Takdir dan Pilihan

Ilustrasi/tamasia.co.id
Bertahun-tahun lalu, seorang motivator berkata dengan yakin, “Jika kita mengatakan hidup ini berat, cobalah pikirkan... dibandingkan dengan apa?”

Kalimat itu terdengar hebat, bahkan seperti mengandung kebenaran mutlak. Motivator itu pun tentu menyatakan kalimat tersebut dengan maksud baik, agar kita tidak mudah mengeluh. Dia memberi motivasi, semangat, agar orang selalu tabah. Jadi, dia menantang setiap orang, “Jika kita mengatakan hidup ini berat, cobalah pikirkan... dibandingkan dengan apa?”

Sampai bertahun-tahun sejak kalimat itu diucapkan, tidak ada orang yang bisa menjawab, “... dibandingkan dengan apa?” Jangankan menjawab, kalimat sang motivator bahkan disebarkan ke mana-mana, viral di berbagai media sosial, dan mungkin telah memotivasi banyak orang untuk tidak mengeluh. Karena, kalau hidup ini berat... dibandingkan dengan apa? 

Benar-benar ajaib, tidak seorang pun bisa menjawab.

Padahal, jawabannya sederhana, bahkan sangat sederhana!

“Jika kita mengatakan hidup ini berat, cobalah pikirkan... dibandingkan dengan apa?”

Ini jawabannya, “Dibandingkan hidup yang mudah!”

Sungguh mengherankan, kata-kata yang disusun dengan tepat dan terdengar hebat bisa membungkam banyak otak untuk berpikir.

Motivasi itu penting, tetapi menatap realitas secara objektif tak kalah penting. Bahwa hidup kadang berat, memang iya! Itu realitas, tak perlu disangkal. Dan karena ada hidup yang berat, tentu ada hidup yang mudah. Karena segala hal dalam kehidupan memang berpasangan. Jadi, tidak apa-apa menyadari bahwa hidup sesekali memang berat. Bahkan, kesadaran itu dapat menuntun kita untuk mengenali, menyadari, hingga menemukan hidup yang [lebih] mudah.

Disadari atau tidak, orang memang kadang memilih hidup yang berat. Orang-orang itu menyadari kehidupan yang dijalani sungguh berat, tapi mereka tidak mau keluar dari hidup yang berat, dan terus menjalani. Bisa jadi, orang-orang itu terpengaruh mantra sang motivator, “Kalau hidup ini berat, dibandingkan dengan apa?” Maka mereka pun tidak berubah, dan tetap menjalani kehidupan yang berat.

Mestinya, orang menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk memilih. Memilih hidup yang berat, atau memilih hidup yang mudah. Karena hidup adalah soal pilihan. Jika memang saat ini menjalani hidup yang berat, setidaknya kita akan berusaha keluar dari zona tersebut, untuk kemudian masuk pada hidup yang [lebih] mudah. Tanpa kesadaran semacam itu, kita akan tetap berkubang dalam hidup yang kita anggap berat, tapi tidak mau melakukan apa pun.

Mungkin yang saya ocehkan terdengar absurd dan tidak jelas. Karenanya, untuk lebih menjelaskan yang saya maksud, sekarang saya ingin bercerita tentang tempat-tempat paling berat di dunia, yang mungkin belum pernah kalian dengar.

Di Norwegia, ada sebuah kota bernama Longyearbyen. Jika kalian belum pernah mendengar kota ini, wajar saja, karena kenyataannya memang tidak terkenal. Kalau pun pernah mendengar, kemungkinan besar kalian tidak ingin ke sana!

Kota Longyearbyen terletak jauh di bagian utara Norwegia. Jadi, kalau kita ke Norwegia, lalu pergi ke utara hingga paliiiiiiiiiiiing ujung, di situlah Kota Longyearbyen. Karena letaknya di ujung dunia, Longyearbyen sangat tidak nyaman dihuni. Di sana sama sekali tidak ada matahari dari bulan Oktober sampai Februari. Sinar matahari baru muncul pada Maret sampai September, lalu hilang lagi.

