Menatap Hidup di Bawah Hujan

Ilustrasi/pixabay.com
Tahu tegal adalah salah satu gorengan favorit saya. Karenanya, saya kerap beli cemilan itu. Di tempat tinggal saya ada cukup banyak penjual tahu tegal. Belakangan, saya cocok dengan tahu tegal di sebuah warung pinggir jalan yang cukup sepi, yang saya temukan tanpa sengaja.

Jadi, suatu waktu, saya pulang dari rumah teman, dan melewati jalan cukup sepi. Tanpa sengaja, saya melihat warung sederhana di pinggir jalan, dengan tulisan cukup besar, “JUAL TAHU TEGAL”. Saya mampir ke warung itu, dan membeli sekantong. Karena enak, beberapa hari setelah itu saya datang ke warung tadi, beli lagi, dan begitulah awalnya.

Seperti yang disebut tadi, warung itu ada di pinggir jalan yang cukup sepi (bukan jalan raya yang biasa ramai). Warungnya sebuah petak kecil, dengan atap terpal yang melindungi dari panas dan hujan. Ada gerobak berisi kompor dan wajan yang digunakan untuk menggoreng tahu, dan tempat menaruh tahu yang baru digoreng. 

Di belakang gerobak, ada bangku kayu panjang, yang dipakai si penjual untuk duduk kala menunggu pembeli. Di dekat bangku kayu panjang ada meja kecil, dan saya melihat ada gelas, teko, serta termos. Sepertinya, si penjual di sana seharian, sehingga sewaktu-waktu butuh minum.

Penjual tahu tegal itu sepasang suami istri yang masih muda. Usia mereka pasti belum 30. Karena saya sering ke sana, mereka pun mengenali saya sebagai pelanggan. Saat saya beli tahu, kami kadang bercakap-cakap sekadarnya, sebagaimana orang-orang normal umumnya. 

Setiap kali saya ke sana, selalu hanya ada sekitar 10 buah tahu tegal. Dari dulu sampai sekarang, belum pernah saya mendapati ada tahu dalam jumlah banyak. Selalu hanya ada 10 biji, atau malah kurang. Karenanya, kalau pas tahu yang akan saya beli ternyata jumlahnya kurang, saya harus menunggu beberapa saat, karena si penjual harus menggorengnya terlebih dulu.

Si perempuan biasanya menggoreng tahu yang akan saya beli. Sambil menunggu tahu matang, si laki-laki menemani saya ngobrol. Dari situlah percakapan terjadi antara saya dengan pasangan penjual tahu tegal.

“Jalanan di sini agak sepi, jadi kami nggak berani bikin banyak-banyak,” ujar laki-laki penjual tahu tegal, ketika suatu sore saya datang ke warungnya, dan harus menunggu istrinya menggoreng. “Soalnya dulu pernah persiapan bikin banyak, ternyata malah nggak laku. Kalaupun laku, sudah adem, dan pembeli kadang kecewa, karena inginnya yang masih hangat.”

Saya manggut-manggut, dan akhirnya memahami kenapa jumlah tahu di gerobak selalu hanya sekitar sepuluh biji. Saya kemudian bertanya, “Kenapa nggak mencoba pindah ke tempat yang lebih ramai, Mas?”

“Penginnya gitu, sih,” jawab dia. “Cuma, jualan di tempat ramai butuh biaya besar, karena sewa tempatnya lebih mahal. Kami belum mampu.”

Saya bilang pada mereka bahwa saya penyuka tahu tegal, dan cocok dengan tahu buatan mereka. Jadi, saya berharap banyak pembeli lain juga merasakan hal sama, sehingga mendatangi tempat jualan mereka, meski bukan di jalanan ramai. 

Saya tidak saban hari beli tahu tegal. Tetapi, setiap kali ingin tahu tegal, saya selalu datang ke warung tadi. Dan saya selalu mendapati hal yang sama. Sepasang suami istri yang menunggui warung sepi, dengan tahu yang hanya sekitar sepuluh biji di gerobak. Lalu lintas di sana tak terlalu ramai, cuaca sering kali panas, atau hujan, dan pasangan suami istri itu berteduh di bawah terpal di tempat jualan mereka. Dari siang sampai malam. Dengan seteko teh dan air panas dalam termos.

Belakangan, karena cuaca yang kadang sangat panas dan kadang hujan lebat, badan saya terpengaruh. Tubuh saya jadi semremeng (antara sehat dan mau meriang). Suatu malam, usai magrib, saya keluar rumah untuk beli obat, dan berencana beli tahu tegal dalam perjalanan pulang, sebagai teman minum obat.

Saat mengeluarkan motor, langit tampak cerah, jadi saya pede kalau malam itu tidak akan hujan. Nyatanya, sampai saya keluar dari apotek setelah beli obat, langit masih cerah—suasana malam yang enak buat berkendara santai. Ketika saya mulai melaju di jalanan sepi menuju warung tahu tegal, tiba-tiba hujan turun. Saya mempercepat laju motor, hingga sampai di warung tahu tegal sebelum badan basah kuyup.

Di warung, pasangan suami istri penjualnya sedang duduk di bangku panjang, di bawah terpal. Saya menengok ke gerobak, tidak ada tahu sebiji pun. Jadi, istri penjual tahu tegal segera menyalakan kompor untuk menggoreng tahu buat saya. Sambil menunggu tahu matang, si suami mengajak saya ngobrol. Kami duduk bersebelahan di bangku panjang, sementara hujan masih turun.

