Nabi di Kampung Saya

Ilustrasi/visitingjogja.jogjaprov.go.id
Saya suka menyimak pengajian Gus Baha (KH. Ahmad Bahauddin Nursalim), bukan hanya karena menambah wawasan dan pengetahuan terkait agama, tapi juga membawa ingatan saya yang indah di masa kecil dulu.

Sebagian orang dapat mengingat peristiwa kehidupannya saat masih balita, sebagian lain samar-samar, sebagian lainnya lagi benar-benar tidak ingat. Dalam hal ini, saya termasuk yang bisa mengingat. Dan jika ditanya, kapan saat-saat dalam hidup saya yang terasa begitu menyenangkan, jawabannya saat saya masih balita.

Jika menyelami rekaman kehidupan pribadi, jauh ke masa lalu, saya masih bisa mengingat ketika berusia sekitar 4 tahun, dan begitu dekat dengan ayah. Sebegitu dekat, sampai saya selalu minta ditemani setiap kali tidur, dan tidak bisa tidur jika tidak di samping ayah. Kadang-kadang ayah ikut suatu acara di kampung sampai larut malam, dan saya menunggunya pulang, demi bisa tidur ditemani olehnya.

Di rumah kakek saya dulu, ada pengajian rutin tiap malam Selasa. Dari usai isya sampai larut malam. Karena hal itu, ayah terpaksa membawa saya ke pengajian tersebut, agar saya bisa tidur. Biasanya, saya tidur di pangkuannya, sementara pengajian berlangsung, dan saya terlelap di antara orang-orang yang ikut pengajian di sana. Itu menjadi masa-masa yang menyenangkan bagi saya. Belakangan, kegiatan “tidur di pengajian” itu terus berlangsung sampai saya masuk Sekolah Dasar.

Pengajian rutin itu mendaras kitab, dan di antara yang mengisi pengajian adalah seorang ulama bernama Bachrul Fatichin. Orang-orang di kampung saya dulu biasa menyebutnya Kiyai Bachrul. Acara pengajiannya memakai pengeras suara, tapi tidak sampai menimbulkan kebisingan. Tetangga kanan kiri rumah kakek saya bahkan tidak bisa mendengar suara pengajian, sehingga mereka tidak terganggu sama sekali. Jadi suara pengajian hanya terdengar orang-orang yang ikut mengaji—para pria, bapak-bapak, yang memang ingin memperdalam pengetahuan agama. 

Metode pengajiannya seperti umumnya ulama klasik; Kiyai Bachrul membacakan kitab, menerjemahkannya, lalu menjelaskan berbagai hal terkait topik yang dipelajari, dengan cara santai, tapi komprehensif—sampai ke detail-detailnya. Ya kira-kira seperti pengajian Gus Baha. Suasananya lebih mirip orang “nyangkruk”, tapi yang dibahas urusan agama, dan penjabarannya sangat detail.

Peserta pengajian kadang menanyakan berbagai hal, dan Kiyai Bachrul menerangkan jawabannya, dengan santai tapi komprehensif. Cara Kiyai Bachrul membacakan kitab, lalu menerangkannya panjang lebar, bisa dibilang mirip Gus Baha. Makanya saya sangat menikmati pengajian Gus Baha, karena itu mengingatkan pada keping kenangan indah dalam kehidupan saya, ketika masih kecil dulu.

Sebenarnya, bukan hanya cara mengajinya yang mirip, bagi saya sosok Gus Baha juga mengingatkan saya pada sosok Kiyai Bachrul—kalem, sederhana, rendah hati. 

Seperti yang disebut tadi, saya masih rutin ikut ayah di acara pengajian dan tertidur di sana, sampai saya mulai masuk SD. Kadang-kadang, waktu itu, saya berpapasan dengan Kiyai Bachrul di kampung, saat saya pulang sekolah, dan saya sering bingung atau kikuk, tidak tahu harus bagaimana. Biasanya, Kiyai Bachrul akan menyapa dengan ramah, sambil tersenyum, dan saya membalas sapaannya dengan malu-malu. Mungkin, dalam pikiran Kiyai Bachrul, “Ini bocah yang sering tidur di acara pengajian.”

Meski ulama yang sangat dihormati di mana-mana, Kiyai Bachrul memang sebersahaja itu. Tidak jarang saya mendapatinya sedang melangkah di kampung, sendirian, atau bersama orang lain, seusai mengisi acara. Dan ia menyapa orang-orang dengan ramah, termasuk menyapa anak kecil seperti saya di masa itu.

Selain menjadi imam shalat di masjid atau mushala serta rutin mengisi pengajian di berbagai tempat, Kiyai Bachrul adalah sosok yang sangat dibutuhkan masyarakat, khususnya di kampung kami. 

