Orang-orang yang Merasa Dirinya Tuhan

Ilustrasi/tinewss.com
Ada fenomena psikologi yang disebut God complex atau God syndrome, yang merupakan sebutan untuk orang yang “merasa dirinya Tuhan”—merasa selalu benar dan paling benar hingga harus selalu dipatuhi, tidak memiliki empati pada orang lain, hingga mudah merendahkan, menindas, mengintimidasi, merisak, atau menghina orang lain yang dianggap berbeda dengannya. 

God complex atau God syndrome bisa diidap siapa pun, di mana pun, bahkan bisa jadi kita termasuk salah satu pengidapnya. Karenanya, kalau pas selo, cobalah introspeksi, apakah kita memiliki ciri-ciri seperti yang disebut tadi? Apakah kita merasa selalu pasti benar? Apakah kita mudah menghakimi orang lain hanya karena berbeda? Apakah kita mudah menyalahkan, menghina, merendahkan, dan merisak orang lain hanya karena dia tidak mau mengikuti kita? 

Jika kita memiliki satu saja ciri-ciri itu, sebaiknya sadar diri, karena bisa jadi kita mengidap God syndrome.

Orang-orang biasa, seperti saya, atau orang-orang terkenal dan berpengaruh semisal tokoh masyarakat, semua bisa mengidap God syndrome. Bedanya adalah dampak merusak yang ditimbulkan. Semakin tinggi posisi seseorang di lingkungan sosial, dampak God syndrome akan semakin berbahaya, dan itulah kenapa kita perlu waspada.

Jika, misalnya, orang biasa seperti saya mengidap God syndrome, dampaknya bisa dibilang tak seberapa, karena saya bukan siapa-siapa. Saya bukan orang terkenal, bukan pejabat atau tokoh masyarakat, sehingga orang-orang akan mudah mengabaikan. Jika orang biasa seperti saya mengidap God syndrome—hingga menjadi orang menyebalkan—ya sudah, abaikan dan tinggalkan saja, wong saya bukan siapa-siapa.

Yang berbahaya dari God syndrome adalah ketika ia diidap orang yang punya pengaruh di lingkungan sosial, misalnya orang yang ditokohkan karena dianggap ulama, ustaz, atau ahli agama di lingkungan masyarakatnya. Orang semacam itu biasanya akan dipercaya orang-orang sekitar, bahkan omongannya bisa ditelan mentah-mentah. Jika orang seperti itu mengidap God syndrome, dampaknya bisa sangat berbahaya.

Setiap ulama, ustaz, atau ahli agama yang biasa ceramah di tengah masyarakat, pasti menyadari bahwa tugasnya adalah sebatas menyampaikan, dengan tutur kata yang baik, dengan cara yang terpuji. Itulah kenapa ceramah mereka biasa disebut “mauidhoh hasanah”, yaitu ucapan (ceramah) berisi nasihat baik, disampaikan dengan cara yang baik, dan memiliki manfaat bagi orang-orang yang mendengarkan.  

Tapi ceramah atau “mauidhoh hasanah” hanya berfungsi menyampaikan, dan itulah tugas para penceramah—sebatas menyampaikan. Karenanya, para ulama biasa berceramah atau mengisi pengajian dengan motivasi “lillahi ta’ala”—mereka hanya menjalankan perintah Tuhan untuk menyampaikan hal-hal yang perlu disampaikan. Perkara orang lain mau mengikuti atau tidak, itu sudah bukan lagi urusannya, karena itu sudah urusan orang per orang dengan Tuhannya.

Di YouTube, misalnya, banyak rekaman ceramah atau pengajian para ulama atau ahli agama—semisal Gus Baha, Gus Mus, Habib Ja’far, sampai Buya Syakur dan Syekh Ali Jaber (yang keduanya sudah wafat), sekadar untuk menyebut nama—yang isi ceramah atau pengajiannya benar-benar mencerminkan “mauidhoh hasanah”, yaitu ceramah atau pengajian yang murni menyampaikan ilmu bermanfaat, dengan cara yang baik, dengan tutur kata yang terpuji.

Kalau menyimak ceramah-ceramah atau pengajian mereka, kita bertambah pengetahuan, lebih mengerti bagaimana seharusnya ajaran agama dijalani, lebih mudah berempati pada orang lain, dan semua itu berdampak pada naiknya ketakwaan kita kepada Tuhan, sekaligus memungkinkan kita untuk lebih menghormati perbedaan dengan sesama. 

Mereka tidak mencerca siapa pun, tidak menghina atau merendahkan orang lain, pun tidak merasa paling benar sendiri, karena menyadari bahwa setiap orang bisa berbeda. Menyimak ceramah atau pengajian mereka, hati jadi adem, pikiran lebih terbuka, menjalankan ibadah atau ajaran agama terasa lebih ringan, yang dampak akhirnya adalah memperbaiki kehidupan kita sehari-hari.

