Makan Lesehan di Pinggir Jalan

Ilustrasi/istimewa
Pulang dari ruman teman, sekitar pukul 21.30, perut saya terasa lapar. Jadi, ketika melihat warung nasi uduk, saya pun berhenti, dan memesan nasi serta teh hangat. Warung itu di pinggir jalan yang tak terlalu ramai, ala kaki lima, dan menyediakan meja kursi serta tempat lesehan. Saya pilih yang lesehan, berhadapan langsung dengan jalan raya. 

Usai menikmati nasi uduk dan baru selesai mencuci tangan, sebuah motor tampak berhenti, lalu parkir di depan warung. Semula, saya pikir itu orang yang mau beli nasi uduk. Tapi dia melangkah ke tempat saya, dan, ketika saya mengangkat muka, ternyata dia Rizal.

Rizal adalah teman saya. Dia tersenyum, dan berkata, “Tadi, pas lewat sini, aku kayak lihat kamu. Karena penasaran, aku balik ke sini, ternyata bener kamu.”

Dia lalu duduk di samping saya, dan memesan teh.

Saya mengelap tangan dengan tisu, menyesap teh di gelas, lalu menyulut rokok. “Dari mana, Zal?”

“Dari rumah ortu,” jawab Rizal. “Kamu sendiri dari mana, kok makan di sini?”

“Barusan dari rumah teman, terus perut lapar, jadi mampir ke sini.”

Teh pesanan Rizal diantarkan. Dia menyesapnya, lalu menyulut rokok. Setelah itu dia bertanya, “Kamu nggak malu, makan di sini?”

“Kenapa malu?”

Rizal tampak ragu-ragu. “Uhm, maksudku, makan lesehan gini. Kalau orang lihat, kamu nggak malu?”

“Lhoh, makan kok malu?”

“Maksudku, makan di sini kan terbuka gini, ya. Orang-orang yang lewat kan bisa jadi nengok ke sini dan lihat kamu lagi makan. Kamu nggak malu?”

Saya jadi bingung. “Aku kan di sini cuma makan. Dan minum, dan udud. Nggak ngapa-ngapain yang menyalahi norma masyarakat. Jadi, kenapa harus malu?”

Rizal tampak ikut bingung. “Gimana ya ngomongnya? Maksudku gini, kan kadang ada orang-orang yang malu kalau diajak makan lesehan gini. Berarti kamu nggak termasuk yang kayak gitu, ya?”

Saya tertawa. “Ya nggak, lah. Wong makan kok malu.” Setelah mengisap rokok sesaat, saya melanjutkan, “Sebenarnya, aku justru menikmati. Habis makan, leyeh-leyeh sambil udud, dan melihat lalu lintas.”
 
Rizal mengangguk-angguk. “Gitu, ya.”

Saya bertanya, “Emang kamu sendiri nggak pernah makan lesehan gini?”

“Sejujurnya, belum pernah.”

Saya tersenyum. “Kamu perlu mencobanya sesekali.”

Rizal mengisap rokoknya, lalu berkata, “Nggak tahu kenapa, ya. Aku kalau mau makan di tempat lesehan gini tuh mikir, ntar gimana kalau ada yang lihat?”

“Emang kenapa kalau ada yang lihat?”

“Ya nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma, rasanya kayak malu, gitu.”

Saya tertawa. “Wong nggak kenapa-kenapa tapi kok malu.”

Rizal ikut tertawa.

Jalan raya di depan kami mulai tampak sepi, hanya sesekali kendaraan lewat. Penjual nasi uduk tampak duduk santai, mungkin melepas penat setelah sibuk melayani pembeli.

Rizal berkata, “Kalau boleh tahu, apa yang bikin kamu pede makan sendirian di lesehan pinggir jalan gini? Uhm, maksudku, gimana caranya biar aku juga pede dan nggak malu kalau makan di lesehan kayak gini.”

Saya menjawab, “Seperti yang aku bilang tadi, aku di sini nggak ngapa-ngapain. Aku cuma makan, lalu udud sambil leyeh-leyeh. Itu sesuatu yang biasa aja. Jadi, aku nggak punya alasan untuk malu.”

“Kalau itu kayaknya semua orang juga tahu, ya,” sahut Rizal. “Tapi kenapa banyak orang yang merasa malu makan di lesehan gini? Karena aku sendiri juga gitu.”

