Sambil Nunggu Udud Habis

Ilustrasi/liputan6.com
Alfi adalah pria yang sebelumnya tidak saya kenal, dan dia tahu saya dari tulisan-tulisan saya di internet. Suatu waktu, beberapa waktu lalu, dia mengirim DM ke akun Twitter saya, ngajak ketemuan. Saya bersedia, dan saya pun datang ke alamat yang ia berikan—lebih dari tiga ratus kilometer jaraknya. Kenapa dia mengajak ketemuan, dan kenapa saya memenuhi permintaannya, akan saya tuliskan di catatan berikutnya.

Catatan ini adalah transkrip percakapan saya dengan Alfi, saat kami ngobrol sampai larut malam, setelah “acara inti” selesai. Ini adalah percakapan dua orang yang sebenarnya asing—karena baru kenal bahkan baru ketemu—tapi kami bisa mengobrol santai dan menyenangkan.

“Aku nggak follow akunmu di Twitter,” kata Alfi, “tapi aku kadang stalking, baca-baca ocehanmu. Kenapa kamu selalu mengawali ocehan dengan kalimat ‘sambil nunggu udud habis’?”

“Karena aku masuk ke Twitter sekadar menghabiskan sebatang rokok,” saya menjawab. “Kalau rokok udah habis, ya udah, selesai, log out. Makanya kalau mau ngoceh, aku suka mengawali pakai kalimat ‘sambil nunggu udud habis’. Biar orang nggak nyangka aku lama-lama di Twitter. Maksudnya, kalau-kalau ada yang nanya sesuatu, dan kebetulan aku udah log out, ya aku baru bisa merespons besoknya.”

Alfi manggut-manggut. “Jadi gitu latar belakangnya. Betewe, kenapa kamu sangat jarang, bahkan hampir nggak pernah berinteraksi dengan orang lain di Twitter?”

“Penjelasannya agak panjang, sih.”

“Nggak apa-apa.”

Saya mengambil sebatang rokok dari bungkus, lalu menyulutnya. Setelah mengisap sesaat, saya berkata, “Sambil nunggu udud habis, ya.”

Alfi tertawa. “Jadi berasa menikmati ocehanmu secara live, hahaha...”

Saya mulai menjelaskan, “Aku punya akun Twitter, sebenarnya karena ‘kecelakaan’. Aku menyadari kurang mampu bersosialisasi dengan banyak orang, khususnya di ruang maya, makanya sejak awal nggak pernah kepikiran punya akun di media sosial. Terus, sekian tahun lalu, ada sesuatu yang memaksaku bikin akun Twitter, dan aku nggak enak kalau menolak. Akhirnya bikin akun di Twitter. Habis itu aku anggurin sampai lama—sekitar dua tahun, kayaknya. Belakangan, aku iseng buka-buka Twitter, biasanya waktu mau tidur, terus kepikiran untuk sesekali ngetwit. Aku mikirnya, nulis di Twitter tuh semacam menyimpan pikiran-pikiran yang kebetulan melintas di kepala. Dari situ keterusan sampai sekarang. Jadi, aku aktif di Twitter ya sekadar gitu. Nggak penting banget, ya?”

“Terus soal kenapa nggak pernah berinteraksi dengan orang lain?”

“Aku sering merasa nggak enak atau nggak pede kalau mau nyapa orang lain, khususnya di Twitter. Mungkin karena aku introver, ya. Tiap kali ingin nyapa seseorang di Twitter, aku mikir, ‘ntar gimana kalau dia terganggu atau nggak nyaman?’ Jadinya aku lebih milih nggak berinteraksi dengan siapa pun, karena aku selalu takut membuat orang lain terganggu atau nggak nyaman.”

“Tapi selama ini, kamu pasti pernah berinteraksi dengan orang lain di Twitter, kan? Misal lewat DM.”

“Ya, cukup sering, sebenarnya.” Saya mengisap rokok sesaat, lalu melanjutkan, “Aku baru pede menyapa atau membuka komunikasi dengan seseorang, jika ada sesuatu yang benar-benar penting. Artinya bukan sekadar basa-basi nggak jelas. Kadang-kadang, misalnya, aku dapat job yang nggak mungkin aku kerjakan sendirian. Biasanya, aku mencari orang lain yang sekiranya bisa membantu. Kalau nemu orang yang tepat, ya aku hubungi dia. Kalau dia merespons, kami lanjut komunikasi. Kalau dia nggak respons, ya udah, aku cari orang lain.”

“Pernah sampai ketemuan? Terkait job tadi.”

“Pernah, beberapa kali. Kadang-kadang, suatu pekerjaan sangat teknis, dan butuh penjelasan langsung yang interaktif agar sama-sama paham. Biasanya kami ketemuan—aku yang datang menemuinya—dan menjelaskan teknis pekerjaan itu sampai dia benar-benar paham. Sejauh ini lancar-lancar aja, nggak ada masalah sama sekali.”

Alfi mengambil rokok, lalu menyulutnya. Dia mengisap rokoknya beberapa saat, lalu berkata, “Jadi, sebenarnya, motivasimu aktif di Twitter itu gimana?”

