Ribut-ribut Soal Joki Skripsi

Ilustrasi/literasihukum.com
Di media sosial X, ada ribut-ribut soal joki tugas terkait pendidikan. Ribut-ribut itu dimulai seorang wanita bernama Abigail Limuria. Dia memosting video yang membicarakan soal joki, dan mempertanyakan bagaimana perjokian bisa begitu akut—karena ternyata digunakan banyak orang, dan dianggap wajar—di dunia pendidikan. Video itu viral, dan topik soal joki pun ramai dibicarakan.

Sebenarnya, saya ingin nimbrung soal itu di X, tapi sepertinya banyak sekali yang ingin saya muntahkan, dan ocehan saya pasti akan sangat panjang. Jadi, daripada ngoceh panjang lebar di timeline X—padahal saya ngoceh di sana cuma sekadar nunggu udud habis—saya ocehkan saja pemikiran soal itu di sini. Dan karena istilah “joki tugas” bisa sangat luas, saya akan memfokuskan catatan ini hanya pada joki skripsi.

Bagi yang mungkin masih bingung soal ini, izinkan saya menjelaskan terlebih dulu. Joki, dalam konteks perbincangan ini, adalah orang yang diminta mengerjakan suatu tugas yang sebenarnya tanggung jawab kita. Mahasiswa tingkat akhir yang malas membuat skripsi, misalnya, menyerahkan tugas itu pada joki skripsi. Jadi dia tinggal ngomong, “Buatkan skripsi soal ini,” dan si joki akan membuatkannya. Ketika skripsi jadi, si mahasiswa membayar sejumlah uang pada si joki, dan dia bisa mengklaim bahwa skripsi itu hasil karya atau pemikirannya.

Sekilas, hal itu tidak ada masalah, kan? Si mahasiswa butuh membuat skripsi, tapi dia tidak mampu membuatnya, apapun alasannya. Di sisi lain, joki skripsi menyediakan jasa membuatkan skripsi dengan biaya tertentu, yang bisa dimanfaatkan mahasiswa. Keduanya saling membutuhkan. Mahasiswa butuh skripsi, joki butuh uang. Mereka sepakat bekerja sama, dan tidak ada yang dirugikan. Benar?

Salah!

Di dunia pendidikan, perjokian terkait pembuatan skripsi adalah wilayah abu-abu yang cenderung gelap. Karena sekilas kelihatan baik-baik saja, dan tidak ada yang dirugikan. Tapi sebenarnya ada yang dirugikan, yaitu masyarakat luas!

Skripsi adalah karya yang dihasilkan seseorang setelah [hampir] selesai kuliah. Setelah mahasiswa S1 menyelesaikan seluruh mata kuliah dan aneka praktik yang harus diikuti, puncak pembuktiannya adalah skripsi. Skripsi akan jadi bukti bahwa seseorang telah memiliki penalaran serta cara berpikir yang baik dan ilmiah dalam memandang dan membahas suatu topik—terkait jurusan kuliahnya—sehingga akhirnya benar-benar lulus kuliah, dapat ijazah, dan menyandang gelar terkait pendidikannya.

So, karena skripsi adalah bukti terkait gelar pendidikan seseorang, ia harus dapat dipertanggungjawabkan, secara ilmiah maupun moral.

Bayangkan seseorang kuliah di jurusan pendidikan. Setelah lulus, ia menggunakan ijazah dan gelarnya untuk melamar sebagai guru di suatu sekolah. Lalu ia menjadi guru yang mengajar murid-murid di sekolah tersebut. Kira-kira, akan seperti apa hasilnya jika ternyata ia lulus dari kuliahnya, padahal skripsi dan tugas-tugas kuliahnya dikerjakan joki? 

Seperti yang disebut tadi, skripsi adalah pembuktian bahwa seorang mahasiswa telah memiliki cara berpikir dan penalaran yang baik serta ilmiah dalam memahami sesuatu. Jika ia tidak mampu membuat skripsi, hingga tugas itu diserahkan pada joki, kita bisa mengasumsikan bahwa ia tidak/belum memiliki cara berpikir yang baik, belum punya kemampuan bernalar secara ilmiah, yang mestinya telah dimiliki orang yang telah lulus kuliah. Jika orang semacam itu kemudian menjadi guru dan mengajar murid-murid di sekolah, kira-kira akan seperti apa output-nya?

Dan guru hanya sekadar contoh. Bayangkan jika hal semacam itu dilakukan mahasiswa kedokteran, misalnya. Atau mahasiswa psikologi. Atau mahasiswa jurusan lain yang gelar pendidikannya sangat berkaitan dengan kemaslahatan orang banyak.

Sekadar ilustrasi, sangat ngeri membayangkan kalau, misalnya, kita menderita sakit tertentu, lalu masuk rumah sakit, dan diharuskan operasi. Waktu masuk kamar operasi, kita mendengar si dokter—yang akan mengoperasi kita—mengaku, “Sebenarnya saya tidak yakin apa yang harus saya lakukan, karena dulu tugas-tugas kuliah dikerjakan joki.”

