Menghina Pekerjaan Orang Lain adalah Kejahatan
https://www.belajarsampaimati.com/2024/01/menghina-pekerjaan-orang-lain-adalah.html
Ilustrasi/pexels.com |
Kalau boleh memilih, setiap kita tentu ingin mendapat pekerjaan yang mudah, bisa dilakukan di mana pun, dan menghasilkan gaji atau bayaran besar, sehingga tidak perlu pusing membayar aneka kebutuhan dan tagihan. Bahkan, kalau bisa, setiap kita mungkin ingin memiliki pekerjaan yang hanya cukup dilakukan satu hari, misalnya, tapi penghasilannya bisa dipakai untuk hidup sebulan, atau bahkan setahun!
Adakah pekerjaan semacam itu, yang hanya perlu dikerjakan sehari tapi hasilnya bisa dipakai untuk hidup setahun? Saya tidak tahu. Kalau pun ada, tentu hanya segelintir orang yang memiliki pekerjaan semacam itu, dan, tentu saja, orang itu jelas bukan orang biasa seperti kita.
Bagi orang-orang biasa seperti kita, bisa memiliki pekerjaan dengan gaji atau penghasilan yang cukup saja sudah alhamdulillah, karena di luar sana banyak orang yang menganggur dan pusing mencari kerja. Juga banyak orang yang, jangankan bisa menunggu tanggal cairnya gaji atau penghasilan, bahkan penghasilan saja tidak punya!
Itu kondisi yang ada di mana-mana, bahwa memiliki pekerjaan—apapun asal halal—adalah berkat yang harus disyukuri, bahkan jika penghasilan yang kita peroleh dari pekerjaan itu mungkin tidak seberapa.
Besar atau kecilnya penghasilan dari suatu pekerjaan biasanya berbanding lurus dengan tingkat kesulitan. Semakin sulit suatu pekerjaan, biasanya semakin sedikit orang yang mampu mengerjakan, dan biasanya pula penghasilan dari pekerjaan itu semakin besar. Sebaliknya, semakin mudah suatu pekerjaan, semakin banyak orang yang bisa mengerjakan, dan umumnya juga menghasilkan uang yang relatif sedikit.
Latar belakang atau kenyataan semacam itulah yang kemudian menyebabkan ada orang-orang yang makin kaya, dan ada orang-orang yang tetap miskin.
Ada orang-orang yang kerjanya mungkin hanya beberapa hari dalam sebulan, atau hanya beberapa bulan dalam setahun—dan banyak waktu santainya—tapi dia tampak semakin kaya.
Ayah teman saya, misalnya, bekerja sebagai kontraktor bangunan. Waktu dapat proyek—misal membangun gedung atau jalan raya—ayah teman saya bekerja sampai lama, sampai proyek yang ia tangani benar-benar selesai, dan dari situ mendapat penghasilan besar. Setelah itu, sambil nunggu datangnya proyek lain, ia tampak santai, kadang menikmati waktu dengan memancing, atau sekadar duduk-duduk di depan rumah sambil merokok.
Ayah teman saya tampak santai, dalam arti tidak saban hari harus bekerja, tapi penghasilannya cukup untuk hidup sampai lama, atau setidaknya sampai ia mendapat pekerjaan (proyek) lain.
Tetapi, di sisi lain, ada pula orang-orang yang harus bekerja sampai ngoyo (habis-habisan), tapi penghasilannya sedikit. Seorang teman saya, misalnya, bekerja sebagai tukang gambar batik (pekerjaan ini biasa disebut “nyungging”), dan penghasilannya pas-pasan. Jadi, proses awal pembuatan kain batik tulis dimulai dengan menggambar kainnya. Kain yang putih (biasanya sutra) digambar secara manual, menggunakan pulpen, sampai seluruh bagian kain tergambar. Pekerjaan inilah yang disebut “nyungging”.
Setelah kain selesai digambar—atau disungging—kain-kain itu diserahkan ke para pembatik, yang mengisi gambar pada kain tadi dengan malam (bahan mirip lilin), hingga semua bagian kain, sesuai gambar awal, terisi dengan malam. Proses pelekatan malam pada kain itu menggunakan canting, dan pekerjaannya disebut “membatik”.
Setelah sebuah kain selesai dibatik, kain itu diserahkan ke pekerja lain, kali ini untuk mengisi warna-warni pada gambar di kain yang telah dibatik. Pekerja di bagian ini akrab dengan obat-obatan batik, dan pekerjaannya disebut “nyolet”—memoles kain batik hingga penuh warna-warni indah.
Proses pembuatan batik itu masih panjang. Dari tukang nyolet, kain batik diserahkan ke pekerja lain, dan begitu seterusnya, sampai akhirnya menjadi kain batik tulis yang utuh, sebagaimana yang kita kenal. Proses pembuatannya melibatkan banyak orang, dan masing-masing orang mendapat penghasilan atas pekerjaannya. Dalam hal ini, para pekerja itu mendapat penghasilan yang masing-masingnya bisa dibilang tidak seberapa.
