Dua Lelaki Beda Takdir
https://www.belajarsampaimati.com/2024/09/dua-lelaki-beda-takdir.html
Ilustrasi/acehtrend.com |
Ada dua laki-laki, berusia sama, tinggal di pemukiman yang sama, bahkan berteman sejak SMA, namun menjalani nasib yang jauh berbeda. Laki-laki pertama menjadi pengusaha sukses, sudah menikah dan punya anak, serta hidup bahagia. Sementara laki-laki kedua masih lajang, bekerja sebagai buruh, dan hidupnya tampak tidak jelas.
Mengapa dua laki-laki berusia sama, tinggal di tempat yang sama, tapi menjalani kehidupan yang jauh berbeda?
Untuk dapat memperoleh jawaban objektif atas pertanyaan itu, kita tentu harus memeriksa kehidupan kedua laki-laki tadi secara komprehensif, meliputi latar belakang, perjalanan dan pengalaman hidup mereka. Dua laki-laki yang saya ceritakan ini adalah dua teman saya, sebut saja Hasyim dan Rozi. [Mereka mengizinkan saya menulis kisah ini, tapi saya perlu menyamarkan nama untuk menghormati privasi mereka.]
Hasyim adalah anak pengusaha batik, sementara Rozi adalah anak buruh pabrik. Saya akrab dengan keduanya, dan belakangan—ketika kami sama-sama tumbuh dewasa—saya menyaksikan bagaimana privilese benar-benar nyata dalam membentuk nasib orang per orang... sekaligus membuka mata saya pada kemiskinan struktural.
Lulus SMA, Hasyim melanjutkan kuliah di luar kota. Sementara Rozi dan saya harus menghadapi nasib seperti rata-rata anak miskin lain; mulai mencari kerja. Di waktu-waktu itulah saya makin dekat dengan Rozi, karena merasa senasib.
Beberapa tahun kemudian, Hasyim lulus kuliah, dan membuka usaha batik dengan modal pemberian orang tua. Dengan bantuan modal dan koneksi ayahnya yang pengusaha batik, usaha Hasyim hampir tanpa masalah. Dalam waktu relatif singkat, usaha batik milik Hasyim sudah berjalan lancar, karena bisa dibilang hanya “menumpang” usaha milik orang tuanya. Itu seperti berkendara lewat jalan tol, dengan peta terpampang di depan mata. Mulus, tanpa kendala.
Ketika Hasyim mulai membuka usaha batik, Rozi masih kerja serabutan. Ia lalu melamar kerja ke Hasyim, dan, singkat cerita, Rozi bekerja sebagai buruh di pabrik batik milik Hasyim. Lewat kerjanya di pabrik itu, Rozi bisa membantu orang tuanya, serta membiayai sekolah adik-adiknya. Belakangan, dua adik Rozi—laki-laki dan perempuan—bahkan bisa kuliah, sesuatu yang tidak bisa diraih Rozi.
Setelah bertahun-tahun—dari lulus SMA sampai dewasa kini—bekerja membanting tulang dan memeras keringat, apa yang kemudian dimiliki Rozi? Jawabannya mungkin menyedihkan; dia tidak memiliki apa-apa!
Penghasilannya bekerja selama bertahun-tahun benar-benar habis untuk membantu keluarga, dan membiayai pendidikan adik-adiknya. Bagaimana pun, Rozi hanyalah buruh pabrik, yang upahnya tidak seberapa. Meski Hasyim, selaku majikannya, memperlakukan Rozi dengan baik—mengingat mereka teman sejak remaja—tapi bagaimana pun Rozi hanyalah buruh, yang upahnya standar UMR.
Seiring waktu, Hasyim menikah dan belakangan punya dua anak. Dia telah memiliki rumah sendiri, tidak jauh dari rumah orang tuanya. Para tetangga menyebutnya “telah jadi orang”—mapan berkeluarga, usaha lancar, serta punya pasangan dan anak-anak.
Sementara itu, Rozi masih “belum apa-apa”. Dia tetap jadi buruh, yang waktunya habis untuk bekerja. Boro-boro menikah, bahkan—seperti yang dikatakannya sendiri—“punya pacar pun tidak kepikiran”. Karena pikirannya terus menerus tercurah pada nasib keluarganya, berpikir bagaimana menjalani hari demi hari agar tetap waras dan sehat, agar selalu bisa bekerja, agar dapat terus membiayai ibu dan adik-adiknya.
Ayah Rozi sudah lama meninggal dunia, sekitar setahun setelah Rozi lulus SMA. Karenanya, sejak mulai bekerja, Rozi menjadi tulang punggung keluarga. Belakangan, ia mengaku beruntung bisa bekerja di tempat Hasyim, sehingga dapat memiliki penghasilan untuk menopang kehidupan keluarganya, meski kembang kempis. Untung pula, dua adiknya, yang ia biayai pendidikannnya, bersekolah dengan serius hingga belakangan dapat beasiswa kuliah.
Setelah dua adik Rozi lulus kuliah, mereka bekerja di luar kota, dan tidak lama kemudian menikah. Adik perempuan Rozi bahkan sekarang sudah punya anak. Mereka juga “sudah jadi orang”—memiliki pekerjaan mapan, punya rumah untuk tempat tinggal, juga telah menikah. Sementara Rozi, kakak yang membiayai mereka, sampai sekarang masih hidup di rumah orang tua, tidak punya apa-apa, dan tidak bisa ke mana-mana karena menemani ibunya yang sudah sepuh.
