Lingkaran Setan Kemiskinan

Ilustrasi/suara.com
Banyak studi ilmiah yang telah membuktikan bahwa anak orang miskin akan tetap miskin di masa dewasanya. Penelitian terkait hal itu tidak hanya dilakukan di luar negeri, tapi juga di Indonesia. Dan hasilnya sama. Bahwa kalau kita terlahir dalam keluarga miskin, kemungkinan besar kita akan tetap miskin di masa dewasa. Tentu saja ini sangat pahit, dan kita harus menyadarinya.

Memang ada kasus-kasus tertentu yang menunjukkan anak miskin jadi orang sukses [dan kaya] di masa dewasa, tapi kemungkinan semacam itu sangat, sangat kecil, dan hal itu juga telah dikonfirmasi dalam penelitian. Artinya, memang ada kemungkinan anak miskin jadi orang sukses di masa dewasanya, tapi membutuhkan kerja keras luar biasa, atau kecerdasan luar biasa, atau kebetulan luar biasa, atau kombinasi ketiganya.

Jadi, kalau kebetulan kita lahir dalam keluarga miskin, tapi tidak mau kerja keras dalam skala luar biasa, sementara kecerdasan kita juga rata-rata, ya kemungkinan besar kita akan masuk dalam konsensus penelitian tadi; tetap miskin ketika dewasa hingga tua. Itu artinya, kita mewarisi kemiskinan orang tua, dan mewariskan kemiskinan serupa pada anak-anak kita. Kelak, anak-anak kita—jika kualitasnya sama seperti kita—juga akan mewariskan kemiskinan pada anak-anaknya, dan begitu seterusnya. 

And then, begitulah lingkaran setan kemiskinan terjadi.

Pertanyaannya, mengapa anak miskin sulit kaya di masa dewasanya? Jika merujuk pada hasil banyak penelitian yang telah dilakukan, jawabannya sangat kompleks, karena melibatkan banyak hal, meliputi gizi, pola asuh, lingkungan, pendidikan, koneksi, dan aneka macam hal lain. Jika tertarik mempelajari hal ini lebih lanjut, kita bisa mencari paper penelitiannya yang telah banyak dipublikasikan di internet. 

Sekian tahun lalu, ada berita yang membuat saya sangat miris saat membacanya. Ceritanya, sebagaimana tertulis di berita itu, ada wanita yang melahirkan bayi bermasalah, karena dia hanya makan mi instan selama masa kehamilan. 

Yang membuat miris dari berita itu adalah latar belakang yang terjadi. Anak yang lahir bermasalah itu bukan anak pertama, tapi anak kelima. Dan si wanita yang melahirkan bayi tersebut terpaksa hanya makan mi instan selama masa kehamilan, karena tidak ada uang untuk makan makanan bergizi selama kehamilan. Bisa memahami kompleksnya masalah ini?

Pasangan yang hidup pas-pasan—dengan bukti tidak mampu beli makanan bergizi untuk si istri yang hamil—memiliki lima anak, yang waktu itu masih kecil-kecil. Secara sederhana, dalam perspektif modern, kita bisa mengatakan bahwa pasangan suami istri itu tidak punya pemikiran terkait kehamilan terencana, untuk memastikan anak-anaknya tumbuh dengan baik dan sehat. Biasanya, hal semacam ini terjadi karena kurangnya pendidikan atau pengetahuan, khususnya terkait perawatan anak.

Banyak suami-istri yang punya anak tanpa rencana sama sekali, selain kepercayaan bahwa “setiap anak memiliki rezeki sendiri”, atau “banyak anak banyak rezeki”. Pola pikir semacam itu mungkin memang relevan untuk zaman kuno, tapi sering kali tidak relevan di masa sekarang. Sayangnya, karena kurang pendidikan dan kesadaran, banyak pasangan yang masih memegang kepercayaan kuno dan menerapkannya dalam kehidupan di masa sekarang.

