Nyangkruk, Leyeh-leyeh, Sambil Udud

Ilustrasi/pixabay.com
Minggu siang kemarin, saya dolan ke rumah Ardi, dan kami lalu nyangkruk di teras rumahnya yang adem. Menikmati angin silir-silir di sana rasanya sangat mendamaikan.

Rumah Ardi adalah tipe rumah kuno yang punya halaman luas, dengan pohon besar, hingga duduk di teras rasanya adem karena ada semilir angin. Rumah itu milik orang tuanya. Dua kakak Ardi telah menikah dan tinggal di rumah masing-masing. Setelah orang tua meninggal, kakak-kakaknya meminta Ardi menempati rumah orang tua mereka. Sampai sekarang, dia tinggal sendirian di sana.

Siang itu, saat kami baru duduk di teras rumahnya, ponsel Ardi menyalakan alarm. Dia lalu bangkit, dan berkata, “Sori, aku mau matiin kompor dulu.”

Sesaat kemudian, dia kembali, dan berkata, “Aku sering kelupaan kalau lagi masak air. Beberapa kali, air di panci sampai habis gara-gara lupa matiin kompor.”

“Bisa bahaya itu,” sahut saya.

“Makanya, aku sering kesel sama diri sendiri kalau pas kelupaan gitu. Rasanya dongkol, karena udah borosin air, borosin gas, tapi hasilnya sia-sia. Jadi sekarang aku setel alarm tiap masak air, biar nggak kelupaan.”

Ardi berlangganan air galon untuk kebutuhan minum sehari-hari—air mentah yang harus dimasak terlebih dulu sebelum dikonsumsi. Kenapa tidak pakai air galon yang bisa langsung diminum, tanpa harus dimasak terlebih dulu? “Mahal,” kata Ardi.

“Apa-apa mahal, sekarang,” ujar Ardi siang itu. “Nyari duit makin sulit, harga barang-barang kebutuhan makin mahal. Kamu ngerasain gitu juga, Da’?”

“Ya ngerasain, lah,” saya menjawab. “Kalau ketemu teman-teman kita yang lain, rata-rata juga sambat hal yang sama. Kayaknya kondisi ekonomi saat ini emang lagi nggak baik. Seperti katamu, nyari duit makin sulit, harga-harga barang terus naik.”

Saya meluruskan kaki, lalu duduk menyandar ke tembok, menikmati angin silir-silir. Setelah menyesap minuman di gelas, saya menyulut rokok.

Ardi melakukan hal yang sama, lalu berkata, “Untung ada rokok-rokok baru yang harganya cukup murah.” Setelah itu dia menyalakan rokoknya.

Saya melihat bungkus rokok Ardi—warnanya kuning menyala, dan mereknya ON. Saya berkata, “Itu rokok tapi rasanya teh, ya?”

“Tul. Kamu juga pernah ngerokok ini?” 

“Tempo hari, aku dolan ke rumah teman—dia seorang pemulung, kamu kayaknya nggak kenal—dan dia ngerokok itu. Harganya cukup murah, katanya. Karena penasaran, aku ikut nyoba. Rasanya lumayan enak, sih.”

Ardi tampak tertarik. “Kamu punya teman seorang pemulung?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Dulu, waktu masih hidup di jalan, aku kenal dia. Kami masih sama-sama SMP, waktu itu. Karena sering ketemu, akhirnya jadi akrab. Sampai sekarang.” 

“Omong-omong soal pemulung,” kata Ardi, “kerjaan yang nggak ada sepinya mungkin pemulung, ya?”

“Kayaknya nggak juga,” saya menjawab, “soalnya pas aku ngobrol sama temanku tadi, dia juga ngeluh hal yang sama. Menurutnya, banyak orang sekarang eman-eman kalau mau buang barang yang bisa dikilokan. Jadi, daripada dibuang, mending diloakkan, dapat duit. Memulung sekarang nggak semudah dulu, katanya. Dulu setengah hari udah dapat sekarung. Kalau sekarang, nyari barang sekarung harus keliling seharian.”

Ardi manggut-manggut. “Ajib, ya. Bahkan kerjaan memulung pun ikutan sepi.”

“Emang kayaknya saat ini lagi musim sepi, Ar. Makanya banyak orang sampai nekat minjam duit ke pinjol. Mungkin karena saking butuh, sementara kerja sekarang makin sepi, nyari duit makin susah.”

Angin berembus, dan kami merasakan semilir yang menenangkan. 