Dalam setahun, Longyearbyen hanya menikmati sinar matahari selama enam bulan. Setelah itu, enam bulan berikutnya, kota gelap gulita, persis malam hari. Keberadaan serta fenomena di Kota Longyearbyen juga secara tak langsung menjelaskan kalau bumi memang berbentuk bulat, bukan datar seperti diklaim sebagian orang.

Meski keadaan di sana sangat tidak nyaman, kota itu dihuni banyak orang. Mereka menyadari kehidupan di sana berat, tapi mereka telah terbiasa. Mungkin mereka mengeluh, tapi mungkin pula mereka mencoba mendamaikan diri, dengan berkata, “Kalau hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?” Jadi, mereka pun tetap di sana, dan mungkin tidak menyadari ada banyak tempat lain yang lebih nyaman dihuni.

Dari Norwegia, sekarang kita terbang ke Afrika.

Di Afrika, ada sebuah kota bernama Arica, dan kota ini bersebelahan dengan Gurun Atacama yang tandus. Di seluruh daratan Afrika, Arica adalah kota yang sangat, sangat kering. Sebegitu kering, hingga mayat yang dikubur di sana tidak membusuk. Mayat-mayat itu hanya berubah perlahan menjadi mumi yang keriput.

Sebenarnya, Arica memiliki tingkat kelembapan yang cukup tinggi, dan sering tertutup awan. Namun, meski udara cukup lembap, kelembapan itu tidak cukup untuk menghasilkan hujan. Gurun Atacama yang berada di sekitarnya menghilangkan kelembapan dari udara, dan awan yang ada di sana hanya membawa udara kering ke gurun. Beberapa tempat di gurun ini bahkan tidak pernah menerima hujan selama lebih dari 500 tahun!

Jadi, kita bisa membayangkan sekering apa kawasan itu. Arica jelas bukan tempat yang ramah untuk dihuni. Meski begitu, terdapat setidaknya 200.000 orang yang mendiami tempat tersebut.

Apakah orang-orang Arica mengeluh, karena kotanya sangat panas? Mungkin, ya. Tetapi, mungkin pula, mereka mencoba memotivasi diri, “Kalau hidup di kota ini berat... dibandingkan dengan apa?”

Sebenarnya, jawabannya sangat jelas, kan? Dibandingkan dengan Bandung, misalnya. Atau Bogor. Atau setidaknya Malang, yang tentu jauh lebih adem dibanding di sana. Tapi mungkin orang-orang Arica tidak tahu Bandung, tidak tahu Bogor, apalagi Malang. Karena pengetahuan terbatas, pilihan pun terbatas. Akibatnya, meski tempat tinggal mereka sangat kering dan tidak menyenangkan, mereka bertahan. Meski menyadari hidup sangat berat, mereka merasa tak punya pilihan.

Berkebalikan dengan Arica yang panas dan luar biasa gersang, ada kota di Rusia yang memiliki kondisi sebaliknya. Namanya Kota Archangelsk. [Bahkan menyebut nama kota ini pun rasanya sudah berat!]

Archangelsk adalah kota pelabuhan di bagian utara Rusia, dan merupakan kota yang sangat, sangat dingin. Sebegitu dingin, hingga apa pun nyaris membeku di sana. Yang ajaib, kota ini dihuni sekitar 400.000 orang, dan penduduk yang tinggal di sana bisa dibilang selalu hidup sambil menggigil. Ketika musim dingin tiba, semua sekolah di sana libur. Karena, kalau tetap buka, dan anak-anak sekolah tetap berangkat, hampir bisa dipastikan mereka akan mati membeku di jalan.

Ketika musim dingin, udara di Archangelsk begitu menusuk tulang. Sebagai ilustrasi, jika kita memakai kacamata di sana pada musim dingin, kacamata itu akan melekat (membeku) ke wajah, hingga sulit dilepas. 

