Pesugihan, Menjadi Kaya dengan Cara Gaib

Ilustrasi/sumselterkini.co.id
Di Jawa, khususnya di daerah tempat saya tinggal, ada istilah mistis “ngapek pesugihan” (secara harfiah bisa diartikan “memetik kekayaan”). Istilah itu biasanya digunakan untuk menyebut orang atau keluarga yang tampak kaya, tapi tidak jelas apa kerjanya. Atau, orang yang kerjanya kelihatan biasa, tapi hidupnya sangat mewah. 

Karena tidak “match” antara pekerjaan dan gaya hidupnya, orang semacam itu rentan dituduh “ngapek pesugihan” atau mendapatkan kekayaan dengan cara gaib atau mistis. Ada pula orang yang memang punya usaha besar, dan kaya-raya, tapi tetap dituduh “ngapek pesugihan”—dengan berbagai latar belakang tuduhan.

Bagi orang-orang yang percaya, “ngapek pesugihan” dilakukan dengan cara bersekutu dengan makhluk gaib—jin, setan, iblis, atau sejenisnya—untuk mendapat kekayaan, dan untuk itu pelakunya harus memberikan tumbal sebagai persembahan pada makhluk gaib yang memberinya kekayaan. Biasanya, yang menjadi atau dijadikan tumbal adalah anggota keluarga si pelaku, atau orang-orang terdekatnya.

Saya telah mengenal istilah “ngapek pesugihan” sejak masih SMP, dan dulu sempat percaya kalau praktik semacam itu benar-benar ada. Tetapi, seiring usia, kepercayaan saya pada hal itu makin memudar. Kini, saya benar-benar tidak percaya pada praktik yang disebut “ngapek pesugihan”, dan saya cenderung menganggap tuduhan “ngapek pesugihan” sebagai fitnah, karena sering kali tidak terbukti, selain hanya berdasar prasangka.

Ketidakpercayaan saya pada praktik yang disebut “ngapek pesugihan” juga didukung oleh fakta-fakta yang membuktikan kebalikannya. Orang-orang yang saya tahu, yang pernah dituduh “ngapek pesugihan” (yang jadi kaya-raya karena bersekutu dengan makhluk gaib) belakangan terungkap kalau mereka jadi kaya secara “rasional”, dalam arti sama sekali tidak terkait dengan makhluk gaib apapun.

Pada zaman kuliah dulu, teman saya punya pacar, yang konon orang tuanya “ngapek pesugihan”. Teman saya, sebut saja Edo, punya pacar bernama Dian. Orang tua Dian konon sangat kaya, dan orang-orang di kampungnya menuduh keluarga Dian “ngapek pesugihan”. Isu itu sangat santer, sampai terdengar teman-teman Dian di kampusnya. 

Ketika awal menjalin hubungan dengan Dian, Edo tidak tahu latar belakang keluarga Dian (mereka tidak satu kampus). Belakangan, setelah mereka jadian, Edo baru mendengar isu keluarga Dian “ngapek pesugihan”. Karena telanjur cinta, Edo mengesampingkan isu itu, dan tetap menjalin hubungan dengan Dian. Tetapi, seiring kedekatan mereka, Edo jadi galau karena teman-temannya sering “menakut-nakuti” dia, misal dengan mengatakan, “Apa kamu tidak takut ditumbalkan?”

Galau antara jatuh cinta pada Dian dan kekhawatiran keluarga Dian “ngapek pesugihan”, Edo pernah membicarakan hal itu dengan saya sampai lama, berharap saya bisa meyakinkan dia bahwa keluarga Dian tidak seperti yang dituduhkan orang-orang. Waktu itu, saya berkata kepadanya, “Terlepas apapun yang dikatakan orang-orang, aku tidak percaya pada sesuatu yang disebut ‘ngapek pesugihan’. Jadi kalau kamu minta pendapatku apakah keluarga Dian ‘ngapek pesugihan’ atau tidak, menurutku tidak!”

Belum puas dengan jawaban itu, Edo mengajak saya ke rumah Dian. Dia ingin membuktikan apakah saya jujur atau berbohong. 