Ardi bercerita, “Sekitar tiga bulan lalu, aku ke Tangerang, karena ada ajakan kerja. Waktu itu aku mikirnya langsung kerja, gitu. Ternyata mereka baru rencana, dan minta aku datang buat membahas soal itu. Sebenarnya wajar, sih. Cuma, aku jadi bingung, karena aku ke sana dengan duit pas-pasan, tapi bisa dibilang nggak ada hasil apa-apa. Sejak itu, kalau ada tawaran lagi yang lokasinya jauh, aku mikir-mikir. Takutnya udah bela-belain datang jauh-jauh, ternyata zonk lagi.”

Saya mengangguk. “Hal-hal kayak gitu mungkin nggak terpikir oleh orang-orang yang nggak kekurangan duit. Aku juga sering dapat ajakan ketemuan, tapi tempatnya jauh. Sebenarnya nggak masalah. Asal tujuannya jelas, aku mau aja datang. Masalahnya, mereka yang ngajak ketemuan itu nggak jelasin apa tujuannya, sementara aku harus buang waktu, energi, biaya. Padahal, andai mereka mau jelasin tujuannya, aku mau aja datang. Tapi kalau harus pergi jauh untuk sesuatu yang nggak jelas, rasanya kok enggan.”

Hal penting dari bercakap-cakap dengan teman dekat adalah; kita bisa bicara apa adanya, dan menjadi diri sendiri. Karenanya, sering kali tempat curhat dan tempat sambat kita adalah teman dekat. Karena mereka mendengarkan dengan empati, memahami tanpa menghakimi, dan bisa saling bertukar resah untuk meringankan beban pikiran.

Ketika saya dan Ardi masih asyik ngobrol, Arifin—tetangga Ardi—kebetulan lewat. Saat menengok ke arah kami, dia tersenyum lebar. “Da’, kok baru kelihatan?”

“Kelihatan terus,” sahut saya, “penglihatanmu aja yang ketutup dosa.”

Ardi dan Arifin tertawa. 

Dulu, karena sering dolan ke rumah Ardi, saya mengenal beberapa tetangga Ardi, khususnya yang sebaya kami, salah satunya Arifin. Kami jadi akrab, dan sering nyangkruk bareng. Siang itu, saat melihat saya di rumah Ardi, Arifin pun ikut nyangkruk.

“Lama sekali nggak lihat kamu,” ujar Arifin pada saya. “Kangen guyonmu yang sinting kayak dulu.”

“Kamu mau kemana, Pin?” tanya saya.

“Mau beli rokok.”

Ardi menyodorkan rokoknya. “Ini aja, rokok tapi rasanya teh.”

Arifin mengambil sebatang, dan berujar, “Ada-ada aja ya, rokok sekarang. Kemarin lihat ada rokok rasa buah-buahan. Ada juga rokok rasa cokelat. Sekarang rokokmu rasa teh. Kenapa kamu nggak minum teh aja, Ar?”

Ardi tertawa. “Ya beda, lah. Meski sama-sama teh, ini rokok, bukan minuman.”

Arifin menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, dia berkata, “Iya, rasanya kayak teh.”

Kami lalu bercakap-cakap santai, sambil sesekali cekikikan, sementara angin berembus menenangkan. Duduk leyeh-leyeh sambil nyangkruk dan udud, setidaknya bagi saya, semacam refresing yang menyenangkan. Seperti rehat sejenak dari kerasnya hidup, dari sulitnya ekonomi, dari banyaknya beban dan masalah sehari-hari.

Di sela-sela percakapan, Arifin berkata pada saya, “Mumpung ingat, kamu lagi butuh motor trail?”

“Nggak,” saya menjawab, “aku butuhnya duit.”

“Serius, nih,” ujar Arifin, “ada temanku yang mau jual motor trail miliknya. Belum ada setahun, kondisi masih kayak baru. Siapa tahu kamu minat.”

Saya bertanya, “Kenapa kok motornya mau dijual, padahal masih baru?”

“Butuh duit, katanya.”

Saya tertawa. “Ya sama, kalau gitu. Aku juga butuh duit.”

Sambil leyeh-leyeh dan menikmati udud, Ardi berkata, “Da’, kamu kan suka nulis obrolanmu sama teman-teman, ya. Aku baca tulisanmu saat ngobrol sama Adit, Nopang, Rusli, juga Deni. Kira-kira, obrolan kita bakal ditulis, nggak?”

“Kayaknya nggak,” jawab saya. 

“Lhah, kenapa?”

Saya nyengir, “Wong obrolan kita nggak mutu sama sekali.”

Ardi tertawa. “Ya ditulis, lah, biar sama kayak teman-teman yang lain. Sekali-sekali biar aku masuk tulisanmu.”

Arifin nimbrung, “Aku juga dimasukin, Da’.”

Saya ngikik. “Siap!”

Jadi, saya pun menulis catatan ini.

Related

Hoeda's Note 1697317300672317065

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item