Memang, di Archangelsk ada musim panas, tapi sangat singkat. Karenanya, seperti yang disebut tadi, penduduk Archangelsk bisa dibilang menjalani hidup sambil menggigil. Bisakah kita membayangkan kehidupan semacam itu? Mungkin bisa, wong paling membayangkan. Tapi bersediakah kita menjalani kehidupan semacam itu? Kemungkinan besar tidak! Kenapa? Karena berat!

Orang-orang yang tinggal di Archangelsk juga menyadari hidup di sana sungguh berat. Setiap hari, setiap saat, tubuh terus menggigil. Kita yang mendapat hujan sesekali saja sudah meriang, apalagi menggigil kedinginan saban hari? Jelas, kehidupan di Archangelsk sangat berat, dan bukan hanya kita yang menyadari, tapi juga penduduk di sana.

Tetapi, mungkin, penduduk Archangelsk mencoba tabah, dan membesarkan hati dengan kata-kata penuh motivasi, “Kalau hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?” Karena mereka berpikir seperti itu, mereka pun menutup pilihannya sendiri. Mereka tidak menyadari sebenarnya punya pilihan, untuk hidup di tempat yang lebih ramah, dan tidak harus kedinginan setiap saat. Tetapi... “kalau hidup ini berat, dibandingkan dengan apa?”

Orang-orang sering tidak menyadari bahwa mereka diberi karunia bernama pilihan. Ketertutupan pikiran pada keberadaan pilihan dapat disebabkan banyak hal. Karena tidak tahu, karena tidak mampu, karena terpengaruh lingkungan, karena doktrinasi, atau karena hal lain. Intinya, pikiran sudah tertutup untuk melihat pilihan, sehingga—mau tidak mau—mereka tetap memilih dan menjalani yang telah ada, tanpa sempat berpikir bahwa mereka sebenarnya bisa pindah.

Orang yang tidak mampu memilih masih lebih baik, karena setidaknya dia tahu bisa memilih. Namun, kondisi atau situasi tertentu mungkin menjadikannya tidak mampu memilih. Sekali lagi, itu masih lebih baik, daripada sama sekali tidak tahu bahwa orang bisa memilih. 

Ada banyak orang yang menjalani hidup semacam itu—tanpa pilihan, dan tidak tahu bahwa mereka bisa memilih.

Seperti orang-orang di Longyearbyen, Norwegia. Tinggal di tempat yang selalu gelap tanpa matahari tentu bukan kehidupan menyenangkan. Tetapi, bisa jadi, mereka lahir di sana, tumbuh besar di sana, dewasa di sana, dan sepanjang hidup hanya diberitahu bahwa kehidupan memang seperti itu. Gelap, dan hanya ada sedikit cahaya. Tanpa mereka sadari, mereka terdoktrinasi untuk percaya bahwa kehidupan memang seperti itu. Jadi, mereka tidak memilih. Karena, apa yang mau dipilih, kalau mereka tidak pernah diberitahu punya pilihan?

Begitu pula orang-orang yang hidup di Arica yang panas luar biasa, atau di Archangelsk yang dingin membekukan. Kita yang tidak tinggal di sana mungkin berpikir, “Kenapa mereka tidak mencoba pindah ke tempat lain, yang lebih ramah untuk dihuni?”

Kita bisa berpikir seperti itu... kenapa? Karena kita tidak tinggal di sana! Kita ada di luar, memiliki jarak dengan tempat itu, sehingga bisa berpikir lebih baik dan lebih objektif. Tetapi, orang-orang yang tinggal di sana mungkin tidak berpikir seperti kita, karena mereka tinggal di sana! Mereka lahir dan tumbuh besar di sana, dewasa di sana, dan diberitahu bahwa hidup memang seperti itu. Mereka pun lalu percaya bahwa hidup memang seperti itu. Dan kalau mereka sudah percaya, bahkan yakin, apa lagi yang mau dipertanyakan?

Hidup adalah soal pilihan. Tetapi, ada banyak orang yang tidak menyadari punya pilihan, karena mereka tidak pernah diberitahu punya pilihan. Jadi, jika kita berpikir hidup ini berat... dibandingkan dengan apa?

Jawabannya ada di luar sana.

Related

Hoeda's Note 3816368085929862216

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item