Cinta Tidak Perlu Dibikin Rumit

Ilustrasi/liputan6.com
Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya (Menginap di Rumah Teman). Saya menginap di rumah Deni, dan kami bercakap-cakap semalaman, mengenang pertemanan kami, hingga mengobrolkan cinta.

“Jadi,” ujar Deni, “kamu emang belum ingin pacaran, atau belum nemu pasangan yang pas?”

“Aku emang belum ingin pacaran,” saya menjawab.

“Alasannya?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Pacaran di masa dewasa kan beda dengan pacaran di masa remaja. Kalau orang dewasa pacaran, orientasinya pasti pernikahan, kan? Jadi, kalau aku pacaran sekarang, artinya nggak lama lagi aku bakal menikah. Dan menikah adalah berbagi kehidupan dengan orang lain. Dalam hal ini, aku belum siap membagi hidupku dengan orang lain. So, daripada nantinya menimbulkan mudarat, aku milih nggak buru-buru menikah. Dan karena aku nggak buru-buru menikah, aku juga belum minat pacaran.”

Deni manggut-manggut.

Saya bertanya, “Kamu sendiri gimana, Den? Udah ada pacar atau rencana menikah?”

Deni tampak ragu-ragu sejenak, kemudian bercerita, “Belum lama, aku sempat dekat dengan seorang wanita. Jadi, aku naksir dia, dan, singkat cerita, pedekate gitu, lah. Namanya orang pedekate, aku selalu sedia buat dia. Kalau sewaktu-waktu dia butuh sesuatu, aku datang. Dia perlu pergi ke mana, aku siap mengantar. Semacam gitu, lah. Yang bikin aku bingung, dia tuh kayak ngasih harapan ke aku, tapi nggak ada apresiasinya sama sekali.”

“Maksudnya gimana?” 

Deni nyengir. “Agak bingung jelasinnya. Jadi, kalau sewaktu-waktu dia butuh pergi ke suatu tempat, misalnya, aku anterin. Dia butuh apa, aku sediain. Nah, selama hal-hal kayak gitu berlangsung cukup lama, dia tuh nggak pernah nunjukin apresiasi, semisal ngucap terima kasih atau semacamnya. Jadi, selama aku antar dia ke mana-mana, atau menyediakan hal-hal yang dia butuhkan, itu kayak aku emang berkewajiban melakukannya. Padahal kami baru tahap pedekate, lho.”

Saya mulai paham maksud Deni.

Dia melanjutkan, “Lama-lama, kondisi kayak gitu bikin aku nggak nyaman. Kami baru tahap pedekate, dan aku menunjukkan keseriusan, tapi aku ngerasa sikapnya kok kayak nggak pas, gitu. Uhm... maksudku, apa susahnya sih ngucapin terima kasih karena udah diantar, misalnya? Gimana pun, kami kan belum jadi pacar, ya. Artinya, aku sebenarnya nggak punya kewajiban apapun kepadanya. Mosok dia nggak ada apresiasinya sama sekali...”

“Sori, Den, apa jangan-jangan dia nggak tertarik sama kamu?”

“Aku sempat mikir gitu,” jawab Deni. “Jangan-jangan dia sebenarnya nggak tertarik sama aku, tapi cuma mau memanfaatkan? Soalnya, kalau dia butuh sesuatu, dia nge-chat aku. Butuh pergi ke mana, minta diantar aku. Tapi selama aku melakukannya, dia bersikap seolah itu kewajibanku, padahal kami belum ada hubungan yang jelas. Akhirnya, karena aku nggak nyaman, ya udah, aku berhenti.”

Kami terdiam sesaat, menikmati rokok masing-masing.

Deni kemudian berkata, “Menurutmu, pantas nggak kalau aku ninggalin dia begitu aja—nggak melanjutkan pedekate—karena merasa nggak nyaman dengan sikapnya?”

Saya perlu mikir beberapa saat sebelum menjawab, “Secara pribadi, aku suka mengapresiasi hal-hal baik yang dilakukan orang lain. Jangankan orang melakukan hal baik ke aku, wong orang melakukan hal baik yang nggak ada sangkut pautnya denganku pun, aku mengapresiasi, kalau kebetulan tahu. Jadi, kalau wanita yang kamu dekati tadi udah dibantu macam-macam tapi sekadar ngucap terima kasih aja nggak pernah, ya kayaknya emang keterlaluan, sih.”

“Kalau kamu mengalami hal kayak yang aku alami gitu, kira-kira apa yang kamu lakukan?”

“Aku nggak punya pengalaman kayak yang kamu alami. Cuma, aku mikirnya pedekate itu kan usaha dua orang untuk saling mengenal lebih dekat. Artinya butuh kerja sama dua orang. Kalau misal aku pedekate ke seorang wanita, dan respons dia negatif, ya aku berhenti. Atau misal kayak yang kamu alami, dalam arti merasa nggak nyaman selama pedekate, ya aku berhenti. Di Twitter, pernah ada pepatah terkenal, ‘cinta itu butuh usaha dua orang, kalau yang usaha cuma satu orang namanya wiraswasta’.”

Deni tertawa, “Ada benarnya.”