Atau mahasiswa psikologi yang tugas-tugas kuliahnya juga dikerjakan joki, dan ia lulus kemudian dengan pede jadi psikolog. Kita percaya kepadanya, percaya saran dan pendapatnya, tapi diam-diam dia juga membatin, “Sebenarnya saya juga tidak yakin-yakin amat dengan saran ini, wong dulu tugas-tugas kuliah saya dikerjakan joki.”

Itulah faktor gelap terkait perjokian di dunia pendidikan. Sekilas tidak ada masalah, tapi sebenarnya bermasalah. Ketika mahasiswa dan joki bekerja sama, keduanya saling menguntungkan, dan tidak ada yang dirugikan, wong sama-sama butuh. Tetapi, dalam jangka panjang, ada pihak yang dirugikan, dan kita semua—masyarakat luas—yang menanggung kerugiannya!

Skripsi, tugas akhir, atau apapun sebutannya, adalah pembuktian gelar seseorang. Ketika gelar itu digunakan untuk mendapat pekerjaan, ada banyak hal yang dipertaruhkan di dalamnya. Siapa pun tidak ingin naik pesawat yang pilotnya tidak lulus ujian, karena itu mempertaruhkan keselamatan. Tapi bagaimana jika kita tidak tahu si pilot tidak lulus ujian?

Kita tidak tahu apakah guru yang mengajar murid-murid di sekolah benar-benar memiliki kemampuan mengajar. Kita tidak tahu apakah dokter-dokter di rumah sakit yang menangani para pasien benar-benar memiliki komptensi yang dibutuhkan. Kita tidak tahu apakah para insinyur yang membangun jalan, gedung, dan jembatan, benar-benar menguasai pengetahuan yang dipersyaratkan. Kita tidak tahu. Yang kita tahu, mereka memiliki gelar terkait pendidikannya, sehingga kita percaya kepadanya. Menjadi masalah ketika kepercayaan masyarakat luas itu diam-diam dikhianati dengan adanya joki!

Jadi, kita tidak bisa berdalih bahwa perjokian di dunia pendidikan tidak ada yang dirugikan. Faktanya ada yang dirugikan. Yaitu kita semua!

Sekarang, agar lebih adil dan objektif, kita perlu bertanya, kenapa ada mahasiswa-mahasiswa yang menggunakan joki untuk menggarap skripsinya? Karena, secara logika, setiap mahasiwa mestinya bisa menulis skripsi sendiri, wong itu terkait kuliahnya sendiri. 

Mahasiswa ilmu politik tentu tidak akan diminta membuat skripsi dengan topik obat herbal, kan? Mahasiswa ilmu politik tentu akan menulis skripsi tentang politik. Jika ia berkutat dengan ilmu politik, dan seluruh mata kuliahnya telah lulus, di mana letak sulitnya? Lagi pula, proses penulisan skripsi juga didampingi dosen khusus yang akan membimbing sampai selesai.

Terkait hal itu, saya teringat keluhan teman-teman kuliah dulu, ketika mereka menggarap skripsi. Di antara keluhan yang paling sering terdengar adalah sulitnya menemui dosen pembimbing. Hal itu bisa jadi karena si dosen memang sibuk mengajar, atau kebetulan harus membagi waktunya untuk banyak mahasiwa yang ikut bimbingannya dalam pembuatan skripsi. Intinya, masalah dosen pembimbing adalah masalah paling populer yang saya dengar terkait pembuatan skripsi.

Dulu, bahkan ada teman yang sampai mengatakan, “Menulis skripsi itu mudah. Yang sulit adalah berurusan dengan dosen pembimbing!”

Sebenarnya, menulis skripsi memang mudah, karena ada panduannya, dan panduan itu diajarkan pada para mahasiswa yang akan membuat skripsi. Karenanya, masing-masing mahasiswa tahu bagaimana outline penulisan skripsi, dan, dalam proses penulisannya, ada dosen yang akan membimbing penulisan skripsi sampai selesai. Tetapi, seperti yang disebut tadi, berurusan dengan dosen pembimbing kadang jadi urusan yang sulit. Padahal, fungsi dosen pembimbing sangat penting dalam proses penulisan skripsi setiap mahasiswa.

Secara objektif, setiap mahasiswa memiliki kemampuan berbeda-beda, khususnya dalam hal penulisan skripsi. Bisa jadi, ada mahasiswa yang tidak menghadapi kesulitan dalam menulis skripsi, tapi ada mahasiswa lain yang benar-benar kesulitan. Dalam hal itulah keberadaan dosen pembimbing dibutuhkan, untuk memandu, menuntun, dan membimbing. Ketika kemudian dosen pembimbing tidak berfungsi optimal, muncul celah kosong... dan di situlah joki masuk mengisi celah kosong tersebut.

Bagi mahasiswa yang kesulitan membuat skripsi, keberadaan joki seperti berkat, khususnya ketika dosen pembimbing di kampusnya tidak berfungsi optimal. Berurusan dengan joki juga jauh lebih mudah. Cukup sebutkan mau bikin skripsi tentang apa, dan sediakan sejumlah uang, selesai. Outline, sistematika pemikiran, pembagian bab, pembukaan sampai kesimpulan, semuanya diurus joki. Setelah itu, si mahasiswa tinggal mempelajarinya, lalu berusaha pede saat ujian skripsi, dan berharap presentasinya dianggap bagus.