[Jadi, di waktu-waktu itu, semua teman yang dolan ke rumah Dian tidak ada yang berani meminum atau memakan suguhan apapun di rumah Dian, karena “takut”. Edo juga selalu berusaha menghindar memakan/meminum apapun di rumah Dian, hingga selalu mengajak keluar setiap kali ketemuan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dian mendapati sikap semacam itu dari teman-temannya, bahkan dari pacarnya sendiri.]
 
Saya menerima tawaran Edo, waktu itu, dan kami lalu datang ke rumah Dian. Ketika sampai di sana, saya melihat rumah keluarga Dian biasa-biasa saja—bukan jenis rumah megah yang membuat orang ternganga. Rumah keluarga Dian memang sangat luas, tipe rumah zaman dulu, tapi biasa-biasa saja. Orang tua Dian punya usaha batik, dan memiliki banyak karyawan, sehingga rumah yang luas itu suatu kewajaran, karena juga menjadi tempat produksi batik.

Di rumah Dian, kami bercakap-cakap dengannya di ruang tamu. Dian menyuguhkan sirup dalam gelas, dan saya meminumnya. Ada juga suguhan jajan dalam toples di meja, dan saya pun menikmatinya. Menurut saya, semua yang ada di sana biasa-biasa saja—rumah yang biasa-biasa saja, usaha batik yang biasa-biasa saja, dan Dian juga perempuan yang bersahaja. Tidak ada kesan kekayaan atau kemewahan yang mencolok. Jadi, dari mana isu “ngapek pesugihan” itu?

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya menulis catatan ini, Edo dan Dian telah menikah, sementara usaha batik keluarga Dian mengalami banyak kemunduran. Selama menjadi suami Dian—dan artinya juga menjadi bagian dari keluarga Dian—Edo melihat sendiri bahwa keluarga Dian baik-baik saja, dalam arti tidak seperti yang diisukan bahwa mereka “ngapek pesugihan”. 

Menurut Edo, saban malam Jumat, keluarga Dian biasa membakar dupa sambil yasinan (membaca yasin dan tahlil sekeluarga)—suatu kebiasaan yang dilakukan sejak Dian masih kecil. Bisa jadi, karena kebiasaan itulah lalu muncul isu yang menuduh keluarga Dian “ngapek pesugihan”. 

Nyatanya itu tidak benar, wong usaha batik mereka bukannya makin meningkat secara tak masuk akal, tapi naik-turun sebagaimana usaha sewajarnya. Faktanya, keluarga Dian dari dulu biasa-biasa saja, dalam arti memang kaya tapi wajar, sebagaimana umumnya pengusaha batik.

Itu kisah pertama terkait orang yang dituduh “ngapek pesugihan”, tapi nyatanya tidak terbukti. Kenyataannya, selama bertahun-tahun menjadi bagian keluarga Dian, Edo tidak pernah mendapati apapun yang aneh. Semuanya wajar dan biasa-biasa saja. Artinya, “ngapek pesugihan” yang dituduhkan pada keluarga Dian lebih tepat disebut fitnah.

Masih di masa kuliah, ada kisah lain tentang orang yang dituduh “ngapek pesugihan”, tapi belakangan juga tidak terbukti. Kali ini, tuduhan itu tertuju pada seorang pria yang juga punya usaha batik, yang rumahnya luar biasa mewah ala sinetron-sinetron di televisi. Sebut saja namanya Haji Amin.

Di zaman kuliah dulu, saya aktif di organisasi ekstra-kampus. Setiap kali mengadakan kegiatan dan butuh biaya besar, organisasi kami mendapat sumbangan dari para donatur. Salah satu orang yang kadang ikut menyumbang adalah Haji Amin.

Ketika saya bertemu langsung dengan Haji Amin, terkait urusan tadi, kesan saya terhadapnya biasa saja. Dia pria berusia 50-an, tipe “bapak-bapak tradisional”, dan tampaknya punya usaha batik dalam skala besar hingga mampu membangun rumah yang luar biasa megah. Saya sempat melihat Mercedes terparkir di halaman rumah, dan keberadaan mobil mewah itu “match” dengan rumahnya yang memang sangat megah. Jadi, apa masalahnya, sampai Haji Amin dituduh “ngapek pesugihan”?

Menurut orang-orang yang percaya “ngapek pesugihan”, sosok Haji Amin tidak “match” dengan kekayaannya yang luar biasa. Memang benar dia punya usaha batik, tapi dia pria yang—menurut orang-orang—hanya lulusan SD. “Dia orang bodoh,” kata mereka. “Bagaimana dia bisa sesukses dan sekaya itu?”

