Seorang Wanita Marah karena Makanannya Dirusak Pacar

Ilustrasi/liputan6.com
Di Twitter—yang sekarang berubah menjadi X—ada video viral yang memperlihatkan seorang wanita marah karena makanannya dirusak atau diacak-acak pacarnya. Peristiwa semacam itu—mengacak-acak makanan orang—telah terjadi berkali-kali, hingga sekarang saya gatal menulis catatan ini.

Jika diperhatikan saksama, video yang viral itu merekam sepasang pria wanita, yang mungkin lagi kencan dan makan bareng, dan si wanita bermaksud memotret makanannya sebelum menikmatinya. 

Ketika wanita itu sedang mempersiapkan kamera ponsel untuk memotret makanan di piringnya, si pria berkata, “Tinggal dimakan saja [pakai difoto-foto segala].” Lalu si pria menggunakan sendok untuk mengacak-acak makanan si wanita, hingga tampilan makanan itu jadi rusak. 

Si wanita marah. Ia bangkit, lalu pergi meninggalkan si pria.

Berdasarkan komentar banyak netizen yang mengikuti video viral itu, kebanyakan setuju dengan si wanita yang marah, dan menyalahkan si pria. Dalam hal ini, saya termasuk yang mendukung wanita dalam video itu, karena dia memang berhak marah. Mengacak-acak makanan orang lain adalah tindakan yang sangat buruk, dan itu perilaku yang tidak beradab dan tidak berpendidikan.

Mari lihat konteksnya. Si wanita dalam video bermaksud memotret makanan miliknya, sebelum memakannya. Mungkin wanita itu bermaksud merekam kenangannya saat makan bareng pacar, mungkin pula ia ingin mengunggah foto makanannya ke Instagram. Yang jelas, karena tampilan makanan di depannya tampak menarik, wanita itu tergerak ingin memotretnya.

Peristiwa itu terjadi di tempat makan publik—bukan di jamuan makan resmi—dan hanya ada dua orang, yaitu si wanita dan pacarnya. Jadi, ketika si wanita bermaksud memotret makanannya, ia tidak menyalahi aturan apapun, karena di tempat makan publik—semisal kafe atau tempat makan pinggir jalan—tidak ada aturan yang melarang orang memotret makanannya. Wanita itu juga tidak melanggar etika ala jamuan makan resmi, karena ia makan berdua bareng pacarnya sendiri. 

Jadi, ketika si wanita bermaksud memotret makanannya, sebagaimana ditunjukkan di video tadi, dia tidak melakukan kesalahan apapun. Karenanya, ketika si pria pacarnya mengacak-acak makanannya, si wanita pantas marah. Dia diganggu, diusik, dirisak, ketika sebenarnya tidak melakukan kesalahan apapun.

Si pria, yang merusak dan mengacak-acak makanan si wanita, berdalih, “Tinggal dimakan saja, pakai difoto-foto segala.”

Ucapan si pria, yang melatarbelakangi tindakannya merusak makanan si wanita, adalah pola pikir toksik (beracun) yang juga ada dalam pikiran banyak orang, yang suka memaksakan pola pikirnya kepada orang-orang lain. 

Bagi si pria, memotret makanan itu tidak perlu, “wong tinggal dimakan saja, pakai difoto-foto segala.” Sebenarnya, dia berhak punya pemikiran semacam itu. Masalahnya, dia memaksakan pemikirannya kepada orang lain—dalam hal ini wanita pacarnya—hingga merusak dan mengacak-acak makanan si wanita, karena ingin memaksakan pemikirannya sendiri.

Sejujurnya, saya bukan orang yang suka memotret makanan atau memotret apapun. Setiap hari saya makan sendirian, di berbagai tempat, dengan beragam sajian yang kadang tampilannya sangat menawan di piring. Kalau mau, sangat mudah bagi saya untuk membuka kamera ponsel, lalu memotretnya. Tapi saya hampir tidak pernah melakukannya—kecuali ketika makan di suatu tempat yang baru, dan sajiannya benar-benar menarik hingga saya sangat terkesan. 
 
Intinya, saya tidak suka memotret makanan, atau memotret apapun! Tetapi, jika sewaktu-waktu kita makan bareng, dan kamu bermaksud memotret makananmu, lakukan saja. Saya tidak akan marah, dan tidak akan mengganggu, apalagi sampai merusak dan mengacak-acak makananmu. Kamu berhak memotret makananmu sendiri, dan saya harus menyadari bahwa setiap orang punya cara atau kebiasaan tertentu yang berbeda dengan saya.

Aktivitas makan adalah salah satu aktivitas sakral dalam kehidupan manusia, karena makan adalah upaya manusia melanjutkan hidup. Orang butuh makan agar tubuhnya mendapat energi baru, tetap sehat, dan dapat terus melajutkan kehidupan. Karenanya, makan adalah aktivitas yang sakral. Karena sakral, ia tidak boleh diganggu. Jangan pernah mencandai orang makan atau makanannya, karena itu bisa membuat orang marah!