Jadi, dalam perspektif saya, munculnya fenomena joki di dunia pendidikan, spesifik pembuatan skripsi, karena ada bagian yang bermasalah di dalamnya, khususnya celah kosong yang ditinggalkan dosen yang seharusnya membimbing mahasiswa saat mengerjakan skripsi. Tentu saja kita tidak menafikan kemungkinan lain, seperti si mahasiswa memang malas mengerjakan skripsi, atau karena si mahasiswa mungkin sibuk kuliah sambil bekerja, dan lain-lain. Tetapi, menurut saya, persoalan terbesar dalam hal ini tetap terkait dosen pembimbing.

Jika masing-masing mahasiswa bisa menemui atau berkomunikasi dengan dosen pembimbingnya secara mudah untuk berkonsultasi atau meminta bimbingan selama proses pembuatan skripsi, dan di sisi lain dosen pembimbing benar-benar bertanggung jawab terkait masing-masing mahasiswa bimbingannya, lebih dari separuh masalah ini dapat dianggap selesai. Karena intinya memang di situ, kan?

Asumsikan saja bahwa menulis skripsi itu sulit. Tetapi, jika dosen pembimbing benar-benar berfungsi optimal dalam membimbing, kesulitan yang dihadapi mahasiswa akan sangat terbantu, dan mereka—mahasiswa dan dosen pembimbingnya—dapat mengatasinya bersama-sama. Yang repot adalah ketika menulis skripsi sudah dianggap sulit, dan berurusan dengan dosen pembimbing juga sama-sama sulit! 

Dalam hal itu, bisa jadi dosen pembimbing kesulitan menyediakan waktunya secara optimal untuk mahasiswa bimbingannya, karena juga menghadapi bebannya sendiri. Mungkin beban mengajar yang padat, atau mungkin pula terlalu banyak mahasiswa yang harus ia bimbing dalam satu waktu. Terkait soal ini, sepertinya para praktisi pendidikan yang lebih layak mencari solusinya. Saya bukan dosen, omong-omong.

Kembali ke media sosial X. Ketika topik ini ramai dibicarakan, ada yang pro, ada pula yang kontra, dengan pemikiran masing-masing. Dalam hal ini, saya termasuk yang kontra terhadap praktik perjokian, dengan pertimbangan seperti yang saya sebutkan di atas. Bahwa praktik ini bukan tanpa pihak yang dirugikan. Karena faktanya ada yang dirugikan, yaitu masyarakat luas.

Ada yang menggunakan analogi perjokian skripsi dengan fenomena ghostwriter di dunia kepenulisan. Sebenarnya, itu analogi yang kurang tepat. Karena ghostwriter di dunia kepenulisan umumnya tidak berdampak pada masyarakat luas, sementara perjokian di dunia pendidikan memiliki dampak luas, bahkan berpotensi bahaya ketika terkait keselamatan—dalam contoh tadi, misalnya, terkait mahasiswa kedokteran. Apa iya kita mau dioperasi oleh dokter yang kompetensinya diragukan?

Itu berbeda dengan ghostwriter. Umumnya, ghostwriter bekerja dalam bidang penulisan kreatif, dari buku biografi seseorang sampai novel fiksi atau skenario film/sinetron. Apakah itu masalah? Secara profesional, tidak! 

Seorang figur publik, misalnya, ingin memiliki buku biografi atau memoar, agar kisah kehidupan serta pemikiran-pemikirannya dibaca masyarakat luas. Tetapi, karena ia sangat sibuk atau tidak memiliki kemampuan menulis yang baik, ia lalu menyewa ghostwriter untuk menuliskannya. Tidak masalah, karena itu di luar dunia akademis yang mempersyaratkan kejujuran, juga tidak memiliki dampak negatif pada kemaslahatan masyarakat luas.

In the end, berdasarkan uraian ini, kita melihat bahwa masalah perjokian skripsi—juga perjokian dalam hal lain di dunia pendidikan—tidak hanya berdampak sebatas di dunia kampus, tapi juga berpotensi menimbulkan dampak luas pada masyarakat. Orang-orang melamar pekerjaan dan kemudian bekerja dengan mengandalkan gelar pendidikannya. Jika gelar itu diperoleh dengan cara tidak jujur, masyarakat luas akan ikut menanggung akibatnya.

Kita membutuhkan guru-guru yang memiliki kompetensi mengajar, sama seperti kita membutuhkan dokter, psikolog, psikiater, insinyur, ahli hukum, sampai pilot, yang memiliki kompetensi serupa. Selain pengalaman, kompetensi dihasilkan dari pendidikan, sementara bukti pendidikan formal adalah gelar, dan gelar diperoleh setelah mampu membuktikan kompetensi yang layak dan teruji. 

Mestinya, tidak ada jalan pintas di sini, dan artinya setiap orang yang benar-benar layak tidak membutuhkan joki.

Related

Pendidikan 8274641944277319706

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item