Kalau ada orang meninggal, dan menggelar tahlilan, masyarakat membutuhkan Kiyai Bachrul untuk memimpin doa, di pemakaman maupun di rumah. Saat ada yang menggelar hajatan, masyarakat mengundang Kiyai Bachrul untuk mengisi mauidhoh khasanah ataupun memimpin doa. Pendeknya, untuk segala acara, khususnya terkait keagamaan, masyarakat membutuhkan Kiyai Bachrul.

Jadi, kehidupan Kiyai Bachrul sehari-hari—dari siang sampai malam—hanya berputar di masjid, mushala, mengisi pengajian, dan memenuhi berbagai undangan masyarakat. Begitu besar peran sekaligus pengaruh Kiyai Bachrul dalam kehidupan di kampung kami, hingga semua orang mencintai dan menghormatinya. Namun ia begitu sederhana dan bersahaja. 

Ketika SD, saya bersekolah di madrasah, dan mempelajari tarih Nabi Muhammad. Guru di kelas kerap menceritakan keagungan akhlak dan budi pekerti Sang Nabi, dan meminta kita untuk meneladani. 

Saya tidak bisa membayangkan sosok Nabi Muhammad seperti apa. Namun, dalam benak saya di masa kecil dulu, saya kadang membayangkan Nabi Muhammad seperti Kiyai Bachrul; orang yang membaktikan hidupnya untuk masyarakat luas, yang kesibukan sehari-harinya hanya untuk kebaikan dan kemaslahatan orang banyak, yang sikap dan ucapannya begitu berakhlak, yang dicintai dan dihormati semua orang, namun hidup sederhana dan bersahaja. 

Mungkin ulama semacam itulah yang disebut “warasatul ambiya” atau pewaris para nabi; orang yang tidak hanya mewarisi pengetahuan agama untuk dibagikan ke masyarakat luas, namun juga mewarisi keluhuran akhlak hingga menjadi suri tauladan.

Faktanya, cara kita meneladani keluhuran Nabi adalah dengan mencontoh suri tauladan yang dapat kita saksikan. Kita tidak bisa melihat kehidupan Nabi, selain hanya membaca kisahnya. Tapi kita bisa meniru langsung keteladanan yang kita saksikan, lewat para “pewarisnya”, yaitu ulama yang benar-benar mengikuti ajaran Nabi; tidak sebatas kata-kata, tapi juga sepenuh denyut kehidupannya. Karenanya, dulu, setiap kali melihat Kiyai Bachrul, saya berpikir, “Mungkin Nabi seperti itu.”

Ketika saya mulai SMP hingga lulus SMA, pengajian di rumah kakek saya masih terus berlangsung, dan saya mengikuti pengajian itu tanpa tertidur. Metode pengajiannya masih sama, ala ngaji kitab yang penuh pendalaman, dan tidak ada suara bising apapun. Karenanya, sampai sekarang saya merasa lebih cocok dengan pengajian ala Kiyai Bachrul atau Gus Baha, karena isi pengajiannya benar-benar pembelajaran, bukan doktrinasi.

Ketika mulai kuliah, saya tidak lagi tinggal di rumah orang tua, dan sejak itulah saya tidak lagi ikut pengajian rutin di rumah kakek saya, karena jarak rumah saya waktu itu relatif jauh. Selain itu, banyak acara ekstra-kampus yang harus saya ikuti, yang jadwalnya berbenturan dengan jadwal pengajian.

Sekitar tiga tahun setelah saya kuliah, ayah saya meninggal, dan tak lama kemudian Kiyai Bachrul juga meninggal. Sejak itu, pengajian malam Selasa yang telah berlangsung bertahun-tahun—sejak saya masih balita—berhenti. Sampai sekarang.

Ketika ayah saya meninggal, salah satu warisannya adalah tumpukan kitab—kebanyakan sudah lusuh karena telah dibaca bertahun-tahun. Ibu saya mengepak kitab-kitab itu, dan berencana memberikannya kepada siapa pun yang bersedia. Saya bilang kepadanya, “Biar saya rawat.”

Saya menyimpan kitab-kitab itu sampai sekarang. Dan setiap kali menatapnya, saya tidak hanya menatap tumpukan kitab, tapi juga menatap keping-keping memori indah dari masa kecil dulu, saat saya tertidur di pangkuan ayah, sementara suara “gremeng-gremeng” pengajian masih berlangsung. 

Jika bisa kembali ke masa lalu, saya ingin kembali ke masa-masa itu.

Related

Hoeda's Note 9123292412007811213

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item