Orang yang Benci Hari Jumat

Ilustrasi/wowbabel.com
Suatu ketika, seorang teman berkata, “Aku benar-benar benci hari Jumat!”

Jika mendengar keluhan seperti itu, kira-kira bagaimana reaksimu? Jawabannya tergantung orang seperti apa dirimu. Kalau kamu tipe orang sok pintar yang suka menghakimi, kamu pasti akan menyemburkan aneka ceramah dan nasihat tentang keutamaan hari Jumat dan bla-bla-bla. Sebaliknya, kalau kamu tipe orang yang empatik, kamu akan bertanya kepadanya untuk mengetahui konteksnya.

Ketika saya mendengar keluhan tadi, bahwa teman saya benci hari Jumat, sangat mudah bagi saya untuk menyemburkan aneka ceramah, misalnya, “Menurut ajaran agama, bla-bla-bla...” Tapi jika itu yang saya lakukan, saya telah menunjukkan diri sebagai orang sok tahu yang suka menghakimi orang lain tanpa berusaha memahami konteks, dan teman saya akan menjauh atau bahkan membenci saya.

Karenanya, alih-alih menyemburkan ceramah dan nasihat, saya berkata kepadanya, “Wah, baru dengar ada orang benci hari Jumat. Kenapa, kalau boleh tahu?”

Lalu dia bercerita, “Entah kenapa, ya, setiap hari Jumat datang, selalu ada masalah yang juga datang. Ini terjadi terus menerus, hingga lama-lama aku kayak benci hari Jumat. Karena setiap kali Jumat datang, selaluuuuu ada masalah datang.”

“Artinya,” sahut saya, “umpama masalah selalu datang di hari Selasa atau Rabu, kamu juga akan benci hari Selasa atau Rabu, dong.”

“Ya, kemungkinan kayak gitu.”

“Artinya pula,” sambung saya, “yang kamu benci sebenarnya bukan hari Jumat atau hari Selasa atau Rabu. Yang kamu benci adalah masalah yang datang.”

Dia mengangguk. 

Ketika kita melihat konteks atas sesuatu, sering kali hasilnya berbeda jauh dengan yang kita pikirkan. Ketika seseorang mengatakan dia benci hari Jumat, pikiran saya bisa langsung menghakimi, “Wah, dia pasti tidak tahu ajaran agama, karena Jumat adalah hari istimewa.” Tapi begitu saya melihat konteksnya, saya pun tahu bahwa dia sebenarnya tidak membenci hari Jumat, tapi membenci masalah yang, menurutnya, sering datang ketika hari Jumat.

Ketika kita tidak mau melihat konteks, kita akan mudah menghakimi. Tapi ketika kita mau melihat konteks, kita belajar berempati. Dan itulah yang membedakan orang bijak dan orang tolol. Orang bijak selalu berusaha memahami konteks sebelum berbicara, orang tolol langsung berbicara tanpa peduli konteksnya. Orang bijak mengedepankan empati, orang tolol sangat suka menghakimi.

Sebegitu penting kenyataan ini, saya merasa ingin mengulangi sejuta kali. Orang bijak selalu berusaha memahami konteks sebelum berbicara, orang tolol langsung berbicara tanpa peduli konteksnya. Orang bijak mengedepankan empati, orang tolol sangat suka menghakimi.

Orang boleh koar-koar sambil merasa paling pintar dan paling bijak sedunia. Tapi selama dia berbicara tanpa mau melihat konteks, dia tolol! 

Dan penyakit khas orang tolol adalah suka menasihati tanpa melihat konteks, suka menceramahi tanpa melihat konteks, dan, pada akhirnya, suka menghakimi tanpa melihat konteks! Karena konteks itulah yang sebenarnya menjadi pijakan pemikiran yang kemudian menghasilkan kesimpulan—bukan sebaliknya!

Dalam skema sederhana, kira-kira seperti inilah perbedaan pola pikir orang bijak dan orang tolol:

Orang tolol: Melihat atau mendengar sesuatu > langsung mengambil kesimpulan tanpa tahu konteksnya > menasihati, menceramahi, menghakimi. 

Orang bijak: Melihat atau mendengar sesuatu > berusaha mengetahui konteksnya > berpikir berdasarkan konteks, lalu memahami serta berempati.

