Pasang dan Surut, Luka dan Sembuh

Ilustrasi/dream.co.id
Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya (Nyangkruk, Leyeh-leyeh, Sambil Udud), yang berisi obrolan saya dengan dua teman; Ardi dan Arifin. Agar konteks obrolan kami kali ini lebih mudah dipahami, saya perlu menuliskan latar belakang mereka, khususnya yang terkait obrolan ini.

Bertahun lalu, ketika kain ATBM mengalami booming luar biasa, Ardi dan Arifin termasuk yang mendapat berkahnya. Mereka merintis usaha kain ATBM dengan modal seadanya, lalu usaha berkembang cepat—karena memang sedang booming luar biasa—dan mereka jadi bocah-bocah kaya. Sebagai ilustrasi, di zaman ketika ponsel masih jadi barang mewah, mereka bisa gonta-ganti ponsel semudah beli rokok.

Setelah sekitar lima tahun mengalami booming luar biasa, kain ATBM mengalami masa surut. Itu sesuatu yang tidak terbayangkan oleh orang-orang yang punya usaha kain ATBM—seperti Ardi dan Arifin—karena bisa dibilang mereka baru pertama kali punya bisnis. Jadi, ketika masa surut datang, mereka dan orang-orang lain benar-benar “terjungkal”. Sejak itulah, mobil-mobil mulai dijual untuk bertahan hidup, bahkan belakangan peralatan tenun juga ikut dijual karena tidak lagi terpakai.

Dulu, ketika bisnis kain ATBM sedang berjaya, ada ratusan orang yang sukses dan kaya-raya, seperti Ardi dan Arifin. Kini, saat saya menulis catatan ini, bisa dibilang tidak ada satu pun dari mereka yang tersisa. Semuanya bangkrut, dalam arti tidak mampu lagi meneruskan usaha itu, karena memang sudah “tidak musim”.

Beberapa tahun kemudian, setelah tidak lagi berbisnis kain ATBM, Ardi dan Arifin mencoba merintis usaha batik. Dengan sisa-sisa uang yang mereka miliki, waktu itu, Ardi dan Arifin menggabungkan uang mereka untuk jadi modal, dan sejak itu mereka mulai menjalankan bisnis baru. Usaha batik itu mulai berkembang setelah sekitar dua tahun, dan Ardi maupun Arifin mulai optimis akan kembali sukses... sampai kemudian ibu Arifin masuk rumah sakit.

Ibu Arifin harus dirawat di rumah sakit karena komplikasi, dan membutuhkan biaya sangat besar. Singkat cerita, untuk membantu ibunya, Arifin menggunakan uangnya—yang sebelumnya jadi modal usaha batik—untuk membiayai perawatan ibunya di rumah sakit. Ardi, sebagai rekan bisnis, tidak mempermasalahkan hal itu, karena menyadari Arifin butuh uang mendesak untuk keperluan yang benar-benar penting.

Ketika Arifin menarik uangnya untuk biaya rumah sakit, artinya usaha batik mereka kehilangan modal dalam jumlah setengahnya. Bagi usaha kecil, itu berdampak sangat besar, karena “uang tidak bisa mutar”. Dalam bisnis batik rintisan, sering kali barang dijual dengan sistem konsinyasi, dan uang baru masuk setelah barang lain dikirimkan. Dengan modal yang tersisa—hanya milik Ardi—bisnis batik itu akhirnya stuck, karena tidak bisa lagi berproduksi, sementara uang yang mestinya masuk tertahan karena sistem tadi.

Akhirnya, bisnis batik itu pun berhenti. Sampai sekarang.

Belakangan, ibu Arifin pulih dari sakitnya, dan kembali sehat, meski harus rutin minum obat. Namun, Arifin maupun Ardi tidak bisa melanjutkan usaha mereka. Keduanya sama-sama kehabisan uang.

Sampai di sini, sebenarnya tidak ada masalah. Hubungan pertemanan Ardi dan Arifin tetap baik, dan keduanya saling memaklumi, tidak ada yang saling menyalahkan. Tetapi, ada sesuatu yang membuat mereka sakit hati, dan itulah topik obrolan kami kali ini....