Hasyim, majikan Rozi, pernah membuka pabrik lain di luar kota, untuk memperbesar produksi. Ketika pabrik itu siap dibuka, Hasyim menawari Rozi untuk mengurusi pabrik baru tersebut. “Karena aku percaya kepadamu,” kata Hasyim waktu itu.
Sebenarnya, itu tawaran yang sangat baik. Jika Rozi menerima tawaran itu, dia tidak cuma “naik pangkat”—dari buruh jadi manajer—tapi juga berpeluang mendapat gaji yang jauh lebih besar. Itu pula sebenarnya tujuan Hasyim meminta Rozi mengurusi pabriknya di luar kota, agar Rozi tidak terus “stuck” hanya jadi buruh di pabrik. Itu semacam bantuan antarteman, dan Rozi sangat menghargai.
Sayangnya, Rozi tidak bisa menerima tawaran Hasyim. Alasannya, “Ibuku sudah sepuh, dan aku tidak bisa meninggalkannya. Dua adikku tinggal di luar kota. Kalau aku juga meninggalkan ibuku di sini, siapa yang akan mengurusnya?”
Jadi, sampai sekarang Rozi masih jadi buruh di pabrik milik Hasyim. Setiap pagi ia berangkat ke pabrik, bekerja seharian di sana, lalu pulang saat sore, sambil menghitung hari untuk menerima “pocokan” (istilah gaji untuk pekerja pabrik yang biasa diberikan seminggu sekali).
Sementara kehidupan terus berjalan. Adik-adik Rozi sibuk dengan keluarga mereka masing-masing, dan biasa pulang ke kampung halaman saat lebaran. Para tetangga menyaksikan mereka telah “sukses”—bekerja dan tinggal di luar kota, sudah menikah, juga punya anak. Di sisi lain, Rozi, kakak yang menghidupi dan membiayai sekolah mereka, tampak tidak berubah, selain hanya bertambah tua.
Kadang-kadang, saya dolan ke rumah Rozi, dan kami duduk-duduk di teras rumahnya yang sederhana. Kadang-kadang pula, Hasyim kebetulan lewat, dan ikut nyangkruk. Lalu kami bertiga ngobrol layaknya teman yang sudah akrab sejak belia.
Ketika kami asyik ngobrol semacam itu, sering kali ada tetangga-tetangga yang lewat, dan saling sapa dengan Rozi maupun Hasyim. Di mata para tetangga, mungkin, Rozi dan Hasyim adalah dua orang yang tumbuh bersama, berusia sama, tapi memiliki kehidupan yang jauh berbeda. Yang satu jadi pengusaha, satunya lagi jadi buruhnya. Yang satu sudah sukses dan “jadi orang”, satunya lagi tidak punya apa-apa.
Berdasarkan fakta yang saya uraikan tadi, kita melihat dengan gamblang bagaimana dua orang berusia sama, tinggal di lokasi yang sama, bahkan tumbuh bersama sebagai teman, tapi menjalani kehidupan yang jauh berbeda. Ada banyak faktor yang terlibat di sini, dari latar belakang keluarga, privilese, pendidikan, koneksi, dan setumpuk hal lain yang akhirnya menempatkan Hasyim di posisinya sekarang, sekaligus menempatkan Rozi di tempatnya saat ini.
Hasyim sendiri mengakui hal itu. Dalam salah satu obrolan kami, dia menyatakan, “Andai aku bukan anak pengusaha, aku tidak tahu akan jadi apa sekarang.”
Dia mengakui bahwa kesuksesannya ditopang oleh kekayaan dan koneksi orang tuanya. Ketika akan membuka usaha, orang tuanya memberi modal. Ketika usaha mulai jalan, orang tuanya membukakan koneksi ke para pengusaha lain untuk melancarkan bisnis. Hasyim juga kuliah di luar kota, dan hal itu memungkinkannya memiliki relasi luas yang bisa diajak bekerja sama mengembangkan bisnis. Hasilnya, dia bahkan bisa membuka pabrik di luar kota.
Seperti yang saya sebut tadi, itu seperti berkendara di jalan tol, dengan peta terpampang di depan mata.
Di sisi lain, Rozi menjalani kehidupan yang jauh berbeda. Dia anak miskin, dan menjadi tulang punggung keluarga sejak pertama kali bekerja sebagai buruh. Upahnya yang tidak seberapa harus digunakan untuk menghidupi keluarga dan membiayai sekolah adik-adiknya. Usianya digerogoti waktu untuk menjalani kehidupan yang berat, sampai ia tidak memiliki apa-apa meski bertahun-tahun bekerja membanting tulang dan peras keringat. Adik-adiknya kini telah menikah dan punya anak, sementara dia sendiri masih berkubang dengan nasib.
Hidup tidak semudah bacotan orang-orang sok pintar yang suka ndakik-ndakik tapi buta pada kenyataan. Nasib orang per orang tidak sesederhana ocehan tukang ceramah yang sok bijak tapi naifnya kelewatan.