Saya setuju bahwa Haji Amin tidak “match” dengan kekayaannya yang luar biasa. Seperti yang saya sebut tadi, dia tipe “bapak-bapak tradisional” yang tidak berpenampilan mewah. Ketika saya datang ke rumahnya, dia juga cuma pakai sarung dengan kaos oblong warna putih. Sikapnya juga sangat sederhana, bukan tipe orang yang angkuh ala orang kaya. Jadi, saya setuju bahwa Haji Amin mungkin memang tidak “match” dengan kekayaannya yang luar biasa. Tapi apakah layak hanya karena itu kemudian seseorang dituduh “ngapek pesugihan”?

Kita tahu, nasabah-nasabah prioritas BCA, yang isi rekeningnya bermiliar-miliar, sering kali penampilannya juga sangat sederhana. Mereka bahkan kadang datang ke kantor bank dengan kaos oblong dan sandal jepit! Orang-orang super kaya semacam itu tidak terlalu peduli dengan penampilan—mereka tidak butuh flexing atau dianggap kaya!

Bisa jadi, Haji Amin juga tipe semacam itu—orang yang tidak terlalu peduli penampilan, meski duitnya bermiliar-miliar. Fakta bahwa dia hanya lulusan SD dan berhasil sukses dan kaya-raya, sebenarnya biasa saja, wong banyak juga orang-orang seperti itu. Pendidikan formalnya mungkin minim, tapi pengalaman kerjanya bisa jadi sangat luas. Biasa saja.

Terkait Haji Amin, antiklimaks terjadi. Setelah bertahun-tahun terkenal sebagai orang kaya-raya—gara-gara rumahnya sangat megah ala sinetron—dan setelah bertahun-tahun dituduh “ngapek pesugihan”, belakangan terungkap kalau Haji Amin sebenarnya pengusaha biasa. Di waktu-waktu itu, ketika bisnisnya sedang meroket, Haji Amin memang mampu membangun rumah yang sangat besar sekaligus mewah. Sementara bank juga ringan tangan mengucurkan kredit, karena prospeknya bagus.

Tapi namanya bisnis, selalu ada kemungkinan naik turun. Belakangan, bisnis Haji Amin mengalami penurunan, sampai ia tidak mampu membayar utang pada bank. Rumah mewahnya dijadikan jaminan kredit, dan belakangan masuk lelang bank. Lha mosok orang “ngapek pesugihan” sampai rumahnya disita bank? Kalau Haji Amin memang “ngapek pesugihan”, sebagaimana yang dituduhkan orang-orang, mestinya sekarang dia sudah masuk daftar Forbes!

Satu lagi tuduhan “ngapek pesugihan” yang tidak terbukti.

Kisah ketiga mungkin terdengar konyol, dan sekali lagi membuktikan bahwa tuduhan “ngapek pesugihan” sering kali memang tuduhan konyol yang tidak berdasar. Ceritanya, saya berteman akrab dengan Deni, dan dia punya tetangga—sebut saja bernama Jono—yang dituduh “ngapek pesugihan” oleh orang-orang di kampungnya. Sekadar catatan, tempat tinggal Deni adalah lingkungan tradisional yang penduduknya rata-rata kurang berpendidikan.

Asal usul tuduhan Jono “ngapek pesugihan” adalah karena dia tidak pernah terlihat bekerja, tapi sepertinya tidak pernah kehabisan uang. Sehari-hari, menurut Deni, Jono hanya “luntang-lantung”, kadang nyangkruk di warung sambil udud, kadang ikut main catur di pos ronda, sama sekali tidak pernah terlihat sibuk kerja. Padahal Jono punya istri dan anak-anak, dan dia tampaknya bisa menghidupi mereka secara layak.

Melihat keseharian Jono dan kehidupan keluarganya, orang-orang di kampung lalu menuduh Jono “ngapek pesugihan”. Padahal, sebenarnya, keluarga Jono juga tidak bisa dibilang kaya. Mereka hanya berkecukupan, dalam arti tidak pernah sampai berutang seperti umumnya tetangga mereka. Jadi, dari mana Jono mendapatkan uang untuk menghidupi keluarganya, sementara dia tidak pernah kelihatan kerja?

