Menginap di Rumah Teman

Ilustrasi/kreasiart.id
Di antara kenangan zaman kuliah yang menurut saya menyenangkan adalah saat menginap di rumah teman, atau ada teman yang menginap di rumah saya. Dulu, waktu masih kuliah, sering ada teman yang dolan, lalu menginap di rumah saya. Di lain kesempatan, saya yang dolan ke rumah teman, dan menginap di rumahnya. 

Seiring waktu, juga seiring kesibukan masing-masing, intensitas pertemuan kami makin jarang, dan tidak ada lagi kisah menginap di rumah teman.

Dulu, salah satu teman yang kadang saya inapi rumahnya adalah Deni. Biasanya, saya dolan ke rumahnya, ngobrol sampai larut malam, lalu malas pulang, dan menginap. Biasanya pas malam Minggu, jadi paginya tidak bingung harus berangkat kuliah. Kali lain, Deni yang dolan ke rumah saya, dan menginap. Itu masa-masa yang menyenangkan.

Setelah tidak lagi kuliah, Deni dan saya masih berteman, tapi tidak lagi sampai menginap seperti dulu. Pertemuan kami juga tidak lagi seintens dulu, karena sama-sama sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tempo hari, kami tak sengaja bertemu pas makan malam, lalu ngobrol, dan Deni mengajak saya untuk menginap di rumahnya. “Sekalian mengenang masa dulu,” ujarnya.

Saya tanya, “Emang besok kamu nggak kerja?”

“Aku lagi selo sekarang,” jawabnya. “Makanya aku butuh teman ngobrol.”

Saya pun menerima tawarannya, dan benar-benar menginap di rumah Deni. Semalaman kami ngobrol, mengenang pertemanan yang telah terjalin lama, bersama teh hangat dan udud.

Konon, semakin dewasa, teman kita makin sedikit. Karena kita tidak lagi punya waktu sebanyak dulu, saat masih remaja. Jika sebelumnya kita bisa meluangkan waktu untuk—katakanlah—20 teman, seiring waktu jumlah itu makin berkurang, karena kita tidak bisa lagi meluangkan waktu untuk mereka semua. Di sisi lain, teman-teman kita juga mengalami hal sama, karena kesibukan masing-masing. Dari 20-an teman, bisa jadi yang masih sering ketemuan dengan kita tinggal 5 orang, atau bahkan lebih sedikit.

“Aku juga mengalami hal gitu,” ujar Deni malam itu, “Teman-teman yang dulu biasa dolan ke sini, sekarang kayak lenyap ditelan bumi.”

Saya tertawa. “Soalnya mereka udah pada nikah dan berkeluarga. Jadi waktu mereka juga udah sangat terbatas. Seharian bekerja, dan sisa waktu yang ada tentu dihabiskan bareng istri dan anak-anak mereka.”

“Iya, aku juga menyadari hal itu. Cuma, gara-gara itu, aku sempat dikira macam-macam sama tetangga.”

“Dikira macam-macam gimana?”

Deni menyulut rokok, mengisapnya sesaat, lalu menceritakan, “Jadi, dulu kan teman-teman kita sering banget dolan ke sini, malah kadang sampai menginap. Hampir saban hari selalu ada teman yang datang. Setelah kita nggak kuliah, makin jarang teman yang main ke sini, dan makin lama makin jarang. Ya karena mereka emang udah pada sibuk dengan hidupnya masing-masing, apalagi yang udah pada nikah. Gara-gara itu, ada tetangga yang nggosip, mengira kalau teman-teman nggak lagi main ke sini karena ada masalah, dan lain-lain. Padahal ya karena emang udah pada sibuk aja...”

Deni mengisap rokoknya kembali, lalu melanjutkan, “Aku tahu hal itu, waktu ada bapak-bapak tetanggaku yang sok nasihati tentang jadi teman yang baik, dan bla-bla-bla. Dia ngira kalau teman-teman nggak lagi main ke sini karena ada masalah sama aku, padahal ya karena kami udah pada dewasa, udah sibuk dengan urusan masing-masing, bahkan mereka udah pada nikah dan berkeluarga.”

