Sudut Sunyi dalam Diri Manusia

Ilustrasi/pixabay.com
Berita duka datang tanpa terduga. Ketika membuka status teman-teman di WhatsApp, sore tempo hari, saya mendapati status Heri, yang mengabarkan bahwa ayahnya meninggal. Habis magrib, saya berangkat ke rumah Heri, untuk bertakziah. Saya pikir acara pemakamannya besok. Tapi ternyata jenazah sudah dimakamkan. Ketika tiba di rumah Heri, di sana sedang ada tahlilan. Saya pun ikut acara itu sampai selesai.

Usai tahlil, dan para peserta tahlilan sudah pulang, saya bertanya pada Heri, “Jadi, jenazahnya sudah dimakamkan?”

“Iya,” jawab Heri. “Tadi meninggal usai zuhur. Pertimbangan keluarga, sebaiknya segera dimakamkan saja, karena tidak ada anggota keluarga yang perlu ditunggu. Jadi saat itu juga langsung diurus pemakamannya.”

Kami pun lalu bercakap-cakap. Heri termasuk kawan lama—kami telah berteman sejak masa kuliah—hingga keluarga Heri mengenal saya. Tapi bagaimana pun, itu acara takziah, dan saya merasa tidak enak kalau terlalu lama di sana. Jadi, saya pun bermaksud pamit ketika azan isya terdengar. Namun Heri menahan saya. 

“Tolong jangan pulang dulu,” katanya. “Aku senang kamu datang, jadi ada teman ngobrol.”

Saya memahami maksudnya. Dia baru saja kehilangan ayahnya, dan kenyataan itu pasti membuatnya sedih, merasa kehilangan, kalut, dan galau. Di saat-saat seperti itu, orang sering kali membutuhkan teman—setidaknya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa dia tidak sendirian. Saya tahu perasaan semacam itu, karena pernah mengalaminya, saat ayah saya dulu meninggal. Keberadaan teman untuk sekadar ngobrol bisa membantu mengobati sakitnya kehilangan.

Jadi, saya pun akhirnya tetap di sana, ngobrol dengan Heri, berharap keberadaan saya bisa menghibur kedukaannya. Adik perempuan Heri datang membawakan teh hangat. Saya menyesapnya, lalu menyulut rokok.

Di tengah percakapan, Heri berkata, “Da’, aku kan rutin membaca blogmu, juga tulisan-tulisanmu di situs BSM. Kalau aku tidak keliru, selama ini kamu belum pernah nulis soal Rohingya—maksudku soal pengungsi Rohingya di Indonesia—aku tidak menemukan satu pun tulisanmu soal itu. Di Twitter, kamu juga sepertinya belum pernah bahas soal Rohingya. Kenapa, kalau boleh tahu?”

“Aku merasa tidak tahu tentang mereka,” saya menjawab, “dan aku juga tidak punya kewajiban untuk tahu.”

“Maksudnya?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Menurutku, urusan pengungsi Rohingya itu rumit sekaligus riskan. Rumit, karena urusan itu sebenarnya tidak sesederhana yang terlihat. Ada berbagai pihak yang terlibat—dari para pengungsinya sendiri, warga yang menerima para pengungsi itu, sampai pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam urusan tersebut. Juga riskan, karena urusan itu melibatkan kehidupan banyak orang, yakni para pengungsi. Kalau aku menulis tentang itu, aku harus yakin dengan yang kutulis, karena ada banyak kehidupan yang dipertaruhkan. Mungkin aku bisa merisetnya lewat banyak berita, tapi tetap riskan, karena urusan itu melibatkan banyak orang yang tidak jelas nasibnya. Kalau aku harus menulis soal mereka, aku harus turun ke lapangan, agar benar-benar tahu apa yang terjadi.”

“Kenapa tidak kamu lakukan?” tanya Heri.

Saya menjawab perlahan, “Aku tidak punya kewajiban melakukannya.”

Heri tampak menunggu saya menjelaskan.

Saya pun menjelaskan, “Aku tidak bekerja di media mana pun yang mewajibkanku menulis tentang para pengungsi Rohingya. Jadi, aku tidak punya kewajiban apapun untuk menulis tentang mereka, karena tidak ada tuntutan profesional untuk melakukannya. Aku menulis untuk mediaku sendiri, jadi aku pun menulis hal-hal yang sekiranya bisa kutulis. Aku tidak punya kewajiban untuk memaksa diri menulis hal-hal yang tidak bisa kutulis karena memang tidak tahu.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu melanjutkan, “Beda soal kalau aku bekerja untuk suatu media, misalnya, dan mereka menugaskanku untuk menulis tentang pengungsi Rohingya. Penugasan semacam itu memberiku kewajiban moral serta tanggung jawab profesional untuk melakukannya. Tanpa penugasan profesional semacam itu, aku hanyalah orang biasa—bukan siapa-siapa—yang berhak menulis tentang apapun, juga berhak tidak menulis tentang apapun.”

Heri mengangguk-angguk. “Sekarang aku paham maksudmu.”

Kami menyesap teh di gelas, lalu Heri berkata ragu-ragu, “Aku punya semacam ganjalan di pikiran, dan aku tidak yakin apakah yang kupikirkan ini benar atau tidak.” Dia mengisap rokoknya, lalu menjelaskan, “Begini. Saat ini kan banyak orang yang ramai membahas soal pengungsi Rohingya, perang Israel-Afganistan, genosida di Rwanda, dan lain-lain. Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli dengan semua itu, karena aku berpikir, ‘Hidupku sendiri saja sedang susah dan banyak masalah, kenapa aku harus memikirkan mereka?’ Menurutmu, apakah yang kupikirkan ini benar atau salah?”