Kenapa para pembatik mendapat penghasilan yang tak seberapa? Pertama, karena pekerjaannya relatif mudah. Orang hanya perlu diajari cara melakukannya (misal cara nyungging, membatik, atau nyolet), dan dia akan segera bisa melakukan. Karena pekerjaannya mudah, bayarannya relatif murah. Kedua, karena proses pembuatan batik tulis melibatkan banyak orang. Jika masing-masing orang itu dibayar mahal, hasil akhirnya batik tulis akan memiliki harga sangat mahal (jauh lebih mahal dari yang kita kenal sekarang), dan itu tentu tidak baik untuk bisnis.
Latar belakang itulah yang menjadikan sampai sekarang—setidaknya yang saya tahu—tidak ada tukang batik yang jadi miliuner, tidak ada tukang nyungging yang kaya-raya, dan tidak ada tukang nyolet yang naik BMW. Ya karena memang penghasilannya sedikit, dan hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Oh, saya tidak bermaksud menghina mereka. Tujuan saya menulis catatan ini justru ingin menunjukkan bahwa tidak setiap orang beruntung memiliki pekerjaan bagus dengan penghasilan besar, dan kita—masing-masing dari kita—tidak berhak menghina pekerjaan orang lain.
Kita tidak berhak menghina pekerjaan orang lain, karena kita tidak tahu perjuangan yang mereka lakukan untuk mendapat pekerjaan itu, dan bagaimana mereka berusaha menekuni pekerjaannya—meski mungkin sambil tersiksa dan menangis diam-diam—demi bisa menghidupi diri dan keluarganya. Menghina pekerjaan orang lain adalah kejahatan, sekaligus pelanggaran hak asasi manusia.
Kembali ke teman saya, yang bekerja sebagai tukang nyungging. Setiap pagi, dia berangkat kerja ke sebuah pabrik batik, dan seharian bekerja di sana sebagai penggambar batik. Karena penghasilannya dirasa tidak cukup, dia lalu sering meminta kerjaan lembur yang ia kerjakan di rumahnya sendiri.
Jadi, ketika pulang kerja sore hari, teman saya membawa beberapa kain batik yang lalu ia gambar di rumahnya, sambil menemani istri dan anaknya. Besok paginya, saat berangkat kerja, ia bawa hasil kerja lemburnya, dan begitu seterusnya.
Karena bekerja siang malam, teman saya pun sangat jarang keluar rumah. Waktunya sudah habis untuk kerja, mengurusi keluarga, dan menghadapi aneka masalah sehari-hari. Lalu, suatu waktu, dia mendengar tetangganya berkata, “Kerja siang malam, tapi dari dulu segitu-gitu aja.”
Teman saya terluka hatinya. Ketika kami ngobrol, dia sempat curhat soal itu, dan mengatakan panjang lebar, “Wong aku kerja siang malam saja, hasilnya belum tentu cukup, apalagi kalau aku malas kerja? Nyatanya, aku kerja siang malam bukan agar jadi orang kaya, wong penghasilanku tak seberapa. Aku kerja siang malam karena butuh menghidupi istri, anak, dan ibuku. Kalau bisa memilih, aku tentu ingin memilih kerja yang santai, atau tidak perlu lembur, biar punya banyak waktu luang. Tapi hidup yang kuhadapi tidak memungkinkan aku santai-santai. Lagi pula, aku bekerja di rumahku sendiri, tidak mengeluarkan suara atau kebisingan apa pun yang mengganggu orang lain...”
Dengan suara yang terluka, dia melanjutkan, “Kalau dia mau membantu, tentu aku sangat bersyukur. Tapi kalau memang tidak bisa atau tidak mau membantu, mulutnya itu mbok dijaga.”
Kalimat itu terus terngiang dalam ingatan saya, sekaligus menyadarkan realitas pahit ini: Orang kadang tidak menikmati, atau bahkan membenci, pekerjaannya. Tapi terpaksa mereka lakukan, demi mendapat penghasilan tak seberapa, demi bisa menghidupi diri dan keluarganya. Mereka bekerja siang malam, karena mereka dituntut begitu. Karena kalau tidak begitu, mereka akan kesulitan melanjutkan hidup.
Sekarang bayangkan orang-orang yang bernasib suram semacam itu. Mereka membenci pekerjaannya, yang memberikan hasil tak seberapa. Tapi mereka memaksa diri untuk terus melakukannya, siang malam mengerjakannya, karena butuh uang untuk melanjutkan hidup. Mereka menangis diam-diam, menangisi hidupnya, nasibnya, kemalanganya. Lalu, kita enak saja mengatakan, “Kerja siang malam, tapi dari dulu segitu-gitu aja.”
Tidak semua orang beruntung memiliki pekerjaan bagus dengan penghasilan besar, juga tidak semua orang beruntung lahir di keluarga berkecukupan. Banyak orang di sekeliling kita yang bekerja siang malam dan tidak juga kaya, karena penghasilannya memang tidak seberapa. Jika kita kebetulan punya pekerjaan lebih bagus atau lebih kaya dari mereka, kita bisa membantu. Kalau pun tidak mau atau tidak mampu membantu, setidaknya jagalah mulut agar tidak menyakiti mereka.