Hidup Sudah Mumet, Tak Perlu Dibikin Ribet
https://www.belajarsampaimati.com/2023/11/hidup-sudah-mumet-tak-perlu-dibikin.html
Ilustrasi/hipwee.com |
Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya (Cinta Tidak Perlu Dibikin Rumit). Berbeda dengan dua catatan sebelumnya yang menggunakan percakapan, catatan ini saya tulis secara naratif, karena ada banyak deskripsi, agar lebih mudah dipahami.
Well.
Pada abad ke-14, ada seorang pakar logika di Inggris, bernama William Ockham. Salah satu pemikirannya yang cemerlang, khususnya terkait kehidupan sehari-hari, adalah sesuatu yang belakangan disebut Ockham Razor, yaitu prinsip untuk mengambil kesimpulan sederhana terkait hal-hal yang memang tidak membutuhkan kerumitan logika. Teori Ockham Razor adalah, “Jika terdapat banyak penjelasan untuk sebuah fenomena, pilihlah penjelasan yang paling sederhana.”
Teori itu sangat penting dalam kehidupan manusia sehari-hari, karena memberi banyak manfaat. Pertama, membebaskan kita dari beban pikiran yang tidak perlu. Kedua, menghilangkan kemungkinan prasangka dan masalah yang tidak perlu. Dan ketiga, penjelasan yang paling sederhana biasanya justru penjelasan yang benar.
Mari gunakan contoh-contoh nyata, agar hal penting ini lebih mudah dipahami.
Suatu siang, saya berpapasan dengan seseorang yang saya kenal, di jalan, dan saya menyapanya. Tapi dia diam saja, sama sekali tidak menengok, apalagi membalas sapaan saya.
Dalam kejadian itu, saya bisa saja berpikir bahwa dia marah kepada saya, entah dengan alasan apa, atau bahwa dia sekarang sombong dan angkuh, dan segala macam teori lain yang bisa jadi akan mengganggu pikiran saya sekaligus menimbulkan prasangka macam-macam. Tetapi, sebenarnya ada penjelasan lain yang lebih logis dan sederhana, yaitu... dia kebetulan tidak melihat saya!
Ada banyak orang yang, ketika berkendara di jalan, pikirannya benar-benar fokus pada jalan di depannya, hingga kadang tidak mendengar ketika ada yang menyapa atau memanggilnya. Bisa jadi pula, seseorang sedang berkendara, sementara pikirannya sedang memikirkan sesuatu yang penting, sehingga tidak melihat orang yang ia kenal, yang berpapasan dengannya. Itu fenomena biasa, dan bisa dialami siapa pun.
Jika saya berpikir rumit—misal mengira dia lagi marah kepada saya, atau menuduhnya sombong dan lain-lain—pemikiran itu justru akan mengganggu pikiran saya, sekaligus menimbulkan prasangka yang belum tentu benar. Tetapi, jika saya berpikir sederhana, bahwa dia mungkin tidak melihat saya, pikiran saya tidak terganggu, dan tidak timbul prasangka macam-macam.
Inilah pentingnya berpikir sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, agar pikiran kita tidak terganggu atau berprasangka, dan kedua karena pemikiran sederhana biasanya justru yang benar.
Contoh lain, kita bisa melihat kasus Deni, yang saya tuliskan di catatan ini. Zaman kuliah dulu, banyak teman Deni yang biasa dolan ke rumahnya, bahkan kadang menginap. Hampir saban hari selalu ada temannya yang datang, sampai para tetangga Deni terbiasa dengan hal itu. Lalu, ketika lulus kuliah, teman-teman Deni yang dolan ke rumahnya semakin jarang, dan belakangan hampir tidak ada yang dolan ke rumahnya.
Menurut Deni, ternyata beberapa tetangganya mengira teman-teman Deni sekarang tidak lagi dolan karena “bermasalah” dengan Deni. Itu jelas prasangka buruk, yang dihasilkan oleh cara berpikir rumit. Padahal, ada penjelasan sederhana yang lebih logis, terkait teman-teman Deni yang tidak lagi dolan seperti dulu. Ya karena mereka sudah tidak lagi kuliah bareng seperti dulu!
Ada banyak orang—di mana-mana—yang mengalami fenomena seperti Deni. Ketika masih kuliah, teman-temannya sering dolan ke rumahnya. Tapi setelah lulus kuliah, teman-teman yang dolan makin sedikit, bahkan belakangan jarang kelihatan ada yang dolan. Dan itu hal yang biasa.
Saya sendiri pun mengalami hal semacam itu. Dulu, saban hari selalu ada teman yang dolan ke rumah saya. Bahkan sering sampai menginap. Sebagian teman saya waktu itu berasal dari tempat-tempat jauh, dan mereka lebih suka menginap di rumah saya—yang dekat dengan kampus—daripada pulang ke rumahnya sendiri.
