Dua Sisi
https://www.belajarsampaimati.com/2023/12/dua-sisi.html
Ilustrasi/kompasiana.com |
Haiti dan Republik Dominika adalah dua negara bertetangga. Wilayah mereka saling menempel, hanya dibatasi patok negara, persis Indonesia dan Malaysia. Meski bertetangga dan wilayah mereka saling menempel, nasib Haiti dan Republik Dominika jauh berbeda, bagai langit dan bumi.
Di Haiti, berbagai bencana datang silih berganti, dari wabah penyakit sampai bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Sementara di Republik Dominika, hampir tidak pernah ada bencana, dan masyarakatnya hidup dengan aman tenteram. Bagaimana bisa terjadi, padahal dua negara itu berdiri di atas wilayah berdekatan, bahkan bersisian?
Jawabannya mungkin terdengar pahit.
Haiti adalah negara miskin. Sebegitu miskin, hingga rakyat Haiti harus menebang pohon untuk memasak. Mereka tidak mampu membeli gas. Jadi mereka menebangi pohon untuk dijadikan kayu bakar. Hal itu berlangsung dari waktu ke waktu, tahun demi tahun, hingga pohon-pohon di Haiti terus berkurang, bahkan nyaris habis.
Akibatnya mengerikan. Semakin banyak pohon ditebangi, semakin banyak bencana berdatangan. Di mana pun, pohon berfungsi menjaga kestabilan tanah, menyerap air hujan, sekaligus membersihkan udara.
Rakyat Haiti menebangi pohon-pohon di wilayah mereka karena butuh kayu bakar. Akibatnya, ketika hujan turun dan air sungai meluap, tak ada lagi pohon yang menyerap. Akibatnya, banjir melanda kapan saja. Tapi rakyat Haiti masih terus menebangi pohon-pohon, karena bagaimana pun mereka butuh masak dan butuh kayu bakar. Hasilnya, tanah-tanah rentan longsor karena tidak ada lagi pohon yang menahan, dan itulah yang lalu terjadi.
Selain banjir dan tanah longsor, Haiti juga menghadapi bencana berupa penyakit. Tidak mengherankan, karena udara di sana sangat kotor, akibat tidak ada pohon-pohon yang memurnikan udara. Seperti kita tahu, pohon menyerap karbondioksida dan mengubahnya jadi oksigen, yang kemudian digunakan manusia untuk bernapas. Ketika pohon-pohon ditebangi, tidak ada lagi yang mengubah karbondioksida jadi oksigen, dan berbagai penyakit mudah datang.
Hal berbeda terjadi di Republik Dominika, yang jadi tetangga Haiti. Di Republik Dominika, rakyatnya hidup sejahtera. Pemerintah negara itu juga menerapkan aturan tegas terkait pemeliharaan alam, yang salah satunya larangan menebang pohon sembarangan. Ekosistem hutan mereka terjaga, jauh berbeda dengan hutan-hutan di Haiti yang gundul.
Masyarakat Republik Dominika mematuhi aturan itu—tidak menebangi pohon sembarangan—karena hidup mereka sejahtera. Sementara di Haiti, larangan menebangi pohon tidak dipatuhi, karena rakyat yang lapar hanya butuh makan, dan persetan dengan aturan!
Dari Haiti dan Republik Dominika, sekarang kita terbang ke Jakarta.
Di Jakarta, ada kompleks perumahan yang unik, yaitu dua kompleks perumahan yang saling menempel, tapi memiliki pemandangan berbeda. Satu perumahan ditujukan untuk kalangan menengah ke atas, satu lagi ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Perumahan yang ditujukan untuk menengah ke atas—sebut saja Perumahan A—berbentuk cluster. Sementara perumahan untuk kalangan menengah ke bawah—sebut saja Perumahan B—berbentuk perumahan biasa.
Rumah-rumah di Perumahan A terlihat bagus-bagus, sekaligus luas, khas perumahan kalangan menengah ke atas. Sementara rumah-rumah di Perumahan B terlihat mungil-mungil dan tampak biasa, khas perumahan kalangan menengah ke bawah. Sebenarnya itu hal biasa, dan tidak masalah. Yang tidak biasa adalah... Perumahan A bebas banjir, sementara Perumahan B sering dilanda banjir!
Bagaimana keanehan semacam itu bisa terjadi?
Dua perumahan itu sama-sama ada di Jakarta, di wilayah yang sama-sama kerap dilanda banjir, dan kedua perumahan itu berdekatan, saling menempel. Tapi kenapa Perumahan A bisa terbebas dari banjir, sementara Perumahan B kerap dilanda banjir?
Jawabannya mungkin terdengar pahit.
Developer yang membangun kompleks Perumahan A, yang ditujukan untuk kalangan menengah ke atas, benar-benar memikirkan tata bangunan hingga saluran air dengan sangat cermat, untuk memastikan kompleks perumahan itu terbebas dari banjir. Hasilnya, ketika hujan turun, air langsung meresap ke tanah dan masuk ke saluran air yang telah disiapkan. Bahkan ketika air meluap, saluran air di Perumahan A dapat menampung luapan air, hingga kompleks perumahan benar-benar terbebas dari banjir.
Mengapa developer Perumahan A memikirkan tata bangunan hingga saluran air secermat itu? Jawabannya sederhana, karena rumah di kompleks itu dijual dengan harga mahal, hingga developer memastikan pembeli rumah benar-benar puas tinggal di sana.
Hal berbeda terjadi pada kompleks Perumahan B, yang ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Sejak awal membangunnya, developer sudah menyadari bahwa perumahan itu akan dijual dengan harga relatif murah.
Dengan harga rumah yang murah, pihak developer tidak bisa berbuat banyak. Bahan-bahan bangunan dipilih yang murah, sementara tata perumahan dan saluran air tidak terlalu dipedulikan. Bagaimana pun, developer juga tidak ingin merugi. Jadi mereka membangun kompleks perumahan yang sekiranya bisa dijual dengan harga murah, dan tetap menghasilkan untung.
Dan itulah yang kemudian terjadi. Ketika hujan turun lebat, Perumahan B rentan banjir, karena tata bangunan di kompleks yang tidak maksimal, sementara saluran air tidak memadai. Hasilnya, ketika air meluap, Perumahan B digenangi banjir.
Dua kompleks perumahan yang saya ceritakan ini pernah viral, dan foto-fotonya ramai dibicarakan di Twitter maupun Instagram. Waktu itu Jakarta sedang dilanda banjir, dan penduduk di Perumahan A maupun Perumahan B sama-sama mengunggah foto kompleks perumahan mereka.
Penduduk Perumahan A mengunggah foto sedang berbaring santai di sisi kolam renang pribadinya, dan lahan luas di sekelilingnya tampak kering, sama sekali tidak banjir. Sementara penduduk Perumahan B mengunggah foto sedang berdiri di depan rumahnya, dengan kaki terbenam air, dan seluruh kompleks perumahan itu tampak digenangi banjir.
Benar-benar pemandangan yang kontras, dan luar biasa!
Yang terjadi di Haiti dan Republik Dominika tentu tidak bisa dibilang simetris dengan yang terjadi pada dua perumahan di Jakarta, karena keduanya memiliki latar belakang berbeda. Tetapi, setidaknya, kita melihat sesuatu di sini, bahwa dunia ini mengandung dua sisi, dan bahwa keadilan—atau ketidakadilan—kadang tidak dimulai dari pikiran... tapi dimulai sejak kita dilahirkan.