Sayangnya, ada penceramah-penceramah yang tampaknya mengidap God syndrome, yang menganggap dirinya paling benar dan pasti benar, lalu mengharuskan semua orang mengikutinya. Orang-orang pengidap God syndrome semacam itu sering kali tidak punya empati, sehingga berpikir semua orang harus sama, seperti yang diinginkannya. Mereka tidak bisa menerima perbedaan, dan, ketika mendapati ada orang lain yang berbeda, mereka menghina, merisak, merendahkan, sampai melakukan aneka hal demi memaksa orang lain mengikutinya.

Para penceramah pengidap God syndrome itu tampaknya tidak berceramah dengan motivasi “lillahi ta’ala”, tapi mengikuti nafsunya sendiri—dia harus diikuti, semua orang harus tunduk dan patuh kepadanya, dan tidak ada satu orang pun yang boleh berbeda dengannya. Dari mulut orang-orang semacam itulah, ceramah agama berubah jadi sarana pemuasan ego pribadi, “mauidhoh hasanah” berubah jadi sarana merasa paling benar sendiri. 

Jangankan ulama yang memahami ilmu agama secara luas, wong rata-rata kita yang orang biasa saja tentunya menyadari bahwa tugas kita—terkait kebaikan dan kebenaran—hanya sebatas menyampaikan. Perkara orang lain mau mengikuti atau tidak, itu sudah di luar tanggung jawab kita. Selama dia hidup dengan baik, tidak mengganggu dan merugikan orang lain, ya sudah, biarkan saja. Tidak semua orang harus sama dengan kita, tidak semua orang harus mengikuti “kebenaran” versi kita.

Tapi orang-orang pengidap God syndrome tidak mau menyadari hal itu, apalagi kalau merasa dirinya ulama atau ahli agama. Dan orang-orang semacam itu “tumbuh subur” di lingkungan-lingkungan yang masyarakatnya relatif kurang berpendidikan, sehingga tidak ada yang berani membantah. Akibatnya, para pengidap God syndrome makin leluasa bertingkah seolah Tuhan di tengah masyarakatnya—mereka merasa berhak memaksakan apapun yang mereka anggap benar, dan, kalau ada yang tidak mau mengikuti, mereka akan menggunakan segala cara untuk merisak, merundung, dan mengintimidasi.

Karenanya, di media sosial X, saya pernah menyatakan bahwa yang berbahaya, terkait agama, bukan hanya teroris yang meledakkan bom, tapi juga para penceramah yang merasa dirinya Tuhan, yang merasa bebas berbuat apa saja, termasuk menyatakan permusuhan pada orang-orang lain yang dianggap berbeda. Karena dari orang-orang semacam itulah, masyarakat mendapat pembenaran untuk memaksa semua orang harus sama, sekaligus membenci pihak lain yang dianggap berbeda. Jika hal semacam itu terus berlangsung dari waktu ke waktu, hingga masyarakat terdoktrinasi, kalian pikir dari mana para teroris yang meledakkan bom itu berasal?

Karenanya pula, dalam hal ini, saya sangat berharap Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan penyuluhan pada penceramah di kampung-kampung, agar mereka tidak jadi “tuhan-tuhan kecil” di lingkungannya. Hanya karena disebut ulama atau ustaz, mereka bersikap seolah dirinya paling benar, lalu semua orang harus jadi pengikutnya, sambil merisak dan menyalah-nyalahkan siapa pun yang dianggap berbeda. 

Manusia yang penuh perbedaan dan Indonesia yang penuh keragaman bisa tercabik-cabik hanya karena nafsu pemuasan ego segelintir orang yang disebut ustaz atau ulama tapi merasa dirinya Tuhan.

Bagi kita, bagaimana cara menghadapi penceramah atau orang-orang yang dianggap ulama atau ustaz yang mengidap God syndrome? Jika orang-orang semacam itu muncul di dunia maya, urusannya cukup mudah, karena di sini ada banyak orang berpendidikan yang bisa mengoreksi mereka. Yang agak sulit adalah ketika para penceramah pengidap God syndrome ada di lingkungan terbatas, semisal di kampung-kampung atau semacamnya, apalagi jika masyarakat setempat relatif kurang berpendidikan.

Dalam hal ini, saya punya sikap pribadi, yang mungkin agak frontal. Jika menghadapi ustaz atau penceramah pengidap God syndrome, saya akan melakukan kebalikan yang ia katakan. Jika ia koar-koar agar semua orang harus shalat berjemaah di masjid atau mushala, saya akan shalat sendiri di rumah. Jika ia mewajibkan semua orang ikut pengajiannya, saya akan ikut pengajian di tempat lain. Jika ia berusaha agar semua orang mengikutinya, saya akan terang-terangan menentangnya.

Sebagai warga biasa, saya tidak punya wewenang untuk menindak secara hukum para penceramah pengidap God syndrome. Tapi setidaknya, yang saya lakukan—dengan terangan-terangan menentang—bisa menjadi koreksi bagi orang-orang semacam itu bahwa mereka hanyalah manusia biasa, dengan segala kedaifan, dan sebaiknya tidak usah bertingkah seperti Tuhan.

Related

Hoeda's Note 9176960173701516873

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item