Mitos, Hantu, dan Hal-hal Gaib

Ilustrasi/klikdokter.com
Jika kita perhatikan, hantu/setan Indonesia dan hantu-hantu Amerika/Eropa memiliki perbedaan signifikan. Setidaknya, hal itu tergambar dalam banyak film bertema hantu/setan.

Hantu/setan di dunia barat umumnya bertarung dengan manusia, dan memiliki ambisi menguasai dunia. Sementara hantu/setan Indonesia, biasanya cuma nakut-nakutin orang.

Apa makna yang bisa diambil dari kenyataan itu? Bagi saya, hantu—sebagaimana banyak hal lain—adalah hasil konstruksi budaya, olah pikir masyarakat, yang mencerminkan kultur tempat hantu-hantu itu diciptakan. Orang barat yang ambisius menciptakan setan yang ambisius, orang Indonesia yang “apa adanya” menciptakan setan serupa.

Encyclopedia Britannica (edisi 2003) mengulas Nyai Roro Kidul dalam perspektif serupa, bahwa sosok gaib itu sebenarnya diciptakan raja-raja Jawa untuk menakut-nakuti rakyat.

Sementara Pramoedya Ananta Toer, dalam “Anak Semua Bangsa”, menyatakan, “Nyai Roro Kidul adalah kreasi Jawa yang gemilang untuk mempertahankan kepentingan raja-raja pribumi Jawa.”

Bagaimana cara agar manusia tunduk pada manusia lain, yang jelas sama-sama manusia? Bagi orang zaman dulu, caranya mudah. Cukup ciptakan mitos, dan bangun “kepercayaan tertentu” yang memungkinkan seorang manusia jadi “tampak seperti bukan manusia umumnya”.

Di kalangan masyarakat terbelakang [di zaman dulu maupun sekarang], cara semacam itu benar-benar efektif, dan memungkinkan siapa pun untuk memerintah manusia lain, karena seolah-olah dia memiliki privilese (kelebihan/kemuliaan) yang tidak dimiliki manusia umumnya.

Kaisar Jepang, juga para kaisar lain di zaman dulu, membangun mitos tentang diri mereka yang—konon katanya—keturunan dewa, dilahirkan oleh matahari, atau hal-hal gaib lain, dan dengan cara itulah mereka menghasilkan ketundukan bahkan penyembahan dari rakyatnya.

Hal serupa terjadi di Eropa, saat masih berada di zaman kegelapan. Para bangsawan Eropa mengklaim mereka keturunan dewa, dan dengan mitos itu mereka berharap para kawula menundukkan kepala untuk patuh dan hormat serta menuruti apa pun yang diperintahkan.

Sementara di Indonesia, beberapa raja mengklaim memiliki hubungan dengan makhluk gaib yang dihormati sebagai “penguasai laut selatan”. Intinya sama—menciptakan privilese agar tampak “seperti bukan manusia umumnya”.

Bahkan di zaman sekarang pun, cara semacam itu masih digunakan. Kim Jong Un di Korea Utara mengklaim dia—dan leluhurnya—keturunan dewa, dan rakyat Korut patuh serta tunduk padanya. Kenapa ia berhasil? Karena rakyat Korut terbelakang, dan terus dikondisikan untuk tetap terbelakang.

Mitos-mitos gaib semacam itu tidak hanya ampuh untuk menempatkan seseorang di “tempat yang tinggi”, tapi juga ampuh untuk mengendalikan orang-orang terbelakang. 

Di China, ada mitos populer bahwa orang yang mati karena kecelakaan atau dibunuh akan bangkit pada hari ketujuh untuk balas dendam. Peneliti modern yakin bahwa cerita itu dibuat oleh penguasa untuk mencegah terjadinya pembunuhan. Ya, motivasinya memang bagus, tapi hanya relevan saat diterapkan pada masyarakat yang masih terbelakang, yang masih sangat percaya hal-hal gaib.

Sementara di Jepang, ada mitos hantu berbentuk rubah. Jika orang makan terlalu banyak atau memuja kemewahan, kata mitos itu, artinya mereka kerasukan hantu rubah. Itu sebenarnya upaya pemimpin religius zaman dulu untuk mendorong orang agar tidak rakus dan materialistis.

Cendekiawan muslim Pakistan, Fazlur Rahman, mengutip Polybius, menulis, “... orang-orang awam adalah orang yang tidak punya pikiran, dan penuh dorongan-dorongan yang bertentangan dengan hukum; seperti rasa marah yang tak rasional dan kecenderungan-kecenderungan yang agresif. Tidak ada satu pun yang dapat mengendalikan mereka, kecuali rasa takut terhadap yang gaib.”

Dan, ya, sepertinya memang begitu. 

Related

Hoeda's Note 7031635150553253612

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item