Batas Kerakusan

Ilustrasi/kompasiana.com
Naval Ravikant mungkin tidak setenar Elon Musk atau Bill Gates, karena dia memang cenderung menjauhi publisitas. Tapi di kalangan orang-orang yang mengenalnya—misalnya di Silicon Valley—dia orang yang sangat dihormati, dan diakui sebagai salah satu genius di muka bumi. Sementara Forbes memasukkan namanya dalam daftar orang terkaya di dunia.

Salah satu hal penting yang pernah diajarkan Naval adalah “batas kerakusan”. Dia membicarakan hal itu terkait konteks bisnis, namun dapat diaplikasikan pada banyak hal lain dalam kehidupan.

“Setiap pengusaha harus mengenal batas kerakusannya sendiri,” kata Naval. “Saat kita merasa memiliki kemampuan dan kekuasaan, kita ingin terus naik, naik, dan naik, memperbesar keuntungan dan kekayaan. Tapi setiap kita harus mampu mengenali batas kerakusan kita sendiri. Karena, jika tidak, selalu ada titik ketika kita harus termakan oleh kerakusan kita sendiri.”

Agar hal penting itu lebih mudah dipahami, mari saya jabarkan dengan uraian yang lebih sederhana.

Umpamakan saja, saya seorang pengusaha yang memiliki perusahaan dengan banyak karyawan. Bisnis saya lancar, barang produksi saya terus diserap pasar. Sebagai pengusaha, saya pasti akan berpikir bagaimana memperbesar keuntungan. Setidaknya ada dua cara yang dapat saya lakukan. Pertama, memperluas ekspansi pasar, agar produk saya semakin banyak yang terjual. Dan kedua, menghemat pengeluaran, yang meliputi biaya operasional sampai gaji karyawan.

Pola pikir semacam itu ada dalam benak semua pengusaha. Mereka ingin terus memperbesar keuntungan, sekaligus mengurangi pengeluaran. Dalam hal itulah, pesan Naval, setiap pengusaha harus “mengenali batas kerakusannya sendiri”.

Dalam taraf tertentu, seorang pengusaha dimaklumi memiliki sifat “rakus”, karena “kerakusan” itulah yang memungkinkan bisnis terus berkembang makin luas. Produk mi instan asal Indonesia, misalnya, saat ini tidak hanya membanjiri Nusantara, tapi juga ada di banyak negara lain. Hal itu dimungkinkan, karena pengusaha mi instan memiliki sifat “rakus”. Tanpa “kerakusan” pengusaha, mi instan asal Indonesia mungkin hanya terjual di tingkat kecamatan.

Jadi, dalam taraf tertentu, “kerakusan” pengusaha dapat dimaklumi, karena dengan itulah bisnis dapat terus berkembang, dan suatu produk semakin banyak konsumennya. Tetapi, setiap pengusaha juga harus mengenali “batas kerakusan”. Karena, jika tidak, ia akan “termakan oleh kerakusannya sendiri”.

Seperti yang disebut tadi, setiap pengusaha pasti ingin memperbesar keuntungan, sekaligus mengurangi pengeluaran. Mengurangi penngeluaran sebenarnya termasuk bagian dari memperbesar keuntungan. Dalam hal inilah, kadang pengusaha lupa pada batas kerakusannya sendiri.

Dalam bisnis, mengurangi pengeluaran bisa berbentuk memangkas biaya operasional, menurunkan kualitas produk, sampai memotong gaji karyawan. Jika pengusaha sampai melakukan hal itu, dia sedang bermain-main dengan “batas kerakusannya sendiri”. Karena sangat riskan, sekaligus berisiko.

Memangkas biaya operasional memang kadang dapat dilakukan, tanpa menimbulkan risiko, asal ditunjang sarana yang memadai. Contoh, surat kabar yang terbit di Surabaya, misalnya, melakukan pencetakan-jarak-jauh dengan menempatkan pabrik-pabrik pencetak di tiap provinsi. 

Dengan sarana itu, surat kabar di seluruh provinsi bisa melakukan pencetakan di waktu yang sama, dan beredar di waktu yang sama. Biaya operasional yang dapat dipangkas dari pencetakan-jarak-jauh itu bisa sangat besar, karena tidak perlu lagi kargo yang harus dikirim ke seluruh Indonesia. 

Jadi, memperbesar keuntungan dengan cara mengurangi biaya operasional memang kadang bisa dilakukan, dan tidak ada pihak yang dirugikan. Tapi menurunkan kualitas produk atau menurunkan gaji pekerja adalah tindakan yang sangat berisiko, dalam bidang usaha apapun. Sayangnya, ketika pengusaha tidak mampu “mengenali batas kerakusannya sendiri”, mereka melakukan tindakan yang sangat berisiko itu. Dan sering kali hasilnya bukan keuntungan, tapi petaka.

Saat kualitas produk dikurangi, konsumen akan sadar, dan berhenti mengonsumsi. Saat gaji pekerja diturunkan, mereka akan marah, berdemontrasi, atau mogok kerja. Saat harga produk dinaikkan secara tidak wajar, konsumen akan kecewa dan pergi. Hasilnya bukan keuntungan bagi pengusaha, tapi malah kerugian.

Itulah pentingnya mengenali “batas kerakusan” kita sendiri.

