13 Tahun BSM: Masih Terus Belajar

Ilustrasi/tribunnews.com
Hari kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus, sama dengan hari lahirnya situs Belajar Sampai Mati (BSM). Karenanya, setiap kali negara kita merayakan hari kemerdekaan, situs ini juga memperingati hari ulang tahun. Dan tahun ini BSM memasuki usia 13 tahun—perjalanan yang cukup panjang untuk situs pribadi yang hanya ditulis oleh satu orang. 

Selama 13 tahun perjalanan—kadang lancar, kadang libur—situs ini telah menerbitkan lebih dari 7.000 artikel (tepatnya 7.881 artikel, per hari ini), khususnya terkait tema-tema yang saya minati dan saya kuasai. Mungkin terkesan egois, karena parameternya saya sendiri. Tapi bagaimana lagi, wong ini situs pribadi.

Menulis untuk situs ini lebih seperti kesenangan bagi saya, karena pada dasarnya saya memang suka belajar. Sedari SMP, saya suka “menjelaskan pada diri sendiri” terkait pelajaran-pelajaran di sekolah. Keterangan guru di kelas kadang tidak langsung saya pahami, atau membuat saya tidak puas. Jadi, saya mengembangkan cara belajar sendiri, dengan membaca buku terkait topik yang diajarkan di kelas, lalu menulis ringkasannya untuk saya baca sendiri. 

Kebiasaan semacam itu terus terbawa sampai SMA. Lama-lama, hal seperti itu—menulis ringkasan pelajaran—terasa sangat menyenangkan, karena saya bisa menemukan banyak detail dan aneka trivia yang tidak dijelaskan guru di kelas. 

Dalam pelajaran sejarah, misalnya, guru di kelas hanya menerangkan garis besarnya, karena keterbatasan waktu mengajar. Dengan cara mempelajarinya sendiri, saya bisa mendapatkan aneka detail menarik yang tidak sempat diterangkan guru saat mengajar. Bagi saya sangat menyenangkan, itu semacam “hidden gem” dalam belajar.

Bukan hanya menemukan detail dan aneka trivia yang menarik, proses belajar semacam itu juga memungkinkan saya menemukan aneka jawaban untuk banyak pertanyaan yang semula saya kira tidak ada jawabannya.

Pada waktu SMA, misalnya, guru agama di kelas pernah menerangkan keagungan Tuhan, dengan cara menunjukkan langit yang tanpa tiang. “Bayangkan, langit tidak memiliki tiang satu pun, tapi bisa tetap berada di tempatnya, dan tidak runtuh menimpa kita. Itu bukti keagungan Tuhan yang Maha Kuasa.”

Ketika mendengar “ceramah” itu pertama kali, saya takjub, sebagaimana teman-teman lain di kelas. “Iya, ya,” pikir saya waktu itu. “Kok bisa ya, langit tetap berada di tempatnya, padahal tidak ada tiang yang menyangga? Padahal atap rumah yang kecil saja bisa ambruk kalau tidak disangga tiang.”

Dan saya tidak berhenti di situ. Ketakjuban pada langit memicu saya untuk belajar, untuk menemukan jawabannya. Bagaimana langit bisa tetap berada di tempatnya, padahal tidak ada satu pun tiang yang menyangga?

Pada waktu saya SMA, belum ada Google, wong internet saja belum dikenal masyarakat. Jadi, ketika saya tergerak untuk mencari jawaban “mengapa langit tidak runtuh padahal tanpa tiang penyangga”, satu-satunya sumber yang bisa saya gunakan hanyalah buku. Dan mencari serta menelusuri jawaban lewat buku bukan pekerjaan mudah. Untuk menjawab satu pertanyaan saja—dalam hal ini soal langit tadi—saya harus membaca puluhan buku, untuk memahami jawabannya.

Ketika akhirnya menemukan jawabannya, saya tertawa sendiri. Karena jawabannya tidak seperti yang saya duga.

Dalam pikiran orang-orang awam—maksudnya bukan ilmuwan—langit dipandang sebagai semacam atap rumah atau semacamnya, yang membutuhkan tiang. Karena pemikiran semacam itu, mereka pun takjub mendapati langit tidak runtuh padahal tidak ada tiang yang menyangga. Padahal, yang sebenarnya terjadi, langit adalah ruang kosong di alam semesta. Dan yang kita sebut “langit” sebenarnya batas-pandang kita terhadap ruang kosong itu. 

Kita hidup di permukaan planet bernama Bumi. Planet Bumi, sebagaimana planet-planet lain, berada di antara ruang kosong alam semesta, yang kita sebut langit. Karena langit adalah ruang kosong, maka mustahil ia runtuh. Dan langit tentu tidak butuh tiang penyangga, karena ia ruang kosong—justru konyol kalau kita membayangkan ada tiang penyangga untuk ruang kosong. [Saya telah menuliskan soal ini secara lengkap, detail, dan sederhana, hingga bisa dipahami anak SD sekalipun. Kalian bisa membacanya di sini: Mengapa Langit Tidak Jatuh Padahal Tanpa Tiang Penyangga?]

