Seorang Pria Memancing Sendirian

Ilustrasi/tribunnews.com
Jalan menuju rumah adik saya melewati rawa-rawa, dan di sana sering ada orang-orang yang memancing ikan. Saya tidak tahu apakah di rawa-rawa itu memang banyak ikannya. Yang jelas, setiap kali saya lewat, hampir selalu ada orang yang lagi duduk dan memegangi joran, menunggu umpannya mendapat ikan.

Biasanya, saya hanya memandangi mereka sekilas, sambil lewat. Suatu sore, ketika melewati rawa-rawa itu, saya melihat Lukman, seorang teman, sedang memancing sendirian. Saya berhenti, lalu mendekatinya. Lukman tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum lebar. Saya duduk di sampingnya.

“Baru tahu kalau kamu ternyata suka mancing,” ujar saya.

“Aku juga baru tahu,” sahut Lukman sambil tertawa. 

Kami duduk di pinggir rawa-rawa, sementara di beberapa bagian lain ada orang-orang yang juga sedang memancing. Sebagian ada yang bergerombol, sebagian lain sendirian. Rawa-rawa itu lumayan luas, jadi jarak orang per orang yang memancing di sana juga berjauhan.

Lukman mengatakan, “Orang-orang yang kelihatan sering mancing ternyata belum tentu memang hobi mancing. Kadang-kadang, mereka cuma ingin menikmati momen hening, dan berpikir dengan tenang. Aku baru menyadari itu setelah sering ke sini, dan bergaul dengan orang-orang yang biasa mancing di sini. Jadi, sebagian mereka sebenarnya nggak peduli dapat ikan atau nggak, karena tujuan utamanya emang bukan itu.”

“Emang kamu sering ke sini, Luk?” tanya saya.

“Akhir-akhir ini, ya. Udah dua bulanan aku rajin ke sini, hingga saling kenal dengan orang-orang lain yang juga sering ke sini. Belakangan aku mulai tahu, orang yang mancing bareng teman-temannya, biasanya emang hobi mancing. Tapi orang yang mancing sendirian—kayak yang di sana, juga di sana itu—ternyata belum tentu hobi mancing. Mereka cuma ingin sendirian sambil menikmati keheningan.”

Saya jadi tidak enak. “Waduh, jangan-jangan aku udah ganggu waktu sendirimu.”

“Nggak, nggak,” sahut Lukman. “Aku emang lagi menikmati kesendirian di sini, tapi aku juga senang ketemu kamu.”

Lukman tadinya bekerja di sebuah pabrik tekstil. Sekitar tiga bulan lalu, pabrik itu tutup, dan Lukman kena PHK seperti para karyawan lain. Lalu Lukman menghadapi masalah klasik dalam urusan mencari kerja; usia sudah melewati ambang lowongan, sementara lapangan kerja yang tersedia makin sedikit. Jadi, sejak kena PHK, Lukman praktis menganggur.

“Aku baru sadar, menganggur ternyata lebih capek daripada kerja,” ujar Lukman. “Makanya daripada bengong nggak jelas di rumah, akhirnya aku ke sini, lumayan bisa dapat ikan.”

Saya mengeluarkan bungkus rokok, menyulutnya sebatang, lalu menyodorkan bungkus rokok pada Lukman. Dia menancapkan joran ke tanah, mengambil sebatang rokok, lalu menyulutnya.  

Duduk di pinggir rawa-rawa sambil menikmati asap rokok, kami bercakap-cakap seputar kehidupan sehari-hari, lapangan kerja yang makin sempit, pabrik-pabrik yang tutup, korban PHK di mana-mana, dan mencari duit yang makin sulit.

“Bahkan warung kakakku juga makin sepi sekarang,” ujar Lukman.

Lukman tinggal bersama kakak perempuannya, yang biasa ia panggil Mbak Wiwit. Sekian tahun lalu, Mbak Wiwit menikah, dan sekarang punya dua anak. Sekitar dua tahun yang lalu, suami Mbak Wiwit meninggal. Untuk menyambung hidup sehari-hari, Mbak Wiwit membuka warung sembako.

“Kenapa hidup kok makin nggak jelas gini, ya,” lanjut Lukman.

“Banyak yang merasa gitu, Luk,” sahut saya.

Lukman lalu bercerita, “Aku pernah ngobrol sama bapak-bapak yang mancing sendirian di sini. Kami langsung akrab, karena ternyata dia juga baru kena PHK, jadi obrolannya nyambung. Dia cerita, sebenarnya dia nggak suka mancing. Tapi karena menganggur, dan di rumah bingung mau ngapain, akhirnya dia mancing ke sini. Ada juga mas-mas—mungkin seumuran kita—yang juga nggak suka mancing, tapi suka datang ke sini karena katanya nggak enak sama mertua. Jadi dia udah nikah, tinggal sama istri di rumah mertua, terus kena PHK. Dia bingung saban hari. Kalau di rumah, dia nggak ngapa-ngapain. Mau keluar, nggak ada kerjaan. Akhirnya dia ke sini, katanya biar ada kegiatan.” 