Belakangan, ketika kami semua tidak lagi kuliah, teman yang datang ke rumah saya makin sedikit. Pertama, karena tempat tinggal mereka memang jauh. Dulu mereka sering dolan ke rumah saya karena masih kuliah. Setelah tidak lagi kuliah, dolan ke rumah saya terasa berat, karena jarak yang memang jauh. Kedua, kami mulai sibuk kerja, sehingga waktu luang makin sedikit. Dan ketiga, banyak teman saya yang menikah, lalu punya anak, sehingga sudah sibuk dengan keluarga masing-masing.
Ketiga hal itu menjadikan teman-teman makin jarang dolan ke rumah saya, dan saya menganggap itu biasa saja. Saya menyadari tempat tinggal mereka yang rata-rata jauh, saya memahami mereka kini sibuk bekerja dan sulit punya waktu luang, dan saya pun mengerti kalau mereka yang telah menikah tentu sibuk dengan keluarga masing-masing. Tidak ada masalah sama sekali.
Tapi bisa jadi, ada tetangga saya—sebagaimana tetangga Deni—yang mengira macam-macam terkait hal itu, lalu berprasangka. Padahal hubungan saya dengan teman-teman—sebagaimana hubungan Deni dengan teman-temannya—ya baik-baik saja, tidak ada masalah apapun.
Sekali lagi, inilah pentingnya berpikir sederhana, khususnya dalam kehidupan sehari-hari, khususnya lagi terkait manusia. Agar kita tidak mudah berprasangka.
Kalau ada famili yang punya hajatan, misalnya, dan kita tidak mendapat undangan, tidak perlu berpikir rumit yang hanya membuat kita berprasangka buruk. Cukup berpikir sederhana, “Mungkin dia lupa, atau mungkin undangannya terselip entah di mana.” Simpel, sederhana, dan tidak ada prasangka macam-macam. Dan biasanya, kemungkinan sederhana itulah yang benar.
Kalau ada tetangga yang membagi zakat tiap tahun, lalu dia tidak lagi membagi zakat, tidak perlu berpikir rumit sampai menuduhnya kikir dan sebagainya yang berujung prasangka. Cukup berpikir sederhana, “Mungkin usahanya lagi sepi.” Simpel, sederhana, tidak ada prasangka macam-macam, dan biasanya justru pemikiran sederhana itulah yang benar.
Kehidupan ini sudah berat, tapi ironisnya banyak orang yang suka menambah berat pikiran dan hidupnya sendiri. Mereka berpikir rumit untuk hal-hal sederhana, mereka menciptakan prasangka yang bisa menimbulkan masalah untuk hal-hal yang sebenarnya biasa saja.
Beberapa teman saya pernah cerita, setiap kali mereka keluar rumah dan berjalan kaki—misal mau beli rokok di warung depan gang—kadang ada tetangga yang bertanya [dengan nada mengejek atau menghina], “Motornya ke mana, kok jalan kaki?” atau, “Kok jalan kaki, mobilnya ke mana?” Padahal memang ingin jalan kaki, karena cuma mau beli rokok di depan gang!
Kenapa para tetangga bertanya seperti itu? Karena mereka berpikir rumit! Dikiranya, mungkin, teman saya terpaksa jalan kaki, karena motor atau mobilnya dijual akibat bangkrut. Padahal, ketika seseorang biasa naik kendaraan dan kemudian terlihat jalan kaki, cukup berpikir sederhana, “Oh, mungkin dia memang ingin jalan kaki, karena cuma mau ke warung.” Simpel, tanpa prasangka macam-macam.
Pertanyaannya, kenapa ada banyak orang yang suka berpikir rumit, ketika seharusnya berpikir sederhana? Saya tidak yakin jawabannya, tapi bisa jadi itu semacam “error” dalam otak manusia. Umpama sistem komputer, itu semacam “bug” yang kadang-kadang menimbulkan “crash” dan mengganggu kinerja komputer. Karena itulah, Ockham Razor—yang meminta kita untuk berpikir sederhana—jadi teori penting dalam kehidupan manusia.
Berpikir sederhana artinya menempatkan segala sesuatu sesuai konteksnya, memahami peristiwa tanpa mengedepankan prasangka, dan memperlakukan orang lain sebagaimana seharusnya.
Perlu saya tekankan di sini, teori Ockham Razor sering kali bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak bisa begitu saja digunakan dalam bidang-bidang lain, semisal sains, politik, atau pada kasus-kasus tertentu yang memang membutuhkan penelitian teruji, pemahaman komprehensif, hingga verifikasi data. Karenanya, saya hanya memfokuskan catatan ini pada kehidupan sehari-hari, terkait kehidupan pribadi maupun interaksi dengan orang lain, yang relatif sederhana.
Pada contoh-contoh tadi, kita melihat perbedaan antara berpikir rumit dan berpikir sederhana. Ketika kita berpikir rumit, kita menciptakan prasangka [yang belum tentu benar]. Tapi ketika kita berpikir sederhana, kita menempatkan sesuatu sesuai konteksnya [yang sering kali justru benar].