Pembelajaran soal langit itu, belakangan, tidak hanya memberitahukan jawaban ilmiahnya, tapi juga mengenalkan saya pada sesuatu yang disebut “perspektif”. Bahwa cara kita memahami sesuatu akan sangat mempengaruhi kesimpulan yang kita dapat. Cara kita memahami sesuatu, itulah yang disebut perspektif. Jika perspektif kita benar, kesimpulannya akan benar. Tapi jika perspektif kita salah, kesimpulannya juga salah. 

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita tahu perspektif kita benar atau salah? Jawabannya dengan melihat metodologi yang kita gunakan. Secara sederhana, terkait soal langit tadi, kita harus memastikan metodologi yang kita gunakan—untuk menemukan jawabannya—benar-benar tepat. Persoalan langit adalah persoalan astronomi. Karena ia terkait astronomi, kita harus menggunakan metodologi astronomi, agar perspektif yang kita gunakan tepat, dan menghasilkan jawaban yang benar.

Mencari jawaban “kenapa langit tidak runtuh padahal tidak ada tiang yang menyangga”, tidak akan ketemu jika kita menggunakan metodologi sejarah atau metodologi agama, karena tidak sesuai. Ruang angkasa harus dikaji sesuai ilmu astronomi, sebagaimana masalah medis harus dikaji sesuai ilmu kedokteran, dan begitu seterusnya. Metodologi yang salah akan menghasilkan perspektif yang salah, dan perspektif yang salah akan menghasilkan jawaban atau kesimpulan yang salah.

Ketika pertama kali menyadari kenyataan-kenyataan itu, saya seperti tenggelam dalam keterpesonaan ilmu pengetahuan yang menakjubkan, dan buku adalah jendela ajaib untuk dapat menyaksikan semua keindahan itu. 

Lalu tahun-tahun berlalu, peradaban manusia semakin maju, teknologi semakin canggih, dan internet lahir serta digunakan miliaran orang. Bagi yang suka belajar seperti saya, internet adalah keajaiban yang memudahkan pembelajaran. Bukan hanya untuk mempelajari aneka pengetahuan, tetapi—khususnya bagi saya—juga untuk mengarsipkan aneka pengetahuan dan jawaban. Situs ini adalah hasilnya.

Di situs ini, sebenarnya, tujuan utama saya adalah mengarsipkan hal-hal yang saya pelajari, agar saya lebih mudah mencari dan kembali mempelajarinya saat sewaktu-waktu membutuhkan.  

Dulu, sebelum ada internet, hal-hal yang saya pelajari hanya saya catat di buku-buku tulis yang saya baca sendiri. Sekarang, dengan adanya internet, saya bisa mengarsipkan sekaligus membagikan pengetahuan itu, hingga siapa saja bisa ikut mempelajarinya dengan mudah. Dari tahun ke tahun, jutaan orang mengunjungi situs ini, membaca tulisan-tulisan di dalamnya, meski saya tidak mengenal mereka, atau mereka tidak mengenal saya. Belum pernah, sepanjang sejarah peradaban manusia, ilmu pengetahuan bisa dibagikan dan dipelajari semudah sekarang.

Kini, BSM telah berusia 13 tahun. Mungkin terdengar panjang, khususnya dengan ribuan artikel di dalamnya. Tapi di tengah hamparan ilmu pengetahuan yang amat luas, situs ini hanyalah setitik debu. Dan kesadaran itu—tentang betapa sedikitnya yang saya ketahui—membuat saya ingin terus belajar... sepanjang hayat, sampai ke liang lahat.

Related

Hoeda's Note 5250599092069176838

Posting Komentar

  1. Wah, keren, mas. Entah kenapa saya pribadi kalo ada suatu hal yang baru saya pelajari atau pahami malah merasa jadi orang bodoh ya? Karena saya berpikir, oh, iya, ya? Kenapa hal seperti ini baru saya tahu?. Ini berlaku untuk semua bidang mata pelajaran tidak khusus seperti biologi. Intinya, kalo saya pribadi, makin banyak belajar, makin merasa tidak pintar. Dalam artian positif sih...
    Moga makin maju situsnya 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya emang gitu, sih. Semakin kita belajar, semakin kita sadar kalau ternyata banyak sekali yang nggak kita tahu. Dampak positifnya tentu bikin kita terus rajin belajar. Semakin banyak belajar, tentu kita semakin pintar, tapi juga makin sadar kalau makin banyak hal yang kita gak tahu. :smile:

      Hapus

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item