“Soalnya kita masih lajang, Den,” sahut saya. “Tetanggamu, dan mungkin juga tetanggaku, lihatnya kita belum menikah, jadi mereka mungkin mengira teman-teman kita juga belum menikah. Mungkin pula mereka menganggap kita masih remaja kayak dulu, yang punya waktu untuk dolan ke rumah teman kapan aja. Padahal ya kita udah sibuk dengan urusan masing-masing, bahkan teman-teman yang berkeluarga udah nggak punya waktu buat main-main kayak dulu.”

“Kayaknya gitu,” kata Deni perlahan. “Wong kita yang masih sama-sama lajang aja sekarang jarang ketemu, karena kesibukan masing-masing, apalagi yang udah berkeluarga.”
 
Saya menyeruput teh di gelas, mengisap udud, lalu berkata, “Sebenarnya, aku sering ingin dolan mengunjungi teman-teman kita dulu. Tapi aku khawatir kalau nantinya bakal mengganggu mereka. Jangankan mengunjungi teman-teman yang udah nikah dan berkeluarga, wong ingin dolan ke tempatmu aja aku kadang mikir, jangan-jangan kamu lagi sibuk.”

“Untung tadi kita ketemu, ya,” ujar Deni sambil tertawa. “Kamu nggak terpikir untuk chat mereka, nanyain lagi sibuk apa nggak, dan ngasih tahu kalau kamu ingin dolan?”

“Dulu pernah nyoba gitu,” saya menjawab. “Aku pernah nge-chat seorang teman, bilang ingin dolan ke tempatnya, dan tanya apakah dia ada waktu. Di chat, dia bilang lagi selo, dan minta aku dolan ke tempatnya. Karena jawaban dia positif, aku datang ke tempatnya. Waktu sampai rumahnya, dia lagi repot menenangkan anaknya yang nangis nggak karuan, sementara istrinya kayak lagi suntuk. Sekitar setengah jam aku di sana, dan merasa nggak nyaman, karena kedatanganku kayaknya mengganggu. Kami sempat ngobrol waktu itu, tapi rasanya nggak senyaman kita ngobrol sekarang, karena dia juga harus membagi perhatian ke anaknya.”

“Aku pernah ngalamin yang lebih parah,” Deni berkata. “Awalnya sama kayak kamu. Aku nge-chat seseorang, tanya apakah dia lagi selo, dan bilang aku mau main. Dia bilang lagi selo, jadi aku pun datang ke tempatnya. Pas aku sampai rumahnya, ternyata dia lagi bertengkar sama istrinya. Uhm... bertengkarnya tuh sampai ngamuk-ngamuk, gitu. Jadi aku benar-benar bingung. Akhirnya aku pamitan, dan nggak berani main lagi. Sejak itu aku nyadar, kalau kita nge-chat teman yang udah berkeluarga, dan dia bilang lagi selo, bisa jadi itu sekadar ungkapan baik sesama teman. Bisa jadi dia sebenarnya lagi sibuk, lagi pusing, lagi nggak ada waktu, tapi nggak enak kalau nolak kita yang mau dolan.”

Saya mengangguk. Sambil nyengir, saya lalu berkata, “Omong-omong, kamu sekarang emang lagi selo, atau sekadar ngajak aku nginap di rumahmu padahal kamu lagi sibuk?”

Deni tertawa. “Ya enggak, lah! Aku emang lagi selo banget sekarang, makanya seneng kamu benar-benar mau dolan sampai nginap.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, lalu berkata, “Sejujurnya, aku sering kangen ngobrol kayak gini, Den. Cuma karena kita lama nggak ketemu, aku juga enggan mau dolan ke sini. Takutnya kalau mengganggu.”

“Kamu masih punya nomor hape-ku, kan? Kenapa nggak nyoba nge-chat?”

“Ya takutnya aku nge-chat kamu, terus kamu bilang lagi selo, tapi pas aku datang ternyata kamu lagi sibuk pacaran atau apa.”

Kami cekikikan.

“Omong-omong soal pacaran,” ujar Deni, “kamu benar-benar belum tertarik pacaran, atau emang belum nemu yang pas?”

Saya tersenyum. “Kayaknya obrolan kita mulai memasuki fase menegangkan. Aku perlu nyulut udud dulu, biar nggak deg-degan...”

Deni tertawa. 

Obrolan kami masih panjang dan menyenangkan.

Related

Hoeda's Note 6157248201607575108

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item