Orang Gila di Tengah Malam

Ilustrasi/hoops.id
Hal menjengkelkan yang sering saya alami adalah kelaparan di tengah malam. Saat akan tidur, misalnya, perut tiba-tiba keroncongan. Rasanya sangat tidak nyaman, dan saya juga biasanya akan sulit tidur. Karena hal itu, saya pun selalu menyediakan roti di rumah, sebagai jaga-jaga kalau kelaparan di tengah malam.

Tetapi, kadang-kadang, stok roti benar-benar habis, dan saya merasa, mau tak mau, harus keluar rumah untuk mencari makan. Keluar rumah di tengah malam untuk makan tentu bukan hal menyenangkan, tapi saya terpaksa melakukannya agar perut tidak keroncongan. 

Kenapa tidak pakai layanan pesan antar saja? Sebenarnya itu memang mudah dan praktis. Saya tidak perlu keluar rumah, tinggal buka ponsel, dan pesan makanan, lalu ada orang yang akan mengantarkan ke rumah. Tetapi, di tempat saya tinggal, pesan makanan di tengah malam bukan hal umum. Jadi, kalau pas kelaparan di tengah malam, saya memilih keluar untuk mencari warung.

Untungnya, ada warung-warung yang buka sampai tengah malam, atau bahkan 24 jam, misalnya warteg waralaba yang terkenal itu. Sementara warung langganan saya biasanya buka usai magrib, dan tutup menjelang subuh. Warung inilah yang sering saya datangi kalau pas lapar di tengah malam. Mungkin, karena banyak orang yang juga kelaparan di tengah malam, warung itu bisa dibilang selalu ramai setiap kali saya ke sana.

Sekitar pukul 00.30, beberapa malam lalu, saya mendatangi warung itu, karena perut kelaparan. Jalanan sudah sepi, tapi warung itu lumayan ramai. Ketika sampai di sana dan melangkah memasuki warung, saya mendengar suara seorang lelaki yang kedengarannya sedang berbicara dengan nada kencang. Kalau saya tidak salah dengar, lelaki itu berkata, “Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana!” 

Saya memesan nasi di warung, lalu menikmatinya di salah satu meja, di antara orang-orang yang juga sedang makan di sana. Selama makan, saya terus mendengar suara lelaki yang berteriak-teriak tadi. “Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana! Wolah mengatakan tenang saja! Semuanya sudah ada yang mengatur! Opo!”  

Di dekat saya makan, seorang lelaki menyesap teh di gelas, lalu berkata pada teman di sebelahnya, “Itu (suara orang berteriak-teriak) mungkin orang gila, ya?”

“Kayaknya,” sahut temannya.

Lelaki yang berteriak-teriak itu mungkin berada cukup dekat dengan warung, karena suaranya terdengar jelas. Apalagi di tengah malam. Tadi, saat masuk ke warung, saya tidak sempat memperhatikan. Tapi sekarang saya penasaran. Jadi, setelah menghabiskan nasi di piring dan teh di gelas, saya pun segera membayar, lalu keluar warung.

Di depan warung, saya menyulut rokok, lalu memperhatikan sumber suara. Sekitar 10 meter dari warung, ada seorang lelaki berdiri di pinggir jalan, dan berteriak-teriak sendirian. Suara teriakannya monoton, seperti yang tadi saya dengar. “Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana! Wolah mengatakan tenang saja! Semuanya sudah ada yang mengatur! Opo!” Dan perkataan-perkataan lain yang saya tidak paham.

Ada bangku panjang di depan warung, dan seorang pria sedang duduk sendirian. Saya berkata pada pria itu, “Kayaknya itu orang gila, ya, Mas?” [Saya sengaja tidak menggunakan istilah ODGJ di sini, agar lawan bicara langsung paham.]

Pria yang saya tanya menganggukkan kepala, dan menjawab, “Orang gila baru.”

Saya duduk di sampingnya, di bangku panjang itu, untuk menghabiskan rokok yang baru tersulut. 

Pria di sebelah saya berkata, “Saya tadi bertanya pada pemilik warung, siapa orang yang teriak-teriak itu. Kata pemilik warung, itu orang gila baru. Kayaknya dia stres, karena kena PHK, dan cari kerja sampai berbulan-bulan tapi nggak juga dapat.”

Saya manggut-manggut. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memang sedang terjadi di mana-mana, di berbagai tempat di Indonesia. Banyak perusahaan gulung tikar dan pabrik-pabrik besar bangkrut, sementara ribuan orang kena PHK. Bahkan di kota saya sendiri, ada berita panas terkait hal ini. Sebuah perusahaan kain dinyatakan pailit, dan para karyawan kena PHK tanpa pesangon. Para karyawan itu lalu melakukan demo menuntut pesangon, dan beritanya muncul di berbagai media. Itu hanya satu di antara beberapa berita PHK lain yang sebelumnya terjadi.

“Emang lagi musim PHK sekarang,” ujar saya merespons ucapan pria tadi.

“Bener,” sahutnya. “Di kampung saya juga banyak yang sekarang menganggur, karena PHK. Mau cari kerja di tempat lain kayaknya susah banget, karena makin sedikit tempat kerja yang buka lowongan, sementara pelamarnya banyak sekali.”

