Tradisi Ramadan yang Sudah [Sebaiknya] Ditinggalkan

Ilustrasi/detik.com
Tradisi adalah kebiasaan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat, yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya, hingga menjadi warisan budaya. Tradisi bisa berlangsung puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun, biasanya tergantung seberapa penting dan relevan tradisi itu bagi suatu masyarakat pada zamannya. Karenanya, saat ini ada tradisi dari zaman dulu yang masih dilestarikan, namun ada pula tradisi-tradisi yang sudah ditinggalkan.

Suatu tradisi dilestarikan atau ditinggalkan, sering kali karena dipengaruhi relevansi tradisi itu pada suatu zaman. Suatu tradisi mungkin relevan dengan masyarakat sekian puluh atau sekian ratus tahun lalu, tapi tidak lagi relevan untuk zaman sekarang. Biasanya, tradisi yang semacam itu akan ditinggalkan, dan kini mungkin hanya jadi bagian nostalgia.

Tradisi Ramadan, misalnya. Dulu, waktu saya masih balita, masjid besar di tempat tinggal saya punya tradisi unik, yaitu menyalakan/membunyikan semacam petasan besar yang ditujukan sebagai tanda untuk masyarakat bahwa waktu berbuka puasa sudah tiba. Masyarakat di tempat saya waktu itu menyebut suara petasan besar itu sebagai “dul”—merujuk pada suara yang mereka dengar, ketika petasan itu meledak. 

[Catatan: Saya tidak tahu pasti bahan yang digunakan untuk hal itu memang petasan atau bukan, tapi intinya menimbulkan suara keras mirip petasan.]

Jadi, di zaman itu, masyarakat akan menandai sudah waktunya buka puasa atau belum dengan menyandarkan pada suara “dul”. Kalau sudah “dul”, artinya sudah boleh buka puasa. Tradisi itu relevan pada zaman tersebut, karena waktu itu masyarakat belum memiliki sarana yang memadai untuk mengetahui secara pasti kapan masuknya waktu buka puasa, juga kapan masuknya waktu imsak. 

Di zaman saya kecil dulu, hanya segelintir orang—khususnya di lingkungan tempat saya tinggal—yang punya televisi atau radio. Jangankan televisi dan radio, banyak masyarakat di zaman itu yang bahkan tidak memiliki jam di rumahnya! Karenanya, di waktu itu, sering ada orang tanya tetangganya yang punya jam di rumah, “Apakah sekarang sudah jam tiga?” Lalu si tetangga yang ditanya akan mengecek jam di rumahnya. 

Seperti itulah zaman ketika waktu buka puasa ditandai dengan “dul”, yang dinyalakan/dibunyikan di depan masjid besar. Suara “dul” itu sangat keras, hingga dapat didengar dari jarak berkilo meter, dan masyarakat sangat membutuhkan suara “dul” untuk menandai waktu buka puasa. 

Menyalakan “dul” di depan masjid mungkin tradisi masyarakat setempat—khususnya masyarakat di tempat saya—tapi tradisi itu penting bagi masyarakat, dan relevan dengan zamannya.

Selain “dul” yang dibunyikan saat buka puasa dan masuknya waktu imsak, ada tradisi Ramadan yang juga penting sekaligus relevan di zaman itu, yaitu kegiatan membangunkan sahur, yang biasanya dilakukan anak-anak muda. Masyarakat di tempat saya menyebutnya “tong-tong prek”, merujuk pada alat yang digunakan untuk menghasilkan bunyi, yaitu tong bambu yang ditabuh dengan bilah bambu. 

Anak-anak muda yang membangunkan sahur waktu itu biasanya berkeliling kampung pada waktu sahur, dan mereka membunyikan suara-suara tabuhan bambu yang cukup keras terdengar orang tidur, tapi tidak sampai bising atau mengganggu. Sama seperti suara “dul”, masyarakat waktu itu juga sangat terbantu dengan adanya “tong-tong prek”. Bagi mereka yang tidak punya jam di rumah, suara “tong-tong prek” membantu memberi tahu bahwa sudah saatnya mereka bangun dan mulai sahur.

“Tong-tong prek”, sebagaimana suara “dul”, adalah tradisi di kala Ramadan. Dan tradisi itu penting bagi masyarakat, serta relevan pada zamannya. Karena penting, tradisi itu pun dijaga dan diteruskan dari waktu ke waktu.

Lalu, suatu waktu, masjid besar di tempat saya tinggal menemukan cara yang lebih baik dibanding menyalakan “dul”. Yaitu dengan membunyikan sinyal yang suaranya dapat didengar masyarakat hingga radius berkilo-kilometer. Masyarakat waktu itu menyebut suara sinyal itu dengan sebutan “ngung”. Jadi, kalau sudah terdengar “ngung”, artinya sudah bisa buka puasa.

