Orang Sambat Tidak Butuh Nasihat

Ilustrasi/tribunnews.com
Kalau kamu ingin tahu seperti apa karakter seseorang—apakah dia orang menyenangkan yang bisa dijadikan teman, atau orang menyebalkan—caranya mudah; sambatlah di depannya!

Contoh. Kamu sambat di depan saya, “Awakku kesel.” (“Badanku capek.”)

Lalu saya merespons, “Ya awake ojo digawe kesel.” (“Ya badannya jangan dibikin capek.”)

Contoh lain, kamu sambat, “Aku lagi stres banget, nih.”

Lalu saya merespons, “Ora usah digawe stres.” (Tidak usah dibikin stres.”)

Kira-kira, apa yang akan muncul dalam pikiranmu, ketika mendapat respons seperti itu? Kamu akan berpikir saya orang menyebalkan, yang tidak punya empati. Apalagi kalau saya sampai menceramahimu macam-macam terkait sambatmu tadi, kamu akan menilai saya makin menyebalkan. Wong kamu cuma sambat, tapi saya malah ceramah macam-macam. Biasanya, begitu mendapat respons seperti tadi, kamu pun akan diam. Karena sia-sia berbicara dengan orang menyebalkan.

Sebaliknya, kalau respons saya pada sambatmu tadi adalah, “Ngopo, kok awake nganti kesel?” (“Kenapa, kok badan sampai capek?”)

Atau, “Wah, mikir opo kok nganti stres? Ono masalah?” (Wah, mikir apa kok sampai stres? Ada masalah?”)

Mendapat respons semacam itu, kamu akan menilai saya orang yang empatik, yaitu orang yang mau mendengarkan sambatmu, dan tidak buru-buru menghakimi, tapi menunjukkan empati. Bertanya kenapa badan capek kepada orang yang sambat capek, atau bertanya kenapa stres kepada orang yang lagi stres, itu contoh sederhana menunjukkan empati.

Ketika orang sambat, dia tidak butuh dinasihati, tidak butuh diceramahi, tapi hanya butuh didengarkan. Dan kita bisa menjadi orang menyenangkan atau menyebalkan dengan respons yang kita tunjukkan. 

Kalau kita orang menyenangkan, kita akan mendengarkan sambatnya, bertanya terkait yang ia sambatkan, dan ia pun akan bercerita kepada kita mengenai sambatnya. Tapi kalau kita orang menyebalkan, kita akan bertingkah sok tahu, menganggap sambatnya tidak penting, lalu koar-koar menasihati dan menceramahi dia untuk menunjukkan betapa pintarnya kita.

Orang sambat kok dinasihati. Orang sambat kok diceramahi. 

Seperti pada contoh tadi, ada orang sambat “awakke kesel”. Kalau saya merespons, “Yo awake ojo digawe kesel,” maka dia akan diam, dan tidak akan melanjutkan apa pun. Karena sadar, sia-sia berbicara dengan orang seperti saya, yang jelas tidak mau mendengarkan, tapi bertingkah sok pintar.

Sebaliknya, ketika orang sambat “awake kesel”, dan saya merespons dengan empatik, “Ngopo kok awake kesel?” maka dia akan menilai saya sebagai teman yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Dia pun akan berbicara, menceritakan kenapa badannya capek, dan lain-lain, dan, hanya dengan itu, dia akan merasa terbantu, karena menemukan orang yang mau mendengarkan sambatnya.

Sering kali, ketika orang sambat atau mengeluhkan sesuatu, dia hanya ingin didengarkan. Dia tidak butuh nasihat kita, tidak butuh ceramah kita, tidak butuh tahu sepintar dan sebijak apa kita. Dia hanya ingin didengarkan. Dan kita bisa menjadi teman yang baik untuknya dengan cara yang sangat mudah; diam saja, dan dengarkan! 

Kalau dia memang meminta saran atau nasihat, berikan saran dan nasihat secukupnya. Kalau dia tidak meminta saran atau nasihat, tahanlah agar kita tidak mengumbar nasihat apa pun. Semudah itu menjadi orang yang menyenangkan untuk orang lain!

Sayangnya, banyak orang yang suka mempersulit diri dan orang lain. Mendengar orang sambat, bukannya cukup diam dan mendengarkan, malah menyemburkan nasihat macam-macam. Bukannya mengedepankan empati bahwa seseorang sedang butuh didengarkan, malah berceramah panjang lebar dan minta didengarkan. 

Ingatlah selalu bahwa orang tidak butuh tahu seberapa pintar kita, orang hanya butuh tahu seberapa peduli kita!

