Selamat Jalan, Buya Syakur

Ilustrasi/suarapantura.com
Setelah ditinggal Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafii, kini Indonesia ditinggal Buya Syakur. Ini adalah kehilangan besar, khususnya di negara yang ditinggali mayoritas muslim. Mereka bukan hanya ulama dan cendikiawan, tapi juga pemikir Islam—sosok yang sebenarnya paling dibutuhkan.

Sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam, Indonesia bisa dibilang tidak kekurangan ulama, tidak kekurangan ustaz, tidak kekurangan penceramah atau pendakwah. Yang kurang, dan hampir tidak ada, adalah para pemikir Islam yang berani bangun dari kemapanan berpikir.

Sadar atau tidak, umat Islam sebenarnya telah lama tertinggal dari peradaban dan ilmu pengetahuan. Sebut apapun yang kini berpengaruh besar di dunia, dan hampir dapat dipastikan bukan hasil karya muslim. Dari ponsel sampai komputer dan internet, dari artificial intelligence sampai penjelajahan ruang angkasa.

Kenapa umat Islam tertinggal dari peradaban? Karena rata-rata umat Islam merasa paling besar. Itu sebenarnya belum jadi masalah. Yang jadi masalah adalah kecenderungan merasa paling benar. Kecenderungan paling benar itulah yang lalu meniadakan introspeksi, muhasabah, dan pembelajaran.

Sebenarnya, kecenderungan merasa paling besar itu tidak tepat-tepat amat, karena nyatanya agama terbesar di dunia adalah Kristen, yang mencakup 33 persen dari populasi manusia. Cuma, sebagian umat Islam seperti suka mengklaim apa saja sebagai “milik Islam” atau “karya Islam”.

Borobudur, misalnya, yang jelas-jelas candi Budha, diklaim sebagai peninggalan Nabi Sulaiman. Napoleon Bonaparte, yang jelas-jelas dibaptis sebagai Katolik, diklaim sebagai pahlawan muslim. Itu sekadar ilustrasi bagaimana umat Islam merasa “insecure”, hingga merasa perlu mengklaim apapun. 

Padahal, akan jauh lebih baik dan lebih hebat andai orang-orang Islam benar-benar menciptakan sesuatu yang megah dan bermanfaat, atau melakukan sesuatu yang berdampak besar bagi dunia dan peradaban manusia, sehingga tidak perlu mengklaim apapun yang bukan miliknya.

Oh, sejarah memang pernah mencatat masa-masa keemasan semacam itu, ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaan, ketika para ilmuwan muslim menghasilkan karya-karya hebat yang berpengaruh dalam banyak bidang ilmu pengetahuan dan peradaban dunia. 

Tapi itu ratusan tahun yang lalu, zaman ketika para pemikir Islam menyadari bahwa mereka hidup di dunia, dan harus menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi dunia. Setelah itu, dan sampai sekarang, umat Islam terlalu sibuk mengurusi hal-hal terkait akhirat, dan lupa bahwa mereka masih ada di dunia.

Dengarkanlah ceramah ustaz di mana pun, dan hampir dapat dipastikan isinya adalah tentang kematian, siksa kubur, akhirat, surga dan neraka. Umat Islam terus menerus diingatkan pada kematian dan akhirat, hingga—lama-lama—seperti lupa bahwa kita sebenarnya masih tinggal di dunia.

Sementara umat lain menulis karya-karya hebat yang bermanfaat bagi jutaan manusia, umat Islam sibuk memikirkan kematian. Sementara umat lain membangun peradaban dan terus beradaptasi dengan dunia yang makin modern, umat Islam justru asyik bernostalgia dengan masa lalu.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mengingat kematian itu buruk—sebagai bagian kesadaran, mengingat kematian itu baik. Dan sebagai retrospeksi, bernostalgia dengan kehebatan serta kejayaan masa lalu juga mungkin memberi manfaat. Tapi kita hidup di masa sekarang!

Fakta penting itulah yang mungkin terlupa dari pikiran mayoritas umat Islam, bahwa kita hidup di masa sekarang! Bukan di masa lalu, juga bukan di masa depan. Dan kesadaran penting tentang itu pula yang kemudian melahirkan para pemikir seperti Gus Dur, Cak Nur, hingga Bayu Syakur.

Mereka mengingatkan kita tentang kematian, tapi juga mengingatkan bahwa kita masih hidup di masa sekarang. Karena kita hidup di masa sekarang, mereka pun mengingatkan kita untuk melihat dan mengoreksi mana yang masih relevan dan mana yang sebaiknya direvisi dan ditinggalkan, sebagai bentuk adaptasi pada perubahan zaman.

Tapi sepertinya itu bukan tugas yang mudah. Karena bahkan sampai kematian mereka, mayoritas umat Islam belum juga sadar.

Selamat jalan, Buya Syakur...

Related

Hoeda's Note 4876489823487210302

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item