Ada orang yang dulu sering didatangi teman-temannya, lalu sekarang jarang teman yang datang. Cukup berpikir sederhana, “Oh, mungkin karena sekarang mereka sudah lulus kuliah, jadi sibuk dengan kehidupan masing-masing.” Itu pola pikir sederhana, tanpa prasangka macam-macam, dan justru pemikiran itulah yang benar! Pemikiran semacam itu menempatkan peristiwa sesuai konteksnya, dan tidak mengedepankan prasangka.
Sekarang, kita ambil contoh lain terkait memperlakukan orang lain dengan cara sederhana yang sama.
Kita pasti mengenal golden rule atau aturan emas yang mengajarkan, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.” Saya tidak akan mengajari soal ini, karena saya yakin kita semua sudah memahami, tanpa harus saya jelaskan lagi. Yang mungkin masih jarang dipahami adalah bahwa kita sering kali berpikir rumit tentang orang lain, ketika kita seharusnya berpikir sederhana.
Di antara kita pasti ada yang pernah mendengar orang mengatakan, “Dia tuh orangnya sulit.” [Bisa sulit didekati, sulit diajak kerja sama—pokoknya sulit!] Dalam hal ini, saya percaya “tidak ada orang yang sulit” jika kita mematuhi aturan emas. Selalu ingat; berpikir sederhana, dan perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan!
Bertahun lalu, saya dan beberapa orang mengerjakan sesuatu, dan kami butuh merekrut seseorang yang—sebut saja—bernama Rex. Kami tidak mengenalnya, dan hanya sebatas tahu reputasinya. Dia terkenal genius, tapi menderita Schizoid (gangguan kepribadian yang membuat pengidapnya menghindari interaksi dengan orang lain). Usianya sebaya kami, wajahnya murung, dan terkesan tidak ramah. Konon, tidak ada orang yang berani mendekatinya, kecuali kenal dekat.
Saya sendiri juga tidak mengenal Rex, sebagaimana dia tidak kenal saya. Tapi teman-teman meminta saya yang menemuinya. Suatu malam, saya menemui Rex di tempat makan langganannya, sementara teman saya menunggu di meja lain. Rex tampak sedang duduk sendirian, menikmati rokok usai makan malam, dengan sikap acuh tak acuh pada sekitar.
Sesampai di tempatnya, saya menyapa dengan sopan, memperkenalkan diri, dan berkata, “Saya perlu membicarakan sesuatu.”
Dia mempersilakan saya duduk.
Saya duduk di depannya, dan, dengan sopan, berbicara langsung pada intinya, “Saya dan teman-teman sedang mengerjakan sesuatu, dan butuh bantuanmu.” Lalu saya jelaskan apa yang kami kerjakan, dan kenapa kami membutuhkan dia. Agar dia tertarik, saya juga menjelaskan berapa yang akan ia dapatkan dari pekerjaan itu.
Singkat cerita, Rex benar-benar membantu kami, dan pekerjaan itu selesai tanpa masalah, sebagaimana Rex juga tidak menimbulkan masalah apapun. Mudah, sederhana, tanpa banyak drama. Padahal orang-orang menyebut Rex sebagai “orang yang sulit”. Faktanya, dia tidak sulit sama sekali! Dan jika Rex yang menderita Schizoid saja bisa diajak bicara baik-baik, apalagi orang-orang "waras" seperti umumnya kita?
Kenyataan itu belakangan makin menguatkan keyakinan saya bahwa kebanyakan kita memang suka berpikir rumit, ketika seharusnya berpikir sederhana. Hanya karena melihat peristiwa yang “tidak seperti biasanya”, kita berpikir rumit—padahal penjelasannya sederhana. Dan hanya karena menilai orang lain “tampak berbeda”, kita pun berpikir rumit—padahal dia sama seperti orang-orang lain umumnya.
Jadi, selalu ingatlah Ockham Razor. Jika melihat peristiwa yang menurut kita “tidak seperti biasa”, kedepankan pemikiran sederhana. Kalau tetangga kita dulu biasa didatangi teman-temannya tapi sekarang temannya jarang datang, tak perlu berpikir rumit apalagi berprasangka macam-macam. Cukup gunakan pemikiran sederhana, karena sering kali justru pemikiran sederhana itulah yang benar.
Kalau kita mendapati seseorang tampak “berbeda dengan kita”, tak perlu berpikir rumit sampai menyebutnya “orang yang sulit”. Cukup kedepankan pemikiran sederhana, bahwa dia sebenarnya orang yang sama seperti kita, dan perlakukan dia sebagaimana kita ingin diperlakukan. Dalam hal ini, saya selalu percaya resep sederhana; jika kita ingin orang melakukan yang kita inginkan, berikan yang dia inginkan. Berdasarkan pengalaman, resep itu tak pernah gagal.
Kesimpulannya, hidup ini sudah berat, tak perlu ditambah berat. Menjalani kehidupan sering kali sudah pusing, tak perlu ditambah pusing. Masalah kita sudah banyak, tak perlu ditambah banyak. Pikiran kita sering kali sudah mumet, tak perlu ditambah hal-hal ribet!