Kalau orang sedang sambat dan kita menyemburkan aneka nasihat, kita sedang ingin menunjukkan seberapa pintar kita. Orang sambat tidak butuh itu! Sebenarnya, semua orang di dunia juga tidak peduli sepintar apa kita, sebijak apa kita, atau sehebat apa kita. Orang-orang hanya peduli seberapa besar kepedulian kita. Dan dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan kepedulian itu mudah; ketika ada orang sambat, cukup diam dan dengarkan! 

Selain orang yang malah mengumbar nasihat pada orang sambat, ada pula jenis orang yang sama menyebalkan, yaitu orang yang “tidak mau kalah dalam urusan sambat”. Ketika ada orang lain sambat “awake kesel”, dia malah ngemeng, “Opo maneh aku, awakku rasane koyo pak mati!” (“Apalagi aku, badanku rasanya kayak mau mati!”)

Lha wong sambat kok hebat-hebatan. Orang juga tidak peduli kita mau mati atau mau modar! Ketika orang sambat, ia hanya butuh didengarkan.

Di media sosial X, ada akun bernama @nksthi, yang ditujukan untuk mewadahi orang-orang sambat. Isinya juga seputar sambat, yang seperti mewakili suara hati banyak orang yang ingin sambat. Akun itu tidak menyemburkan nasihat ndakik-ndakik, pun tidak menceramahi para pengikutnya terkait sambat mereka. Hasilnya, @nksthi menjadi salah satu akun yang disukai di X, setidaknya telah diikuti dua juta orang. Cuma menyediakan tempat sambat, dan ada dua juta orang mengikuti!

Sering kali, dan hampir dapat dipastikan, teman-teman dekat kita bukan orang yang pintarnya luar biasa, atau bijaknya luar biasa. Teman-teman dekat kita sering kali orang-orang biasa, tapi tahu cara berempati. Ketika kita sambat, dia mendengarkan. Ketika kita meminta saran dan nasihat, dia memberi saran dan nasihat secukupnya. Di lain waktu, ketika dia yang sambat, kita melakukan hal yang sama. Hubungan baik, hingga dua orang berteman, dibangun dengan cara semacam itu. Saling percaya, dan saling peduli.

Pernahkah kita berpikir, apa yang sekiranya dipikirkan orang lain ketika kita menasihatinya macam-macam, padahal dia tidak minta nasihat apapun?

Ketika orang sambat, dan kita malah menasihatinya padahal dia tidak meminta, yang ada dalam pikirannya adalah, “Lha sopo sing butuh nasihatmu? Wong aku cuma sambat, kok kamu malah nyemburke nasihat! Sopo sing njaluk nasihatmu?” (“Siapa yang butuh nasihatmu? Aku cuma mau sambat, kamu malah menyemburkan nasihat. Siapa yang meminta nasihatmu?”)

Omong-omong soal nasihat, banyak dari kita yang belum juga menyadari bahwa nasihat yang berharga adalah nasihat yang diminta. Sementara nasihat yang diberikan tanpa diminta hanya bernilai sampah. Ini mungkin kasar, tapi izinkan saya mengulangi hal penting ini: Nasihat yang berharga adalah nasihat yang diminta. Sementara nasihat yang diberikan tanpa diminta hanya bernilai sampah.

Sesuatu disebut nasihat, biasanya karena mengandung hal-hal baik. Tapi hal baik itu harus diberikan dengan cara yang tepat dan sama baik, yaitu ketika orang memintanya! 

Saat orang meminta nasihat kita, dia akan mendengarkan, karena memang butuh nasihat kita. Tapi ketika orang tidak meminta nasihat kita, sebaiknya tahanlah diri untuk tidak memberi nasihat apa-apa. 

Ketika orang butuh nasihat, dia akan meminta. Nasihat semacam itu benar-benar berharga, dan dia akan sepenuh hati mendengarkan. Sebaliknya, ketika orang tidak butuh nasihat, tapi kita menyemburkan aneka nasihat kepadanya, nasihat kita tidak bernilai apa-apa. 

Orang mau sambat, malah kita ngasih nasihat. Orang lagi curhat, malah kita ngasih nasihat. Orang ingin ngobrol asyik, malah kita ngasih nasihat. Kita mungkin menilai diri kita begitu pintar, tapi orang lain menilai kita sosok menyebalkan. Karena orang sebenarnya tidak peduli seberapa pintar kita, tapi seberapa besar kepedulian kita. Dan cara mudah menunjukkan kepedulian adalah dengan diam dan mendengarkan.

Related

Hoeda's Note 8716574772176693597

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item