Siang itu, di teras rumah Ardi yang adem dan silir-silir, Arifin berkata, “Menurut kalian, baik mana; orang yang hidupnya naik turun kayak kita, atau orang yang hidupnya datar-datar saja?”

Saya menjawab, “Kalau soal baik mana, kayaknya tergantung orang per orang, sih.”

“Maksudnya?” tanya Ardi.

Saya menjelaskan, “Orang kan beda-beda. Ada yang suka tantangan, ada yang suka stabilitas. Orang yang suka tantangan biasanya senang mencoba usaha tertentu, kadang sukses kadang gagal, ada fase naik turun. Sementara orang yang suka stabilitas biasanya lebih suka kerja di suatu tempat—misal jadi karyawan di perusahaan yang stabil—dan terus bekerja di sana sampai pensiun. Karena ada gaji jelas, ya hidupnya stabil, nggak ada naik turun, tapi ya gitu-gitu aja. Mana yang lebih baik? Kalau menurutku ya baik semua, sih, tergantung selera orang per orang.”

“Intinya sama-sama cari rezeki, ya,” ujar Ardi, “mau jadi karyawan atau bikin usaha sendiri, ya terserah masing-masing.”

Arifin berkata, “Almarhum bapakku dulu juga gitu. Dulu, bapak pernah cerita, sejak lulus SMA sampai akhirnya pensiun, dia kerja di tempat yang sama. Ya memang hidup kami sekeluarga jadi stabil, sih. Tapi ya gitu-gitu aja. Ibu kadang terpaksa harus ngutang untuk kebutuhan mendadak, lalu bayarnya pakai gaji bapak bulan berikutnya. Bisa dibilang keluarga kami nggak pernah kaya, tapi juga nggak miskin-miskin amat, karena bapak selalu dapat gaji bulanan yang jelas.”

Saya bertanya, “Kamu sendiri lebih suka yang mana, Pin? Hidup stabil tapi gitu-gitu aja, atau punya usaha sendiri yang kadang sukses dan kadang gagal?”

Arifin nyengir, “Ya kalau boleh, sih, hidup stabil tapi nggak pernah kekurangan. Hahaha...”

Saya ikut tertawa, “Kayaknya itu harapan semua orang, sih.”

Ardi lalu berkata serius, “Tempo hari, aku sama Ripin (maksudnya Arifin) ngobrol soal ini. Kami sama-sama sadar, orang hidup kadang naik turun, orang punya usaha kadang sukses kadang gagal. Bagi kami, itu biasa-biasa aja, wong kita sama-sama mengalaminya, kan. Cuma, kadang ada yang ngomong seenaknya kalau orang berbisnis terus gagal, karena nggak pernah sedekah dan nggak bayar zakat. Sekali dua kali mungkin kami masih anggap biasa aja, tapi lama-lama kami kayak sakit hati karena terus menerus dengar hal yang sama.”

Saya bertanya, “Emang ada yang nuduh kalian gitu?”

Arifin menjelaskan, “Di mushala sama masjid sini kan sering ada acara pengajian, dan suaranya dikeraskan toa. Nah, ustaz yang ngisi pengajian itu suka ceramah yang isinya kayak mendiskreditkan orang seenaknya. Misal kayak yang dibilang Ardi tadi, orang yang berbisnis terus gagal dituduh nggak pernah sedekah, nggak pernah zakat, dan lain-lain. Padahal, bukan bermaksud riya’, nih, kami dulu ya sering sedekah, rutin berzakat. Fakta bahwa usaha kami belakangan bangkrut ya karena emang kondisinya gitu. Usaha kain ATBM emang udah nggak musim, sementara usaha batik kami terhenti karena modal usahaku dipakai buat biayain pengobatan ibu.”

Saya berujar, “Ustaz atau penceramah yang ngomong gitu mungkin nggak tahu dunia usaha kayak apa, jadinya ngambil kesimpulan yang belum tentu benar.”

Ardi menimpali, “Ya mereka emang kayaknya nggak punya usaha atau bisnis apapun, jadinya nggak tahu kalau hidup bisa naik turun, bisnis bisa sukses juga bisa bangkrut.” 

