggak punya apa-apa sekarang, selain hape yang aku butuhkan buat nyari lowongan kerja. Untungnya aku punya istri yang baik dan sangat sabar. Dia tetap mendukungku sampai sekarang. Dan aku punya tanggung jawab menghidupi istri dan anak-anakku.”
Saya berkata, “Kalau begitu, kamu bukan ‘udah nggak punya apa-apa’, Kim. Kamu masih punya istri dan anak-anak yang mencintaimu. Aku sama Adit malah nggak punya.”
Hakim nyengir, “Yeah, kamu selalu mampu menemukan hikmah keparat dalam kesengsaraan.”
Kami bertiga tertawa-tawa.
Seiring obrolan yang terus mengalir, Hakim mengatakan, “Aku senang sekali ketemu kalian. Udah lama sekali aku nggak bisa ketawa seperti sekarang.” Lalu Hakim berkata pada saya, “Kamu akan nulis pertemuan ini, kan? Di situsmu? Aku belum pernah masuk tulisanmu!”
“Oke, ntar aku tulis,” saya buru-buru menyahut.
Hakim lalu menggerutu, “Sekalinya masuk tulisanmu, pas aku lagi susah!”
Saya tertawa, “Jadi, kamu ingin pertemuan ini ditulis apa nggak?”
“Ya,” jawab Hakim, “tapi tolong dipoles dikit, biar aku nggak kelihatan sengsara-sengsara amat.”
Saya kembali tertawa. “Dipoles apaan, wong itu tulisan, bukan foto Instagram.”
“Ya pokoknya kamu tahu, lah!”
Hakim lalu bertanya apakah kami punya kabar lowongan kerja. Latar pendidikan Hakim adalah akuntansi, jadi lowongan yang ia butuhkan agak spesifik, jika harus sesuai pendidikannya. Sebenarnya, Adit juga lulusan akuntansi—dia kuliah sekampus dengan Hakim—tapi dia punya usaha sendiri, meski tidak terkait dengan pendidikannya.
“Aku udah punya akuntan,” ujar Adit pada Hakim. “Andai belum punya, aku bisa pakai kamu jadi akuntan di tempatku.”
“Apa akuntanmu dipecat aja, Dit?” usul Hakim.
Adit cuma ngikik.
Saya lalu teringat sesuatu, dan berkata pada Hakim, “Belum lama, Alvin buka usaha baru. Siapa tahu sekarang butuh akuntan?”
“Alvin siapa?” tanya Hakim.
“Alvin teman kuliah kalian.”
Hakim bengong, “Emang kamu masih sering ketemu Alvin, Da’?”
“Iya, kami masih sering ketemuan.”
“Aneh...”
“Kalian yang aneh!” seru saya. “Alvin tuh teman kuliah kalian, bukan teman kuliahku!”
“Lha ya aneh, kan? Wong kami yang sekampus aja udah nggak pernah ketemu, kok kamu masih sering ketemu?” Lalu Hakim berpaling pada Adit, “Kamu masih sering ketemu Alvin, Dit?”
“Jarang banget,” sahut Adit. “Udah lama sekali nggak ketemu dia. Alvin tuh... anu, terlalu ilmiah. Jadi kami agak segan.”
Saya tertawa. “Jadi kalian pikir, aku kurang ilmiah apa gimana?”
“Kamu juga sangat ilmiah, Da’,” sahut Hakim, entah dia jujur atau bohong. “Tapi kamu bisa diajak ngobrol seperti orang-orang tolol. Kita asyik-asyik aja sama kamu. Tapi kalau sama Alvin tuh... ya kayak yang dibilang Adit tadi, kami kayak segan, gitu.”
“Jadi, Kim,” ujar saya kemudian, “kalau misal Alvin bener-bener butuh akuntan, kamu mau nggak?”
“Ya mau, lah!”
“Tapi tadi kamu bilang nggak nyaman sama dia?”
“Bukan nggak nyaman,” sahut Hakim meluruskan. “Segan. Aku sama teman-teman yang lain tuh segan sama dia. Tapi aku percaya, dia bos yang baik! Tolong tulis itu, Da’! Biar Alvin baca, dan masukin aku jadi akuntannya!”
Kami kembali tertawa-tawa.
Sering kali, ketika kita sedang susah, merasa sendirian, kehadiran teman bisa menjadi hiburan menyenangkan. Mungkin teman kita tidak bisa membantu apa-apa, tapi kita sudah senang karena dia masih mengingat kita, dan masih menjadi teman kita. Kalimat barusan bukan milik saya, karena kalimat itu diucapkan Hakim saat kami mengobrol sambil tertawa-tawa di teras rumahnya yang remang-remang.
Di bawah remang rembulan malam itu, obrolan kami terus mengalir, canda dan tawa kami seperti tak berakhir.