“Mungkin karena kamu memikirkan yang orang lain pikirkan?”

“Iya, kayaknya gitu.” Rizal tampak mau tersenyum. “Kira-kira kenapa, ya? Kenapa aku mikir gitu, dan merasa malu, tapi kamu nggak merasa gitu?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Aku nggak merasa atau mikir macam-macam saat makan di lesehan gini, karena sadar aku bukan siapa-siapa. Kalau misal ada orang lewat, terus nengok ke sini dan lihat aku lagi makan, mereka nggak tahu siapa aku. Wong mereka nggak kenal aku. Dan karena aku juga nggak kenal mereka, aku juga nggak peduli dengan isi pikiran mereka. Bahkan kalaupun ada orang kenal aku, dan lihat aku lagi makan di sini, ya nggak apa-apa. Emang kenapa? Wong nyatanya aku bukan siapa-siapa. Beda soal kalau misal aku orang terkenal, atau pejabat negara, atau artis yang dikenal banyak orang—makan lesehan kayak gini mungkin riskan. Tapi aku kan bukan siapa-siapa, jadi bebas aja mau makan di mana.”
 
Rizal mengangguk-angguk, lalu mengatakan, “Tapi kenapa ada orang-orang yang juga bukan siapa-siapa—kayak aku, misalnya—yang merasa malu kalau makan lesehan kayak gini? Jujur ya, aku nggak pede kalau datang ke sini sendirian, lalu makan lesehan berhadapan dengan jalan raya kayak gini.”
 
Saya kembali mengisap rokok, lalu berkata, “Aku pernah boncengin keponakanku. Dia cowok, baru SMP. Di perjalanan, aku sadar kalau dia nggak pakai helm—jadi helmnya dia pegang, nggak dipakai. Aku minta dia pakai helm, tapi menolak. Sampai akhirnya aku memaksanya, dan dia baru bersedia pakai helm. Coba tebak, kenapa dia nggak mau pakai helm?”

“Kenapa?” tanya Rizal.

“Karena dia mengira orang-orang melihatnya!” 

Rizal tampak bingung. “Maksudnya?”

“Jadi, keponakanku tadi baru menata rambutnya, dan dia mungkin berpikir orang-orang akan memperhatikan rambutnya. Karena itu dia nggak mau pakai helm, karena nggak ingin merusak rambutnya, dan karena berpikir orang-orang akan memperhatikan rambutnya.”

“Terus apa hubungannya dengan makan di lesehan?”

Saya tertawa. “Yang ada di pikiran keponakanku tadi sama seperti yang ada di pikiranmu, juga di pikiran orang-orang lain yang menurutmu malu makan di lesehan. Mereka, atau kalian, berpikir orang-orang akan memperhatikan.”

“Padahal?”

“Padahal yo mbuh.”

Rizal mengisap rokoknya, lalu berkata ragu-ragu, “Aku belum nangkep maksudmu. Maksudnya gimana, kok berpikir orang-orang akan memperhatikan?”

“Maksudku, kita cenderung berpikir orang-orang akan memperhatikan kita, padahal belum tentu. Kecenderungan semacam itu—berpikir bahwa orang-orang akan memperhatikan kita—mungkin relevan untuk artis, orang terkenal, atau pejabat. Tapi bagi kita yang bukan siapa-siapa, kecenderungan berpikir semacam itu sering kali nggak relevan. Karena, memangnya siapa yang akan memperhatikan kita? Orang-orang udah sibuk dengan urusan hidup mereka masing-masing, dan nggak peduli siapa sedang apa. Jadi, saat makan di lesehan kayak gini, aku sama sekali nggak merisaukan orang-orang. Karena aku berpikir mereka nggak akan memperhatikanku. Dan kalaupun memperhatikanku, ya bodo amat, wong aku cuma lagi makan.”

“Sekarang aku mulai paham maksudmu.”

“Bagus!”

“Kalau aku nggak salah nangkep, nih, artinya aku merasa malu makan di lesehan karena berpikir orang-orang akan memperhatikanku, padahal mereka sama sekali nggak peduli. Gitu, kan?”

Saya tersenyum dan mengangguk.

“Bener juga ya,” ujar Rizal. “Lagian siapa yang akan memperhatikanku?”

Saya tertawa.

Related

Hoeda's Note 3622126770784809118

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item