Saya berkata perlahan, “Jangankan orang-orang kayak kita, bahkan pebisnis kelas dunia aja bisa bangkrut, kok. Donald Trump itu jatuh bangun berkali-kali. Sukses jadi miliuner, lalu bangkrut dan miskin. Lalu bangkit lagi, dan jatuh lagi. Steve Jobs juga gitu. Padahal dia seorang genius. Tapi kehidupan dan bisnisnya juga naik turun. Larry Ellison, yang masuk daftar orang terkaya dunia, juga gitu. Dia berawal dari kemiskinan, lalu naik, sukses, jatuh bangkrut dan miskin lagi, lalu naik lagi, sampai belakangan jadi salah satu orang terkaya dunia. Itu sekadar contoh yang aku tahu, ya. Tentu ada lebih banyak orang kayak mereka.” 

Saya mengisap rokok sesaat, lalu melanjutkan, “Kalau kita mau ngomong ngablak, coba lihat Jeff Bezos, yang jadi orang terkaya di dunia. Apa dia kenal konsep zakat dan sedekah? Nggak! Elon Musk, yang juga orang terkaya dunia—apa kita pernah dengar dia bagi-bagi zakat? Nggak! Begitu pula orang-orang terkaya dunia lainnya—sama-sama nggak kenal konsep zakat. Ini bukan berarti kita menganggap zakat dan sedekah itu nggak penting. Ini sekadar ilustrasi bahwa sukses dan gagalnya usaha seseorang tidak mesti karena berkaitan dengan apakah dia berzakat atau nggak, apakah dia bersedekah atau nggak. Usaha bisa sukses atau gagal karena berbagai faktor, termasuk faktor nggak terduga, kayak kalian yang terpaksa bangkrut karena Ripin butuh uang untuk pengobatan ibunya.”

Arifin menyahut, “Karena itulah, lama-lama kami jadi kayak sakit hati, kalau dengar ceramah yang aku ceritain tadi. Dikit-dikit karena nggak sedekah, dikit-dikit karena nggak zakat. Wong kami yang menjalani, tapi mereka merasa kayak lebih tahu, dan nggak nyadar kalau omongannya bisa melukai perasaan orang-orang kayak kami.” 

Setelah terdiam sesaat, Arifin melanjutkan, “Jujur aja ya, sampai sekarang aku masih ngerasa bersalah sama Ardi, karena dulu terpaksa meminta uangku buat pengobatan ibu, dan itu berdampak pada usaha kami yang akhirnya terhenti. Aku juga sedih, karena usaha kami berakhir bangkrut. Tapi tiap kali melihat ibuku, yang kini sehat, rasa sedihku akibat bangkrut terasa terobati. Seenggaknya, usahaku bangkrut karena membantu ibuku agar sehat kembali. Bagiku nggak apa-apa. Usaha bisa dirintis lagi, tapi ibu hanya satu-satunya.”

Ardi menimpali, “Nah, orang-orang yang ngoceh seenaknya itu apa ngerti hal-hal kayak yang dialami Ripin? Seorang anak bersedia bangkrut demi menyelamatkan ibunya, lalu orang enak aja ngomong kalau usaha bangkrut karena nggak sedekah atau nggak zakat...”

Tepat saat Ardi mengatakan kalimat itu, ibu Arifin tampak melangkah dari jauh, dan sepertinya menuju ke arah kami. Sesaat kemudian, dia berdiri di depan halaman rumah Ardi, lalu berkata pada Arifin, “Pin, obat yang kemarin kok udah habis, ya. Ini jadwal Ibu minum obat...”

Arifin bangkit dari duduknya, lalu berkata pada kami, “Aku tinggal dulu, ya.”

Sesaat kemudian, Arifin dan ibunya melangkah bersama meninggalkan halaman rumah Ardi. Saya dan Ardi memandangi mereka, sampai keduanya menghilang di kejauhan. 

Pohon di halaman masih mengirim angin silir-silir.

Related

Hoeda's Note 4644469316438787439

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item