Mungkin Surga Seperti Instagram
https://www.belajarsampaimati.com/2024/06/mungkin-surga-seperti-instagram.html
Ilustrasi/sribu.com |
Saya baru sampai di rumah Ardi, dan melihat Ardi lagi ngobrol sama Ripin di teras rumah yang adem. Tiba-tiba Ripin bertanya, “Da’, shiomu apa?”
Agak kaget, saya menjawab asal-asalan, “Shio bocah.”
Ripin ngikik. “Kamu tuh kalau ditanya mesti jawabannya nggak ilmiah!”
Saya ikut ngikik. “Lhah, kamu juga aneh, Pin. Wong baru ketemu kok langsung tanya shio.”
Saya duduk bersama mereka di teras rumah.
Ardi berkata, “Ripin katanya lagi bikin penelitian terkait shio teman-teman kita.”
“Wow!” saya takjub.
Ripin menjelaskan, “Aku lagi mendata shio teman-teman kita, sejauh ini udah ada dua puluhan orang. Ajaibnya, nggak ada satu pun teman kita yang bershio monyet.”
Saya jadi tertarik, “Emang sepenting apa punya teman bershio monyet?”
Ripin menyatakan, “Tempo hari, pas buka Instagram, ada selebgram yang live dan ngasih tahu kalau orang bershio monyet biasanya teman yang menyenangkan. Soalnya teman-teman dia yang bershio monyet rata-rata baik semua. Makanya aku penasaran, ingin tahu siapa teman kita yang bershio monyet. Ternyata nggak ada. Pantas teman-temanku brengsek semua!”
Ardi dan saya cekikikan.
Setelah menyulut rokok, saya berkata pada Ripin, “Tapi aku kan belum nyebutin apa shioku, Pin.”
“Pasti bukan monyet, kan?” sahut Ripin.
“Bukan.”
Ripin ngikik. “Udah aku duga.”
Gara-gara tadi Ripin menyebut “selebgram ngemeng shio di Instagram”, kami jadi mengobrolkan Instagram. Ardi maupun saya tidak punya akun Instagram, tapi Ripin tampaknya cukup aktif membuka media sosial itu. Makanya dia paling update dalam urusan selebritas dan semacamnya.
“Kenapa kalian nggak punya akun Instagram?” tanya Ripin.
Ardi menjawab, “Dulu pernah punya akun di Instagram, tapi lama-lama males. Udah lama nggak masuk Instagram.”
“Kalau kamu, Da’?” tanya Ripin ke saya. “Kamu aktif di Twitter, kan? Kenapa nggak punya akun Instagram?”
“Nggak cocok aja, sih,” sahut saya. “Instagram itu kan mirip etalase, ya. Buat memamerkan hal-hal yang emang layak dipamerkan. Aku merasa nggak punya apa-apa yang layak dipamerkan, jadi nggak punya akun Instagram.”
“Bener itu,” ujar Ripin. “Instagram tuh mirip etalase. Makanya yang ada di Instagram kayaknya cakep semua. Orang-orangnya, kehidupan mereka, sampai makanan dan minuman mereka pun tampak cakep.”
Ardi berkata, “Dulu, waktu awal-awal punya akun Instagram, aku suka lihat-lihat isinya. Tapi lama-lama merasa nggak relate dengan yang aku lihat di sana. Maksudku, yang ada di Instagram tuh kayak semacam... utopia. Nggak sama dengan kehidupan nyata yang aku jalani. Jadi, tiap lihat yang ada di Instagram, aku ngerasa kayak orang asing, dalam arti kehidupan yang aku jalani berbeda jauh dengan kehidupan yang aku lihat di Instagram.”
“Sebenarnya, aku juga merasa begitu,” sahut Ripin, “tapi aku melihatnya dari sudut pandang lain.”
Saya bertanya, “Sudut pandang lain gimana?”
Ripin menjelaskan, “Seperti yang dibilang Ardi tadi, Instagram tuh kayak utopia—kehidupan ideal dan sempurna yang jauh berbeda dengan kehidupan yang kita jalani. Orang-orang yang aku lihat di Instagram tuh cakep-cakep semua. Kaya-kaya semua. Kehidupan mereka juga mewah semua. Sampai makanan dan minuman mereka aja kelihatan asing bagiku. Mereka, orang-orang di Instagram, kayak bahagia semua. Foto-foto dan video-videonya berisi tawa kegembiraan, di tempat-tempat yang indah dan mewah. Kayaknya nggak ada orang sedih atau menderita di Instagram. Semuanya kaya dan bahagia.”
Ripin mengisap rokoknya, lalu melanjutkan, “Setiap kali melihat kegembiraan, kemewahan, dan semua hal indah di Instagram, aku kadang mikir, mungkin surga seperti Instagram. Orangnya cakep semua, mewah semua, bahagia semua, nggak ada masalah, nggak ada kesedihan, nggak ada penderitaan. Jadi, meski merasa nggak relate dengan yang aku lihat di sana—kayak yang dirasakan Ardi tadi—aku melihat isi Instagram dengan sudut pandang lain, bahwa ternyata ada orang-orang yang berbeda denganku, ada kehidupan yang jauh berbeda dengan kehidupan yang aku jalani. Itu membantuku lebih... anu, lebih bijak, khususnya dalam memandang kehidupan orang lain, sehingga aku nggak menakar atau mengukur kehidupan orang-orang lain dengan kehidupanku sendiri.”
Ardi dan saya manggut-manggut mendengar penuturan Ripin.
Setelah mengisap rokok, saya bertanya, “Omong-omong, Pin, kamu posting apa di Instagram?”
“Nggak posting apa-apa,” jawab Ripin. “Tujuan awalku bikin akun Instagram sebenarnya buat nyari info lowongan kerja.”
Ardi berkata, “Mestinya kamu juga posting kehidupanmu, Pin, biar kayak orang-orang lain di Instagram.”
“Lhah, aku mau posting apa?” sahut Ripin, “Wong kehidupanku nggak ada indah-indahnya sama sekali.”
Sambil tertawa, saya mengatakan, “Mestinya kamu posting kehidupanmu yang nggak ada indah-indahnya itu, biar orang-orang di Instagram juga tahu ada kehidupan lain yang berbeda dengan kehidupan mereka. Bahwa ternyata di dunia ini ada orang-orang susah, ada penderitaan, ada banyak masalah, dan hal-hal menyedihkan lainnya.”
Ripin nyengir, “Kalaupun aku posting hal-hal kayak gitu di Instagram, siapa juga yang mau lihat?”
“Ya teman-teman kita, lah,” sahut Ardi.
Ripin tertawa. “Wong teman-teman kita brengsek semua. Nggak ada satu pun yang bershio monyet!”
Kami tertawa-tawa, sejenak lupa tidak tinggal di surga.