Saya menyesap teh di gelas, menikmati asap rokok, lalu berkata, “Makin dewasa, kita kayaknya makin nggak mau bikin ribet apapun, termasuk urusan pedekate dan semacamnya. Dulu, waktu masih belia, mungkin kita mau ngejar-ngejar cewek demi jadi pacarnya. Tapi hal kayak gitu udah nggak relevan di masa dewasa. Atau jangan-jangan kita yang kurang gaul?”

“Hahaha, enggak, lah,” sahut Deni. “Kayaknya emang gitu, sih. Namanya orang udah dewasa, mestinya ya sama-sama bisa berpikir dewasa. Kalau pria mendekati wanita, dan keduanya sama-sama lajang, mestinya udah sama-sama tahu ke mana arahnya. Kalau kita pedekate, tapi si wanita nggak nunjukin minat, ya artinya nggak minat. Kalau wanita yang kita suka ternyata udah punya pacar, ya udah, kita juga nggak jadi mendekat. Simpel. Jangankan pedekate, wong untuk hal-hal yang ‘umum’ aja kita udah malas bikin ribet.”

“Iya.” Saya mengangguk. “Makin dewasa, cara berpikir kita makin sederhana. Ya artinya ya, nggak artinya nggak.”

“Menurutmu, kenapa bisa begitu?” tanya Deni

“Bisa begitu gimana?”

“Itu, yang barusan kamu bilang, ‘makin dewasa, cara berpikir kita makin sederhana’. Itu kira-kira kenapa, ya?”

“Ya karena makin dewasa, tanggung jawab hidup kita makin berat, kan? Saat remaja, kita punya banyak waktu, berlimpah energi, sementara tugas hidup masih ringan. Akibatnya, apa aja bisa dibikin ribet sekaligus rumit. Ada cewek nolak kita, misalnya, kita bisa mikir berhari-hari, berspekulasi kalau-kalau cewek itu sebenarnya nggak nolak tapi sekadar mau nguji. Bah! Aku ngerasa konyol kalau ingat masa-masa itu.”

Deni cekikikan.

Saya melanjutkan, “Sekarang, makin dewasa, tanggung jawab hidup kita makin berat, urusan makin banyak, sementara waktu makin sedikit. Akibatnya ya kita berusaha berpikir sederhana, karena pikiran kita udah berat mikir beban hidup. Kalau ada cewek nolak, misalnya, ya kita terima itu sebagai penolakan, nggak mikir macam-macam lagi kayak masih remaja. Jangankan sampai nolak, lah. Wong kamu baru pedekate aja udah mikir buat berhenti karena nggak nyaman.”

Teh di gelas kembali disesap, udud kembali diisap. 

Deni berkata, “Mumpung ingat, kamu nggak punya akun Facebook, ya?”

“Dulu sebenarnya punya, waktu Facebook baru ngetren dan teman-teman kita bikin akun di sana. Tapi lama banget aku nggak login ke Facebook, terus lupa password-nya. Waktu nyoba masuk, Facebook menyodorkan syarat macam-macam, dari meminta teman agar memverifikasi akunku, sampai hal-hal lain. Akhirnya aku tinggalin aja. Mau login aja kok ribet! Sampai sekarang udah nggak pernah masuk ke sana lagi.”

Deni lalu bercerita, “Di Facebook, aku kenal seorang wanita. Dia nulis di wall-nya, kalau dia lagi mau bikin suatu event, dan nawarin siapa aja yang bisa membantunya. Karena aku ngerasa bisa membantu, aku pun nawarin diri. Waktu itu aku menghubungi dia lewat wall langsung, juga lewat pesan pribadi di Facebook. Itu konteksnya bukan pedekate, ya, tapi murni urusan kerja. Tapi nggak ada tanggapan sama sekali. Menurutmu, apakah sebaiknya aku berhenti, dan menganggap dia nggak tertarik tawaranku, ataukah mungkin dia nggak baca pesanku?”

Saya bertanya, “Kalau menurutmu, pesanmu udah dia baca atau belum?”

“Kayaknya sih udah dia baca.”

“Kalau gitu ya mungkin dia nggak tertarik. Ya udah, berhenti aja. Kita kan nggak bisa maksain apapun ke orang lain, bahkan sekadar bantuan dalam urusan kerja. Tapi ini menurutku, ya. Kalau kamu punya pendapat lain ya monggo aja, sih.”

Deni manggut-manggut. “Intinya nggak usah dibikin ribet, ya?”

“Tul. Makin dewasa, kita makin sadar kalau hidup ini terlalu singkat untuk dibikin ribet. Kalau aku punya kepentingan sama orang lain, aku hubungi langsung. Kalau dia respons, ya lanjut. Kalau nggak respons, ya udah, berhenti. Simpel. Lagi pula, emangnya kita harus gimana?”

Deni mengisap rokoknya, lalu berkata, “Berpikir dan bersikap sederhana, yang barusan kita obrolin, sebenarnya jauh lebih mudah daripada berpikir rumit atau membuat segala sesuatu jadi ribet. Menurutmu, kenapa ada orang-orang yang justru suka berpikir rumit dan ribet?”

“Pertanyaanmu butuh penjelasan panjang, Den, dan aku khawatir umurmu nggak cukup kalau aku jelasin.”

Deni tertawa. “Jelasin aja.”

Penjelasannya besok, di catatan berikutnya.

Related

Hoeda's Note 7373038055377435957

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item