Lukman mengisap rokoknya, lalu melanjutkan, “Ada juga kernet angkot, yang sering mancing sendirian di sini, tapi ternyata juga sebenarnya nggak suka mancing. Jadi dia tadinya bekerja sebagai kernet. Makin ke sini, katanya, angkot makin sepi penumpang. Akhirnya, sopir yang juga pemilik angkot, menjual angkotnya, dan mas-mas kernet ini lalu menganggur. Habis itu dia bingung. Waktu kami ngobrol, dia bilang cuma lulusan SMP. Pengalaman kerjanya cuma jadi kernet. Dia udah melamar kerja ke mana-mana, tapi nggak dapat kerjaan. Saban hari diomeli istri di rumah. Akhirnya dia sering ke sini, meski sebenarnya nggak suka mancing.”

Saya mengangguk-angguk mendengar penuturan itu. Saya sendiri termasuk orang yang tidak suka memancing, dan sering heran saat melihat orang-orang yang mau duduk berjam-jam hanya untuk memancing. Dan sekarang, setelah mendengar penuturan Lukman, saya akhirnya mulai memahami bahwa orang-orang yang tampak asyik memancing itu bisa jadi sebenarnya tidak suka mancing. Tapi kondisi yang mereka hadapi membuat orang-orang itu “melarikan diri” ke tempat pemancingan, demi bisa menyendiri, untuk berpikir, dan mencari jalan keluar untuk menghadapi aneka masalah yang ada.

Di internet, saya pernah mendapati sebuah video yang memperlihatkan seorang pria sedang memancing, didatangi istrinya yang marah dan ngomel-ngomel. Si istri tampaknya marah pada suaminya, karena kerjaannya cuma memancing. Waktu saya ceritakan itu pada Lukman, dia mengatakan, “Ya bisa jadi pria itu emang hobi mancing sampai lupa tanggung jawab pada keluarga, bisa jadi pula dia sering mancing karena stres menghadapi kehidupan dan ingin menyendiri.”

“Waktu pertama kali aku kena PHK,” lanjut Lukman, “rasanya stres banget. Bangun tidur, biasanya berangkat kerja, sekarang rasanya hampa. Nggak tahu mau ngapain. Akhirnya cuma gelusar-gelusur nggak jelas di rumah, karena emang nggak ada yang dikerjakan. Berhari-hari aku kayak gitu, dan rasanya capek banget. Sampai aku berpikir kalau menganggur bisa lebih capek daripada kerja. Jadi, aku mulai mikir, aku harus punya kegiatan. Di rumah, aku bantu-bantu kakakku di warung, nyuci piring, nyuci baju, bersih-bersih rumah, dan lain-lain, sambil terus berusaha cari kerjaan. Belakangan, pas lewat sini, aku terpikir untuk mengisi waktu luang buat mancing. Jadi aku lalu nyoba mancing di sini, dan efeknya ternyata menyenangkan.”

“Menyenangkan karena dapat ikan?”

“Bukan. Sebenarnya, sebutan yang lebih tepat mungkin menenangkan. Waktu duduk sendirian berjam-jam di sini, memegangi joran, aku kayak dipaksa untuk berpikir. Mungkin karena efek kesendirian, ya. Itu terasa menenangkan bagiku. Sejak sering di sini, aku merasa lebih tenang, lebih bisa berpikir dengan baik, hingga aku mulai terbiasa dengan kesendirian. Dan sekarang aku paham kenapa ada orang-orang yang betah duduk berjam-jam sendirian, memegangi joran, meski mungkin nggak dapat ikan. Karena mereka bisa jadi nggak niat memancing, tapi menikmati kesendirian, agar bisa berpikir. Jadi kalau dapat ikan ya syukur, nggak dapat ya nggak apa-apa. Karena tujuannya memang kesendirian untuk berpikir.”

Sebagai orang yang biasa menikmati kesendirian, saya sangat memahami maksud Lukman. Saat sendirian, apalagi sampai lama, orang memang akan dipaksa dirinya sendiri untuk berpikir. Orang yang tidak biasa sendirian akan mengalami perasaan tersiksa saat pertama kali mengalami hal itu, hingga banyak orang yang lebih suka berkumpul dengan orang lain, semata-mata karena tidak nyaman sendirian. Tapi begitu seseorang mulai terbiasa dan nyaman dengan kesendirian, ia akan menikmatinya, karena di saat sendirianlah ia akan mulai mengenali dirinya sendiri.

Lukman seperti akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian joran miliknya tampak bergerak-gerak liar. Dia segera mencabut joran dari tanah, lalu menarik senar pancing. Seperti yang sudah kami duga, umpan di kail telah mendapatkan tangkapan. Dan Lukman tersenyum lebar saat mendapati seekor ikan cukup besar di mata kailnya. “Rezeki hari ini,” ujarnya dengan senang.

Menurut Lukman, aktivitas memancingnya di sana bisa mendapatkan beberapa ekor ikan. Ikan-ikan itu ia bawa pulang, dan dijadikan lauk untuk makan bersama keluarga kakaknya. “Selalu senang tiap melihat keponakanku makan ikan hasil tangkapanku,” kata Lukman sambil tertawa.

Sore makin gelap. Beberapa pemancing di sana tampak mulai beranjak dari tempatnya, sambil menenteng joran dan tas plastik hitam yang mungkin berisi ikan hasil tangkapan. Mereka mungkin tidak hanya membawa ikan hasil tangkapan, tapi juga hasil pemikiran selama sendirian. Untuk menghadapi kehidupan, untuk membangun impian dan harapan.

Related

Hoeda's Note 2078385234038504896

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item