Dia menceritakan, ada belasan orang di kampungnya yang semula bekerja di pabrik kain yang saya sebut tadi. Ketika pabrik itu bangkrut, belasan orang itu pun kehilangan kerja seperti para karyawan lain yang kena PHK. Bukan hanya kehilangan kerja, tapi juga kehilangan harapan, kata pria lawan bicara saya. “Karena mereka nggak dapat pesangon, sementara kebutuhan hidup nggak bisa berhenti. Keluarga butuh makan, sementara penghasilan udah nggak ada.” 

Saya baru mau buka suara untuk menanggapi perkataan itu, tapi lalu terdengar suara orang gila yang sedari tadi berteriak-teriak, “Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana! Wolah mengatakan tenang saja! Semuanya sudah ada yang mengatur! Opo!” Dan seterusnya, dan seterusnya.

Sesaat, saya dan pria di sebelah saya terdiam, seperti sama-sama menyimak teriakan orang gila di kejauhan. Intensitas teriakan orang gila itu kadang meninggi, kadang rendah. Beberapa saat jeda, lalu dia terdengar kembali berteriak-teriak.

Ketika suara teriakan itu kembali menghilang, pria di sebelah saya bertanya, “Sampeyan kerja di mana, Mas?”

“Saya serabutan, Mas,” jawab saya. 

“Oh.”

“Kalau sampeyan kerja di mana?”

“Lhah, saya kerja di pabrik kain yang saya ceritakan tadi, sama tetangga-tetangga saya.”

Saya mengangguk-angguk, mulai memahami. “Jadi, sampeyan juga kena PHK?”

“Iya,” sahutnya. “Makanya saya maklum sama orang yang teriak-teriak itu, karena stres akibat PHK bisa bikin pikiran sangat runyam.”

“Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana! Wolah mengatakan tenang saja! Semuanya sudah ada yang mengatur! Opo!”  

Setelah suasana kembali hening karena suara teriakan terhenti, pria di sebelah saya berkata, “Ini udah tiga bulanan saya nggak kerja, dan masih bingung mau cari uang di mana.”

“Kalau nggak salah, PHK di pabrik kain itu baru terjadi minggu ini, kan?” tanya saya.

“Nggak, Mas. PHK-nya udah tiga bulan lalu. Cuma ribut-ributnya baru terjadi sekarang, karena para karyawan berdemo nuntut pesangon. Waktu keputusan PHK itu muncul, kami (para karyawan) mengira akan dapat pesangon, jadi waktu itu nggak terlalu ribut karena ada bekal selama nganggur. Tapi ternyata perusahaan dinyatakan pailit, dan nggak bisa ngasih pesangon. Makanya kami lalu demo, dan beritanya baru tersiar ke mana-mana.”

Saya kembali mengangguk-angguk. 

Pria di sebelah saya kembali berbicara, “Saya sama para karyawan yang lain tuh ngerasa kayak terjebak nasib. Dulu, waktu pertama kali kerja di pabrik, kami masih sangat muda, baru lulus SMA. Waktu itu cari kerja masih gampang. Usia masih muda, banyak tempat kerja tersedia. Lalu setelah bertahun-tahun kerja, tiba-tiba kena PHK di usia yang udah nggak lagi muda. Sementara sekarang ada keluarga yang harus ditanggung. Nggak ada pesangon, kebutuhan hidup terus berjalan, sementara kami kesulitan cari pekerjaan lain karena terbentur usia. Jadi kami merasa kayak... ya itu tadi, terjebak nasib.”

“Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana! Wolah mengatakan tenang saja! Semuanya sudah ada yang mengatur! Opo!”  

“Kita percaya, rezeki udah ada yang ngatur,” sambung pria di sebelah saya. “Tapi setelah tiga bulan nggak kerja, saya benar-benar kebingungan. Tadinya saya cukup optimis, nggak terlalu khawatir, wong rezeki udah ada yang mengatur. Tapi sekarang saya benar-benar pesimis. Setiap pagi, saya pamit sama istri, keluar rumah buat cari kerja. Tapi setiap pulang sore hari, saya cuma kelelahan. Nggak ada kerjaan, nggak ada uang, dan saya makin kehilangan harapan. Ini malah saya dua hari nggak pulang, karena malu, juga tertekan.”

Kemudian, dengan nada berat, dia menceritakan, selama ini tinggal di rumah mertua, karena belum mampu memiliki rumah sendiri. Dia dan istrinya memiliki dua anak yang kini bersekolah SD. Sejak kena PHK, dia kebingungan menghidupi keluarganya, kebingungan menghadapi kehidupannya, kebingungan mendengar keluhan istrinya, kebingungan menjawab pertanyaan “kapan dapat kerja” dari mertua. 

Di atas semua itu, dia kebingungan membawa dirinya sendiri... entah akan sampai kapan menghadapi hari yang tak pasti.

“Wolah menempatkannya di sini! Wolah menempatkannya di sana! Wolah mengatakan tenang saja! Semuanya sudah ada yang mengatur! Opo!”  

Related

Hoeda's Note 2423643052185632767

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item