Ternyata jawabannya sederhana; Jono mewarisi saham milik orang tuanya!

Deni telah mengonfirmasi hal itu langsung pada Jono, dan dia mendapat cerita sebenarnya. Dulu, orang tua Jono punya toko di pasar. Sebagian keuntungan dari pasar digunakan untuk menabung saham, hingga jumlahnya lumayan. Ketika orang tua Jono meninggal, Jono menjadi pewaris tunggal, karena dia anak satu-satunya. 

Jono tidak tertarik melanjutkan usaha toko di pasar, jadi ia pun menjualnya. Hasil penjualan toko ia gunakan untuk membangun rumah yang sekarang ia tinggali bersama istri dan anak-anaknya. Sementara rumah orang tua Jono—yang belakangan kosong—dikontrakkan. 

Sehari-hari, kehidupan keluarga Jono dibiayai dari hasil saham yang telah ditabung orang tua Jono sejak bertahun-tahun lalu. Karenanya, meski tampak tidak pernah kerja, keluarga Jono dapat hidup nyaman, karena ada keuntungan saham yang terus mengalir, ditambah pemasukan dari mengontrakkan rumah.

Penjelasannya begitu sederhana. Sayangnya, Jono tinggal di perkampungan yang mayoritas penduduknya ber-SDM rendah, sehingga kurang mampu memahami hal-hal semacam itu. Alih-alih berusaha memahami secara rasional, mereka enak saja menuduh Jono “ngapek pesugihan”.

Tiga kisah itu hanya beberapa di antara kisah-kisah lain yang pernah saya temukan terkait orang-orang yang dituduh “ngapek pesugihan” tapi tidak pernah terbukti, bahkan terungkap kalau tuduhan-tuduhan itu lebih bersifat fitnah akibat kebodohan, atau karena kesukaan sebagian orang ber-ghibah dan menghakimi orang lain.

Kadang-kadang memang susah kalau kita hidup di lingkungan orang-orang ber-SDM rendah. Kita rajin kerja demi memperbaiki nasib, dituduh “hubbud-dunya” atau terlalu cinta dunia. Kita punya cita-cita untuk masa depan, dituduh “tuulul amal” atau panjang angan-angan. Kita kerja siang malam tapi tidak juga kaya, dihina, “Kerja siang malam tapi dari dulu gitu-gitu aja.” Giliran kita berhasil sukses dan kaya, kita malah dituduh “ngapek pesugihan”.

Tuduhan-tuduhan bersifat mistis semacam “ngapek pesugihan” itu sebenarnya berbahaya, karena rentan menjadi fitnah dan rentan pula menimbulkan masalah sosial. Orang yang tidak salah apa-apa bisa dituduh macam-macam hanya karena kita terlalu mudah mengambil kesimpulan, meski kesimpulan itu tidak memiliki dasar jelas. 

Hanya karena seseorang dianggap aneh, kita langsung menuduh macam-macam. Hanya karena seseorang tampak beda dengan umumnya orang lain, kita langsung mikir macam-macam, lalu melancarkan aneka tuduhan. Mohon maaf, kebiasaan semacam itu adalah ciri khas orang-orang tak berpendidikan, yang biasa disebut “SDM rendah”. 

Salah satu ciri penting orang berpendidikan adalah kemampuan menerima perbedaan orang lain, tanpa prasangka, tanpa menghakimi. Orang lain berbeda dengan kita, itu biasa saja. Selama dia tidak mengganggu atau merugikan orang lain, biarkan saja. Tidak perlu berprasangka macam-macam, apalagi sampai menuduh dengan aneka tuduhan tak berdasar. Ngapek pesugihan, lah. Terlalu cinta dunia, lah. Panjang angan-angan, lah. Kafir, lah. Kayak kita paling benar sendiri.

Sering kali, tuduhan-tuduhan yang bersifat mistis ala “ngapek pesugihan” itu tidak bisa dibuktikan. Bukan karena faktor gaib, tapi karena memang cuma fitnah tak berdasar. Dan setiap kali mendapati sesuatu yang kita tidak paham atau kita tidak yakin benar, langkah terbaik adalah diam... dan bukan koar-koar.

Related

Hoeda's Note 7593975464958993073

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item