Sekarang kita bayangkan lima anak yang lahir dalam keluarga miskin. Untuk menghidupi lima anak, orang tuanya tentu harus montang-manting bekerja keras. Dan jika membeli makanan bergizi untuk si ibu yang hamil saja kesusahan, bisakah kita membayangkan apa yang terjadi di luar kehamilan? Lima anak dalam keluarga itu hampir dapat dipastikan akan menghadapi aneka masalah tumbuh kembang, aneka masalah kekurangan, dari kurang pengasuhan sampai kurang pendidikan.

Membicarakan hal ini mengingatkan saya pada diri sendiri. 

Ketika kelas dua SD, saya sudah mulai mencari uang sendiri, demi bisa punya uang saku yang cukup. [Di masa itu ada tetangga yang punya usaha jahit kodian, dan saya membantu apa saja asal dapat uang.] Saya terpaksa melakukannya, karena kondisi kemiskinan yang saya hadapi, dan saya terus melakukannya—berusaha cari uang sendiri—sampai lulus SD, lulus SMP, dan seterusnya. Saya tidak punya waktu bermain seperti anak-anak lain, saya tidak punya keceriaan masa kecil seperti bocah-bocah lain.

Salah satu hal penting dari masa itu, yang masih saya ingat sampai sekarang, adalah ketika lulus SMP, dan ayah saya mengatakan bahwa dia tidak bisa membiayai sekolah saya selanjutnya (SMA). Dia mengatakan, waktu itu, bahwa dia harus membiayai sekolah adik-adik, dan menawarkan pada saya, “Bagaimana kalau kamu libur dulu setahun atau dua tahun, nanti setelah itu baru daftar SMA?”

Waktu itu, saya sudah paham akan seperti apa akhirnya. Jika saya mematuhi permintaan ayah saya—libur dulu setahun atau dua tahun—maka saya tidak akan pernah bisa sekolah SMA selamanya! 

Jadi, waktu itu pun saya mengatakan kepadanya bahwa saya harus daftar SMA waktu itu juga—setelah lulus SMP—atau tidak sama sekali. Belakangan, saya akhirnya mendaftar SMA setelah lulus SMP, meski harus sering stres saat harus bayar SPP (iuran sekolah), karena ketiadaan biaya. 

Lulus SMA, saya sudah tahu akan seperti apa nasib saya selanjutnya; tidak ada masa depan jelas. Tidak ada pendidikan lanjutan, tidak ada kuliah, tidak ada perguruan tinggi, dan persetan dengan cita-cita!

Di titik itu, ketika saya lulus SMA dan sadar bahwa kehidupan saya akan berhenti di situ, kenyataan serupa juga dihadapi jutaan anak miskin lain di mana-mana. Mereka menghadapi yang saya hadapi, mereka menyadari kenyataan yang saya sadari, dan mereka pun akhirnya harus mencampakkan cita-cita serta impian indah tentang masa depan... untuk mulai menghadapi realitas kemiskinan yang sama seperti yang dihadapi dan dijalani orang tuanya.

Dan begitulah siklus kemiskinan dimulai, rantai yang membelenggu kehidupan dari orang tua ke anak, lalu dari anak ke anaknya—lingkaran gelap penuh luka, penderitaan, air mata, dan tangis diam-diam. 

Kaya dan miskin adalah takdir Tuhan, katanya. Tapi kita tahu, kenyataannya tidak sesederhana itu. Kita menghadapi kemiskinan struktural, juga kemiskinan warisan, yang kemudian hasilnya adalah lingkaran setan. Siapa pun yang terjebak dalam lingkaran itu akan terus mengulang siklus yang sama, berputar-putar tanpa bisa keluar, dari orang tua ke anak, dari anak ke anaknya, dan begitu seterusnya... entah sampai kapan.

Setiap anak memiliki rezeki sendiri, katanya. Dan karena keyakinan pada hal semacam itulah, banyak anak miskin yang kemudian mengikuti langkah orang tua mereka dahulu; mereka menikah dan punya anak-anak, lalu anak-anaknya mengulangi nasib serupa. Mereka menjalani masa kecil penuh kekurangan, tumbuh dewasa dengan keprihatinan, kurang pendidikan dan kurang kesadaran, lalu kembali meyakini hal serupa... dan begitu seterusnya.