“Ya sekadar menuliskan hal-hal yang kebetulan terlintas di kepala, plus update berita dan informasi terkini, sekadarnya. Makanya aku masuk ke Twitter hanya beberapa saat, karena motivasiku hanya sekadar itu.”

“Kalau blog?”

Saya tersenyum. “Ini mungkin terdengar lucu. Dulu, waktu bikin blog pertama kali, aku masih kurang paham soal internet. Yang kupikirkan, blog itu semacam diary yang hanya akan aku baca sendiri, tapi di internet. Menurutku itu keren, karena artinya aku bisa nulis dan baca diary di mana pun, asal tersambung internet. Waktu itu mikirnya, hanya aku dan beberapa orang yang aku kasih tahu yang bisa baca blogku. Jadi, aku pun ngasih tahu beberapa teman, waktu itu, kalau aku bikin blog, biar mereka bisa ikut baca. Eh, ternyata internet nggak sesempit itu, karena ada mesin pencari, dan siapa pun bisa menemukan serta membaca blog siapa pun.”

“Jadi,” ujar Alfi, “kamu aktif nulis di blog dan aktif di Twitter, itu sebenarnya karena apa?”

“Nggak karena apa-apa,” saya menjawab. “Aku hanya melakukan hal-hal yang aku suka. Aku suka nulis diary, sejak SMP, jadi aku pun bikin blog pribadi. Aku suka menuliskan hal-hal yang terlintas di pikiran, jadi aku pun nulis di Twitter. Aku suka belajar, menulis rangkuman aneka pengetahuan yang aku pelajari, jadi aku bikin situs khusus untuk menuangkan hal itu. Kalau ada orang lain ikut menikmati yang aku bikin, ya silakan. Kalau nggak ada, ya nggak apa-apa, wong aku cuma melakukan yang ingin kulakukan.”

Alfi mengisap rokoknya, lalu berkata sambil tersenyum, “Kamu nggak terpikir kalau eksistensimu di internet bisa bikin kamu terkenal? Aku nanya ini, karena kamu kan terkenal sebagai orang yang nggak ingin terkenal, hahaha... ajaib bener itu.”

Saya tertawa. “Sebenarnya, aku nggak keberatan terkenal, jika itu konsekuensi atas yang kulakukan. Yang aku hindari, sebenarnya, jadi orang yang dikenal.”

“Apa perbedaannya?”

Saya menjelaskan, “Ada orang yang terkenal, tapi nggak dikenal. Ada yang dikenal, tapi nggak terkenal. Ada pula yang terkenal sekaligus dikenal. Contoh, kamu pasti dikenal teman-temanmu, para tetangga, dan banyak orang lain. Tapi belum tentu kamu terkenal, dalam arti hanya kalangan terbatas yang mengenalmu. Itu contoh orang yang dikenal, tapi nggak terkenal. Ada pula yang terkenal, tapi nggak dikenal. Misalnya Ilana Tan. Dia terkenal, karena novel-novel karyanya laris dan disukai banyak orang. Tapi nggak ada yang tahu seperti apa sosoknya. Yang ketiga, terkenal sekaligus dikenal, biasanya para artis. Deddy Corbuzier, misalnya, itu terkenal sekaligus dikenal. Orang-orang tahu namanya, dan, kalau dia keluyuran ke mana pun, orang-orang pasti kenal dia.”

Alfi manggut-manggut. “Oke, aku paham sekarang. Jadi, kenapa kamu nggak keberatan terkenal, tapi nggak ingin dikenal? Karena menurutku, itu aneh. Banyak orang mati-matian ingin terkenal dan dikenal, sampai melakukan hal-hal konyol demi viral. Sementara kamu malah sebaliknya.”

“Jadi orang yang dikenal itu berat, menurutku. Dan aku merasa nggak mampu.” Setelah mengisap rokok sesaat, saya melanjutkan, “Kalau orang-orang mengenalmu, kamu akan punya kesadaran untuk ‘memantaskan diri’ sebagai orang terkenal. Kamu nggak bisa berpenampilan seenaknya, nggak bisa nongkrong di sembarang tempat, nggak bisa keluyuran secara bebas, karena orang-orang mengenalmu. Kamu juga harus selalu siap senyum ramah pada siapa pun, meski mungkin lagi stres berat, karena kamu orang terkenal, dan nggak ingin mengecewakan orang-orang yang mengenalmu. Kamu ingin selalu dikenal sebagai pribadi yang baik dan ramah, dan lain-lain, dan lain-lain.”  

Saya kembali mengisap rokok, lalu berkata perlahan, “Menurutku, itu kehidupan yang berat, dan aku sadar nggak akan mampu. Aku lebih suka menjalani kehidupan sebagai orang biasa yang nggak dikenal. Bebas berpenampilan seperti apa pun, nongkrong di mana pun, keluyuran ke mana pun, dan nggak ada orang yang kenal. Menurutku, seperti itulah kehidupan yang bebas dan nyaman. Tentu saja ini subjektif, karena dilihat dari sudut pandangku. Tapi pemikiran itulah yang membuatku memilih jadi orang yang nggak dikenal.”

Percakapan kami masih panjang.

Related

Hoeda's Note 220799594702603887

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item