“Dari mana, Mas?” tanya dia.

“Barusan beli obat,” jawab saya. “Badan semremeng dari kemarin. Rencananya, tadi, sehabis dari apotek mau ke sini, terus minum obat ditemani tahu tegal. Ternyata kok hujan.”

“Neduh saja dulu di sini.”

Saya mengeluarkan rokok, dan menyulutnya. Saya tawari laki-laki di samping saya, tapi dia tidak merokok. Saya bertanya, sudah berapa lama mereka jualan tahu tegal, dan dia menjawab belum cukup lama. “Ini sebenarnya upaya survival,” ujarnya.

Lalu dia bercerita bagaimana dia serta istrinya membuka warung tahu tegal. Semula, si laki-laki adalah karyawan di sebuah perusahaan. Lalu perusahaan itu tutup, dan semua karyawan kena PHK. Dia sempat melamar ke tempat-tempat lain, bahkan untuk lowongan kerja apa saja, tapi sampai lama tidak ada satu perusahaan pun yang menerima lamarannya. “Rata-rata perusahaan kayaknya mencari yang fresh graduate,” ujarnya. “Sementara saya nggak bisa dibilang fresh graduate lagi.”

Dia dan istrinya lalu terpikir untuk buka warung, sebagai “upaya menyambung hidup”. Kebetulan, istrinya tahu cara membuat tahu tegal. Jadi, dari situlah kemudian mereka memutuskan untuk membuka warung tahu tegal. Karena modal terbatas, mereka hanya mampu membuka warung di tempat yang relatif sepi, yang dekat rumah mereka. “Penghasilan dari sini (warung) sebenarnya nggak seberapa. Cuma, baru inilah yang sementara kami bisa.”

Tahu pesanan saya akhirnya matang, dan telah cukup lama ditiriskan. Tapi hujan belum juga reda. Penjual tahu tegal berkata, “Daripada pulang dan kehujanan, mending obat sama tahunya dimakan di sini aja. Kalau butuh minum, di sini juga ada teh anget.”

Sepertinya itu tawaran yang sulit saya tolak. Jadi, saya pun mengeluarkan obat dari saku, sementara penjual tahu tegal menuangkan teh ke gelas. 

Sepiring tahu tegal, segelas teh anget, dan sebutir obat penangkal meriang, di bawah terpal yang menahan deras hujan. Saya meminum obat yang baru saya beli, menikmati tahu dan menyesap teh, ditemani suami istri penjual tahu tegal. Kami bercakap-cakap, di sela gemuruh guntur di kejauhan.

“Omong-omong, Masnya kerja di mana?” tanya si suami kepada saya.

“Saya... serabutan, Mas,” jawab saya.

“Serabutan?”

“Ya, mengerjakan apa saja, yang saya bisa.”

“Oh, kirain kerja di perusahaan mana, gitu. Siapa tahu pas ada lowongan.”

“Sebenarnya saya juga ingin kerja di perusahaan yang jelas. Cuma, seperti yang tadi Masnya bilang, rata-rata tempat kerja sekarang mencari yang fresh graduate.”

Dia mengangguk. “Memang makin susah cari kerja sekarang. Tiap ada lowongan, yang melamar sangat banyak, dan kita harus bersaing dengan banyak orang lain yang kualitasnya mungkin jauh di atas kita, juga lebih muda dari kita. Buat orang-orang seumuran kita, kayaknya memang makin sulit melamar kerja.” 

Hujan mulai mereda, gemuruh guntur terdengar di langit.

Suami penjual tahu tegal berkata, “Kalau boleh tahu, Masnya belum menikah?”

Saya tersenyum. “Kayaknya belum ada perempuan yang mau menikah dengan saya.”

Dia ikut tersenyum. “Dulu, waktu menikah, saya pikir kehidupan saya sudah stabil. Kerjaan lancar, penghasilan cukup, hingga saya pede menikah. Tapi baru setahun menikah, malah kena PHK. Untungnya, istri saya bisa nerima kondisi ini dengan sabar.”

Si istri menyahut, “Namanya hidup, kita nggak bisa memastikan apa-apa, ya. Kadang senang, kadang susah. Kadang kerja lancar, kadang ada masalah.”

Saya mengangguk. “Percaya saja, badai pasti berlalu. Seperti hujan sekarang juga pasti reda.”

Perlahan namun pasti, hujan memang semakin reda. Ketika akhirnya tinggal gerimis kecil, saya pamitan pada mereka. Saya membayar tahu tegal yang tadi saya habiskan, tapi mereka tidak mau tehnya dibayar.

“Makasih banget ini, sudah menemani saya minum obat,” ujar saya sambil pamitan.

Suami istri penjual tahu tegal tersenyum ramah. Si suami berkata, “Kami yang terima kasih, sudah ditemani saat hujan.”

Ketika melaju perlahan menuju pulang, rintik gerimis masih turun. Saya menengok ke atas. Langit yang tadi terlihat cerah kini gelap dan hitam. Betapa kehidupan memang tak bisa dipastikan, seperti kata penjual tahu tegal.

Related

Hoeda's Note 746677139665614727

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item