Kenyataannya, kemiskinan menjerat jutaan orang—di Indonesia, maupun di berbagai negara. Sementara, berdasarkan banyak penelitian yang telah dilakukan, anak-anak yang lahir dalam keluarga miskin akan meneruskan kemiskinan orang tuanya, dan begitu seterusnya. Karena mereka kurang pendidikan, yang berdampak pada kurangnya kesadaran untuk memahami kenyataan. Mereka mewarisi kehidupan orang tuanya, mereka mengikuti pola pikir orang tuanya, dan hasilnya adalah mereka sama seperti orang tuanya.

Generasi sekarang, khususnya generasi milenial yang relatif berpendidikan, mulai menyadari kenyataan itu. Karenanya, ketika menikah, mereka benar-benar selektif dalam memilih pasangan, dalam arti yang bisa diajak bertukar pikir dengan kesadaran kekinian, dan menyadari bahwa kita tidak lagi hidup di zaman kuno. 

Hasilnya, rata-rata pasangan dari generasi milenial hanya memiliki satu atau dua anak. Karena mereka menyadari, jumlah anak harus berbanding lurus dengan kemampuan mereka membesarkan. Mereka tidak lagi mewarisi doktrin kuno yang menyatakan “banyak anak banyak rezeki”, karena nyatanya doktrin itu sekarang sudah tidak relevan.

Ada banyak pasangan dari generasi milenial yang lahir dan tumbuh dalam kemiskinan. Tapi mereka mendapat pendidikan yang relatif baik. Hasilnya, mereka dapat berpikir lebih baik dibanding orang tuanya, khususnya dalam pernikahan dan membangun keluarga.

Pasangan dari generasi milenial rata-rata merencanakan setiap kehamilan dengan kesadaran, sehingga setiap anak yang lahir benar-benar terjamin kehidupannya, bahkan sejak dalam kandungan. Kesadaran itulah yang mendorong mereka untuk memperhatikan makanan yang sehat dan bergizi untuk ibu selama masa kehamilan, sampai bagaimana merawat dan membesarkan anak, dan lain-lain. Dari generasi ini, kita bisa berharap dapat memutus lingkaran setan kemiskinan yang membelenggu generasi sebelumnya.

Tapi tugas kita belum selesai, dan perjalanan untuk memutus rantai kemiskinan masih sangat panjang. Karena ada jutaan anak lain yang mengalami nasib serupa—tumbuh dalam kemiskinan, tidak mendapat pendidikan karena tidak ada biaya—dan hampir dapat dipastikan mereka akan mengulangi siklus kehidupan orang tuanya. Dalam hal ini, kita patut mendukung visi Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, yang mencanangkan program sekolah gratis dan “1 keluarga miskin 1 sarjana”.

Program terkait pendidikan sebenarnya telah dijalankan Ganjar Pranowo ketika menjadi Gubernur Jawa Tengah. Jadi itu bukan program omong kosong yang utopis, karena orang yang menjanjikan program itu sudah melakukannya, dan kini akan melakukannya lagi dalam skala yang lebih luas, menjangkau lebih banyak orang di Indonesia. 

Dengan program yang jelas bervisi semacam itu, kita bisa berharap masa depan Indonesia yang lebih baik—jutaan anak yang putus sekolah akan kembali bersekolah, jutaan anak miskin yang telah membuang cita-citanya akan kembali memiliki masa depan, dan lingkaran setan kemiskinan yang membelenggu jutaan orang di mana-mana akan terputus satu per satu. Bersama Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, kita menyongsong masa depan yang lebih baik, Indonesia yang lebih bersinar, dan generasi yang lebih cemerlang.

Dan apa yang harus kita lakukan sekarang? Sederhana: Pastikan pilih Ganjar-Mahfud di pemilu mendatang!

Related

Hoeda's Note 1952433519078252005

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item