Suara sinyal keras yang disebut “ngung” itu bertahan cukup lama, dari Ramadan ke Ramadan, sampai kemudian pihak masjid memutuskan untuk tidak lagi menggunakannya. Alasannya sederhana, karena suara “ngung” sudah tidak relevan atau sudah tidak dibutuhkan, karena waktu itu mayoritas masyarakat sudah memiliki radio, televisi, atau setidaknya jam dinding di rumah mereka. Artinya, masyarakat sudah tahu kapan masuk waktu berbuka puasa, tanpa harus menunggu suara “dul” atau suara “ngung”. 

Lalu bagaimana dengan “tong-tong prek”, yang ditujukan untuk membangunkan orang sahur? Meski suara “dul” atau “ngung” sudah tiada, tradisi “tong-tong prek” masih ada. Sayangnya, seiring waktu, tradisi ini kemudian bergeser dari tujuan awalnya yang mulia... berubah jadi keresahan masyarakat di mana-mana. 

Di zaman dulu, “tong-tong prek” atau tradisi membangunkan orang sahur benar-benar dilakukan pada waktu sahur, sehingga keberadaannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang akan sahur. Alat yang digunakan untuk membangunkan orang sahur di zaman dulu juga hanya bambu yang dipukul dengan bambu, sehingga suaranya cukup terdengar, tapi tidak sampai bising dan mengganggu. Itu tradisi bagus, tentu saja.

Sayangnya, tradisi bagus dan bertujuan baik itu belakangan berubah, atau malah rusak, hingga menjadi tradisi yang mengganggu. Sekarang, tradisi membangunkan sahur masih ada di berbagai tempat, tapi pelakunya sering kali anak-anak yang begadang dan tak punya kegiatan, lalu berkeliling kampung dan membunyikan aneka  hal yang suaranya sangat bising dan mengganggu, dan mereka melakukannya jauh sebelum masuknya waktu sahur!

Baru pukul 01.00, misalnya, anak-anak itu sudah berkeliling kampung dan berteriak-teriak, sambil membunyikan alat-alat tertentu yang sangat mengganggu ketenangan masyarakat yang bisa jadi masih tidur atau istirahat. Akibatnya, anak-anak itu bukan membantu masyarakat agar terbangun untuk sahur, tapi malah mengganggu masyarakat yang mungkin masih pulas tidur.

Masalah ini—anak-anak yang berkeliling kampung dan berteriak-teriak sambil membunyikan alat-alat tertentu yang mengganggu—telah jadi keresahan di mana-mana. Ada masyarakat yang sudah sepuh, ada orang-orang yang lagi sakit, ada ibu-ibu yang punya bayi, ada bapak-bapak yang lelah bekerja dan ingin istirahat dengan tenang, dan mereka semua terganggu setiap kali datang Ramadan, gara-gara munculnya sekelompok anak yang berkeliling kampung dan mengganggu ketenangan. 

Ramadan mestinya jadi bulan yang baik sekaligus menyenangkan, ketika umat Islam menikmati satu bulan penuh untuk beribadah dalam kekhusyukan. Sayangnya, bulan yang baik itu, dari tahun ke tahun, terus “dirusak” oleh sesuatu yang dianggap sebagai tradisi, tapi telah melenceng jauh dari tradisi aslinya.

Suara “dul” yang dinyalakan masjid besar, atau suara “ngung”, itu tradisi Ramadan. Tapi sekarang tradisi itu telah ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak relevan. Pihak masjid memahami, jika mereka tetap menyalakan “dul” atau suara “ngung”, hasilnya bukan membantu masyarakat, tapi bisa jadi malah akan mengganggu. Karena memang sudah tidak dibutuhkan, atau sudah tidak relevan dengan zaman.

Begitu pula “tong-tong prek”, atau tradisi membangunkan orang sahur. Di masa lalu, tradisi itu dilakukan, dan dilakukan dengan baik, dengan alat yang tepat, di waktu yang tepat. 

Di zaman sekarang, hampir semua orang punya perangkat yang memungkinkan mereka bangun sahur, misalnya alarm dari weker atau dari smartphone. Rata-rata orang sudah bisa bangun sahur, di jam berapa pun yang mereka inginkan, tanpa harus menunggu suara anak-anak yang berkeliling kampung untuk membangunkan. Artinya, sama seperti “dul”, tradisi membangunkan sahur sudah tidak relevan. Kalau pun memang masih ingin diteruskan, dengan alasan menjaga tradisi, mestinya tetap dilakukan dengan cara yang baik, yaitu di waktu sahur, dan dengan alat yang tidak sampai mengganggu atau menimbulkan kebisingan.

Kita yang terganggu dengan ulah anak-anak di tengah malam itu mungkin enggan menegur mereka. Tapi setidaknya ada sesuatu yang bisa kita lakukan, yaitu memastikan anak, adik, atau keponakan kita untuk tetap berada di rumah, dan tidak ikut-ikutan mengganggu orang lain dengan dalih membangunkan sahur. Atau, kalau kebetulan ada yang jadi perangkat desa/kelurahan, atau tokoh masyarakat, gunakan wewenangmu untuk menjaga ketenangan lingkungan masyarakatmu.

Kita sudah lelah dengan Ramadan yang bising. Kita merindukan Ramadan yang khusyuk dan hening.

Related

Hoeda's Note 3902389497050839658

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item