Saya perlu berpikir beberapa saat, sebelum akhirnya mengatakan, “Menurutku, yang kamu pikirkan itu tidak salah. Aku tidak mengatakan bahwa yang kamu pikirkan itu ‘benar’. Tapi ‘tidak salah’.” 

“Bagaimana penjelasannya?”

“Ada hal-hal yang tidak benar, tapi juga tidak salah. Seperti yang kamu katakan, bahwa kamu tidak peduli dengan para pengungsi Rohingya, tidak peduli dengan perang Israel-Afganistan, tidak peduli dengan genosida Rwanda, karena hidupmu sendiri sedang susah dan banyak masalah. Yang kamu pikirkan, secara moral, mungkin tidak benar. Tapi siapa yang bisa menyalahkan?”

“Tolong jelaskan lebih sederhana, agar aku lebih nangkep.”

“Secara biologis, manusia adalah makhluk egois. Kita akan lebih mudah peduli pada orang lain yang kelaparan, kalau perut kita dalam kondisi kenyang. Kalau perut kita sama-sama lapar, bagaimana kita peduli dengan kelaparan orang lain? Dan kalaupun peduli, memangnya apa yang bisa kita lakukan, wong kita sendiri juga dalam kondisi kelaparan? Begitu pun dengan kondisi lain, semacam kesusahan, seperti yang dialami para pengungsi Rohingya. Kamu jujur mengakui kalau kamu tidak peduli dengan mereka, karena hidupmu sendiri sedang susah dan banyak masalah. Secara biologis, itu sesuatu yang wajar dan manusiawi. Karena, bagaimana kamu bisa peduli pada kesusahan orang lain, kalau hidupmu sendiri sedang susah dan banyak masalah?”

Heri mengangguk-angguk. “Lanjutkan.”

“Secara moral, kita memang punya kewajiban untuk peduli pada orang lain, dalam konteks ini para pengungsi Rohingya. Tapi secara biologis, bagaimana kita bisa peduli pada mereka yang kesusahan, kalau hidup kita sendiri juga sedang kesusahan? Seperti analogi tadi, orang yang kelaparan tidak bisa melakukan apapun pada orang lain yang sama-sama kelaparan. Karena bahkan mau peduli seperti apapun, dia tidak bisa berbuat banyak, wong dirinya sendiri juga sedang kelaparan. Beda soal kalau perut kita dalam kondisi kenyang, dan kita punya makanan yang dapat disumbangkan. Dalam kondisi semacam itu, kepedulian mudah dilakukan, karena kondisinya mendukung dan sarananya tersedia.”

Setelah terdiam sejenak, saya berkata, “Di Twitter, dulu, ada keributan yang dipicu pernyataan Nadin Amizah. Dia mengatakan, kira-kira, bahwa dia ingin jadi orang kaya agar lebih mudah membantu orang lain. Banyak orang salah paham dengan pernyataan itu. Padahal maksud Nadin seperti yang kujelaskan barusan. Bahwa kita akan lebih mudah peduli dan lebih mudah membantu orang lain, ketika kita dalam kondisi baik. Kita lebih mudah membantu orang lapar, saat perut kita kenyang. Kita lebih mudah menyumbang, saat uang kita banyak. Kita lebih mudah peduli pada sesama, ketika kondisi hidup kita baik-baik saja. Ini bukan berarti bahwa orang miskin tidak punya kepedulian atau tidak mau membantu sesama. Ini adalah logika sederhana bahwa kita akan lebih mudah melakukan hal-hal baik pada sesama ketika kita dalam kondisi yang baik.”

Heri bertanya, “Jadi, yang kupikir tadi tidak salah, ya?”

“Secara biologis, ya, tidak salah,” saya menjawab. “Karena bagaimana kita bisa memikirkan masalah dan kesusahan orang lain, kalau hidup kita sendiri sedang banyak masalah dan kesusahan? Itu sama seperti kita punya utang, dan orang lain juga punya utang. Mosok kita mau memikirkan utang orang lain? Kita pasti akan memikirkan utang kita terlebih dulu, berupaya melunasinya terlebih dulu, baru setelah itu, mungkin, kita bisa membantu memikirkan utang orang lain.”

Heri mengisap rokoknya, lalu berkata, “Kenapa kamu berkali-kali menyebut ‘secara biologis’?”

“Karena konteks obrolan kita beririsan dengan moral dan biologi, dan manusia adalah makhluk biologis yang mengenal moral. Karenanya, aku sengaja menyebut secara moral dan secara biologis, karena dua hal itu bisa menghasilkan perspektif yang berbeda, untuk satu masalah yang sama. Seperti kamu yang mengaku tidak peduli masalah Rohingya, masalah Afganistan, masalah Rwanda. Secara moral, mungkin kamu tidak benar, karena tidak peduli pada sesama manusia. Tapi secara biologis, kamu tidak salah, karena hidupmu sendiri sedang susah dan banyak masalah.”
  
Keheningan menggantung sesaat.

Saya mengisap rokok, lalu berkata perlahan-lahan, “Saat ini, aku bertakziah ke sini, karena ayahmu baru saja meninggal. Umpama saat ini ayahku juga baru meninggal, kemungkinan besar aku tidak bertakziah ke sini, karena aku tentu harus mengurus jenazah ayahku terlebih dulu. Itu contoh gamblang dan paling sederhana bahwa kita baru bisa beranjak ke luar... setelah kita selesai mengurus yang di dalam.”

Related

Hoeda's Note 7154698129121950890

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item