Seperti wanita dalam video yang viral tadi. Dia jelas marah pada pacarnya, karena mengacak-acak makanan di piringnya. Bagi si pria, itu “hanya bercanda”. Tapi dia bercanda tidak pada tempatnya. Wong makanan orang lain kok dipakai bercanda. Itu bukan bercanda, dan sama sekali tidak lucu!

Di suatu resepsi pernikahan, saya pernah mendapati sesuatu—terkait makanan—yang membuat saya “terkejut”. Resepsi itu menyediakan prasmanan, dan saya duduk di dekat sepasang pria wanita yang sama-sama lagi makan (sepertinya mereka sepasang pacar). 

Si wanita, yang mungkin hanya mengambil nasi sedikit, telah menghabiskan makanannya di piring, sementara si pria belum selesai makan. Di piring si wanita, tersisa potongan daging lumayan besar, dan, mungkin karena eman-eman kalau dibuang, ia menaruh potongan daging itu ke piring si pria. Mungkin dengan maksud agar si pria memakannya, daripada dibuang.

Mendapati wanita pasangannya meletakkan potongan daging di piringnya, si pria terdengar berkata serius, “Tolong ambil, dan jangan pernah melakukan hal kayak gitu lagi.”

Si wanita mengambil kembali potongan daging tadi, dan meletakkannya di piringnya sendiri. Lalu si pria melanjutkan makannya.

Pemandangan itu lagi-lagi menyadarkan saya bahwa makan adalah aktivitas sakral orang per orang, yang sebaiknya tidak diganggu atau diusik. Bagi sebagian orang, mungkin, meletakkan sisa daging yang masih besar ke piring orang lain—semisal pacarnya sendiri—adalah hal biasa. Tapi ternyata, bagi sebagian lain, itu bukan hal yang bisa diterima. Karena masing-masing orang punya cara sendiri-sendiri dalam hal makan, dan kita harus menghormatinya.

Masih soal makan, saya punya kebiasaan pribadi, yaitu tidak pernah bercakap-cakap selama makan. Teman-teman yang mengenal saya di dunia nyata, khususnya yang sering makan bersama saya, pasti tahu hal itu. Saya benar-benar diam selama makan, dan tidak bisa diajak ngomong. Jika kebetulan saya makan dengan seseorang, dan dia mengajak bicara selagi makan, saya hanya akan menunjuk mulut saya sendiri yang tertutup dan sedang mengunyah makanan. Intinya, saya tidak akan berbicara selama makan!

Tetapi, kalau kebetulan kita makan bareng-bareng, dan kalian asyik bercakap selagi makan, saya tidak akan mempersoalkan. Itu hak kalian. Dan sesuatu yang saya pegang secara pribadi bukan berarti juga harus dilakukan orang-orang lain. Jadi, kalau kalian ingin bercakap-cakap selagi makan, ya lakukan saja. Kalau kemudian kalian mengajak saya ikut bercakap selama aktivitas makan, saya hanya akan mengangguk, menggeleng, atau menunjukkan ekspresi senyum. 

Bagi sebagian orang, bercakap-cakap sambil menikmati makan itu hal biasa, bahkan banyak keluarga yang menggunakan aktivitas makan bersama sebagai waktu untuk “percakapan keluarga”. Apakah salah? Menurut saya, biasa saja, wong itu kebiasaan pribadi, kok. Dalam hal ini, saya juga punya kebiasaan pribadi, yaitu tidak berbicara selama makan, dan baru berbicara setelah makan selesai. 

Dua-duanya hal biasa, karena terkait kebiasaan pribadi. Selama orang bisa saling menghormati hal yang bersifat kebiasaan pribadi semacam itu, sebenarnya tidak akan ada masalah.

Sering kali, masalah terjadi ketika kita melanggar kebiasaan pribadi orang per orang, dalam hal ini terkait makan dan makanan. Ada orang, misalnya, suka memotret makanannya sebelum dimakan. Itu kebiasaan pribadi, dan saya menilai itu sebagai “apresiasi seseorang pada makanan di piringnya”. Tidak masalah sama sekali. Kalau kebetulan kita tidak punya kebiasaan yang sama, bukan berarti kita bisa menyalahkannya apalagi sampai mengacak-acak makanannya.

Begitu pula, ada orang yang suka nasi akas, misalnya. Ya biarkan saja, wong itu kebiasaan pribadi, kok. Sebaliknya, ada pula orang yang lebih suka nasi lembek. Sekali lagi, itu kebiasaan pribadi. Tidak perlu dipersoalkan, apalagi disalah-salahkan. Wong dia yang mau makan, dia pula yang merasakan dan menikmati makanannya. Kenapa justru kita yang ribut dan pusing?

Sesuatu yang kita anggap enak, belum tentu enak pula bagi orang lain. Makanan yang kita anggap nikmat, belum tentu nikmat pula bagi orang lain. Kebiasaan yang menurut kita biasa, belum tentu biasa pula bagi orang lain. Berhentilah memaksakan selera pribadi kita, atau kebiasaan dan gaya hidup kita, pada orang-orang lain.

Related

Hoeda's Note 1739064730764116784

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item