Orang tolol merasa pintar dan bijak, hingga merasa dirinya pasti benar, lalu buru-buru mengambil kesimpulan. Sementara orang bijak sadar bahwa dia bisa saja keliru, sehingga berusaha mencari tahu terlebih dulu sebelum mengambil kesimpulan.

Contoh kasus. Saya punya teman bernama Arif, yang dulu pernah jadi relawan ketika Gunung Merapi meletus. Sangat lama dia menjadi relawan di sana, sampai, ketika akhirnya pulang, teman-teman memanggilnya “Mbah Maridjan”—merujuk nama juru kunci Gunung Merapi. Sejak itu pula, teman-teman biasa memanggil Arif dengan sebutan “Mbah Maridjan” seperti umumnya keakraban antarteman, bahkan sampai sekarang.

Suatu waktu, Arif dolan ke tempat saya. Ketika dia mau pulang, saya sempat menyebut namanya dengan sebutan “Mbah”. Kebetulan, waktu itu, ada tetangga yang lewat, dan tentunya mendengar saya memanggil “Mbah” pada teman saya. 

Kalau kamu menempati posisi tetangga saya tadi—yang mendengar saya memanggil “Mbah” pada seseorang—apa yang akan muncul dalam pikiranmu?

Jawabannya tergantung seperti apa dirimu, dan saya akan tahu orang macam apa dirimu dengan melihat reaksimu.

Kalau kamu orang bijak, kamu tidak akan buru-buru mengambil kesimpulan. Ketika mendengar saya memanggil “Mbah” pada seseorang, kamu akan berpikir terlebih dulu, “Bisa jadi itu memang panggilan antarteman. Karena nyatanya banyak orang memanggil temannya dengan sebutan ‘Mbah’.” Sampai di situ, tidak ada prasangka macam-macam, dan tidak muncul masalah apapun.

Tetapi, kalau kamu orang tolol, kamu akan langsung mengambil kesimpulan, dan langsung yakin kalau pikiranmu pasti benar. Ketika mendengar saya memanggil “Mbah” pada seseorang, kamu akan berpikir sok tahu, “Ah, itu pasti suhu (dukun) peliharaannya! Buktinya dia memanggilnya ‘Mbah’.” Lalu kamu koar-koar tentang saya memelihara dukun, dan bla-bla-bla. Sampai di situ, kamu jadi tukang fitnah, dan selalu ada kemungkinan munculnya masalah.

Bisa melihat perbedaannya, sekarang? Orang tolol berpikir dirinya pintar, sehingga suka mengambil kesimpulan seenaknya, karena merasa pasti benar. Karena kecenderungan itu, orang tolol suka mbacot sok tahu, padahal tidak tahu konteksnya sama sekali. Karena kecenderungan semacam itu pula, fitnah bisa muncul, gosip bertebaran, dan masalah datang. Itulah kenapa, hobi orang tolol adalah bergosip dan ber-ghibah.

Sebaliknya, orang bijak sadar dirinya belum tentu benar, sehingga tidak buru-buru mengambil kesimpulan atas hal-hal yang memang tidak diketahuinya. Karena kecenderungan itu, orang bijak mencari tahu konteksnya terlebih dulu sebelum berbicara, agar tidak menimbulkan masalah. Karena kecenderungan semacam itu pula, orang bijak tidak gampang menghakimi orang lain.

Jadi, kapan pun kita mendengar orang membenci hari Jumat, hari Sabtu, hari Minggu atau hari lain, tidak perlu buru-buru menasihati atau menceramahinya sambil sok tahu. Ketahui dan pahami terlebih dulu konteksnya, agar kita bisa melihat sesuatu sebagaimana mestinya. Lagi pula, orang tidak butuh tahu sepintar apa kita. Orang hanya butuh tahu seberapa peduli kita.

Related

Hoeda's Note 2353893629485685928

Posting Komentar

  1. baca kata "mbah", aku jadi keinget masa SMA

    ada temanku yang dipanggil "pak dhe", ada yang "cak", ada yang "mbah", padahal kita seumuran :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, John. Nggak cuma teman SMA, teman-teman kuliahku juga masih pakai panggilan kayak gitu. Ada adik angkatanku yang biasa dipanggil "Pak Dhe". Jadi aku kalau manggil dia ya "Pak Dhe". Agak aneh, sebenarnya. :smile:

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item