Ada kisah pahit terkait hal ini, yang diceritakan seorang teman, terkait ibunya. Jadi, ibu teman saya merintis usaha dengan menjual ikan mentah ke warung-warung makan ala Lamongan. Usahanya berkembang, sampai dia punya modal untuk buka warung makan sendiri. Dia lalu membuka warung makan yang menyediakan seafood, dan, singkat cerita, warung makannya sukses hingga memiliki banyak pelanggan.

Sampai bertahun-tahun usaha warung makan itu lancar tanpa masalah, hingga anak-anaknya bisa kuliah, bahkan umroh sekeluarga. Intinya, mereka sudah jadi keluarga kaya berkat warung makan seafood tadi.

Suatu hari, ada pasar malam di dekat warung seafood, selama dua minggu. Otomatis, warung seafood itu kedatangan pembeli dalam jumlah berkali-kali lipat dari biasanya. Ibu teman saya terpikir untuk menaikkan harga, mumpung ada keramaian pasar malam. Sejak itu, semua harga dinaikkan Rp3.000 untuk setiap masakan. Dengan jumlah pembeli berkali-kali lipat, masa dua minggu pasar malam itu benar-benar masa panen.

Ketika pasar malam usai, jumlah pembeli yang datang menyusut, kembali seperti semula. Tapi ibu teman saya tidak juga mengembalikan harga-harga seperti sebelumnya (ke harga normal). Dia mungkin ingin terus mendapat keuntungan besar—seperti yang ia peroleh selama ada pasar malam—tapi ternyata berakhir penyesalan.

Mungkin karena menyadari harga-harga di warung seafood itu kemahalan, satu per satu pelanggan menghilang. Ibu teman saya belum juga menyadari hal itu, dan masih tetap mempertahankan harga yang mahal, dan jumlah pelanggan terus berkurang... sampai akhirnya warung seafood itu benar-benar sepi. Ketika akhirnya harga-harga dikembalikan ke harga normal seperti sebelumnya, keputusan itu telah sangat terlambat. Para pembeli dan pelanggan mungkin sudah trauma. 

Ketika saya menulis catatan ini, warung seafood yang pernah ramai itu sudah tidak ada, dan teman saya mengisahkan cerita ini dengan penuh penyesalan. Itu adalah bukti nyata bahwa ketika kita tidak mengenali batas kerakusan kita sendiri, kita sedang menyongsong petaka.

Dalam perspektif saya, pelajaran mengenai “batas kerakusan” bahkan tidak hanya relevan untuk bidang bisnis, tapi juga pada berbagai bidang kehidupan secara luas.

Dalam keluarga yang tidak sehat, misalnya, orang tua mungkin bisa sewenang-wenang pada anaknya. Tapi selalu ada titik ketika si anak akan mulai melawan, karena kesewenang-wenangan orang tuanya telah melewati batas. Begitu pula dalam kehidupan suami istri yang tidak sehat. Seorang suami mungkin dapat melakukan KDRT, tetapi selalu ada batas ketika si istri mulai sadar dan melawan ketika perlakuan suaminya sudah melewati batas.

“Melewati batas” adalah perspektif korban, dan itulah “batas kerakusan” yang harus disadari setiap orang. Hal semacam itu tidak hanya terjadi pada hubungan antara orang tua dan anak atau suami dengan istri, tapi juga pada hubungan kita dengan orang-orang lain.

Jika kita [merasa] berada di atas, misal jadi tokoh masyarakat, sangat mudah memanjakan ego kita untuk menindas, merisak, dan menyakiti orang lain. Dan banyak orang terlena ketika menempati posisi semacam itu... sampai kemudian tanpa sadar melewati batas kerakusannya sendiri. Di titik itu, selalu ada yang akan melawannya.

Di jalanan yang berisi orang-orang berangasan maupun di perkampungan yang berisi orang-orang santun, selalu ada orang yang [merasa] menempati posisi di atas—merasa ditokohkan oleh masyarakatnya—lalu melewati batas kerakusannya sendiri dengan merisak, menindas, dan menyakiti orang lain seenaknya. Orang-orang semacam itu mungkin berpikir tidak akan ada yang melawan. Tapi pikiran semacam itu jelas keliru. Karena setiap kali kamu berpikir tidak ada yang melawanmu, selalu akan ada yang melawanmu.

Jangankan cuma “pemimpin kampung” atau sekadar tokoh masyarakat, bahkan pemimpin negara pun tidak bisa seenaknya memanjakan egonya hingga melewati batas kerakusannya sendiri. Contohnya tidak usah jauh-jauh. Lihatlah Soeharto!

Selama lebih dari tiga puluh tahun, Soeharto menjadi penguasa negeri ini. Semua orang takut dan hormat kepadanya. Tapi Soeharto terlena. Dia ingin terus berkuasa, dan tidak mengenali “batas kerakusannya sendiri”. 

Andai dulu Soeharto sadar tidak melewati batas kerakusannya sendiri, dan memutuskan untuk berhenti jadi presiden, rakyat Indonesia akan mengenangnya sebagai negarawan besar, dan dia akan dikenang dengan penuh penghormatan.

Tapi sayangnya tidak. Soeharto mungkin merasa berada di atas, merasa memegang kekuasaan, merasa bebas semaunya, merasa orang-orang akan terus mematuhinya, hingga ia lupa diri, dan lupa batas kerakusannya sendiri. Lalu sejarah menyaksikan, dia jatuh dari kekuasaan... dengan cara menyakitkan.

Kapan pun kita berada di atas, merasa berkuasa, merasa dipatuhi, ingatlah batas kerakusan kita sendiri.

Related

Hoeda's Note 8127206307366754699

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item