Tiga Calon Presiden di Hadapan Cermin

Ilustrasi/most1058fm.com
Charles Horton Cooley, sosiolog asal Amerika Serikat, memiliki teori terkenal yang disebut “looking-glass self”. Teori itu menyatakan bahwa kita membentuk konsep diri melalui refleksi dari pandangan orang lain tentang kita. Ketika kita melihat diri kita dalam cermin, kita mungkin juga memikirkan bagaimana orang lain melihat kita, dan itu dapat mempengaruhi citra diri kita.

Jika kalimat itu terdengar ndakik-ndakik atau agak membingungkan, mari saya jelaskan dengan cara yang lebih sederhana.

Ketika kamu berhadapan dengan cermin, dan melihat dirimu sendiri lewat pantulan cermin, apa yang kamu pikirkan dan kamu rasakan? Jawabannya bisa beragam, tergantung bagaimana caramu menilai dirimu sendiri, dan tergantung bagaimana kamu merefleksikan pandangan orang lain terhadapmu. Karenanya, ketika seseorang berhadapan dengan cermin, hampir seratus persen ia akan melihat dirinya sendiri! 

Dan, ini bagian yang paling menarik; dalam banyak hal, cermin adalah semacam tes kejujuran, dan orang sulit berbohong ketika di depan cermin. Karena, jika dia mencoba berbohong, dia akan merasa membohongi dirinya sendiri, dan itu akan membuatnya tidak nyaman.

Jika saya berdiri di depan cermin, saya akan melihat diri saya sendiri—itu pasti! Dan apa yang saya lihat? Saya akan melihat orang yang “biasa-biasa saja”, karena memang itulah yang saya pikirkan tentang diri saya. Selain itu, saya juga berpikir bahwa orang-orang lain menganggap saya sebagai orang yang “biasa-biasa saja”. Gabungan antara citra diri dan refleksi pandangan orang lain itu membentuk pikiran saya ketika ada di depan cermin. Itulah konsep “looking-glass self”, teori yang diajukan Charles Horton Cooley.

Saya teringat pada teori itu ketika menyaksikan tiga [bakal] calon Presiden Indonesia—Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto—diminta berdiri di hadapan cermin dalam acara Mata Najwa, bertajuk “3 Bacapres Bicara Gagasan”, yang digelar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Seperti yang kita saksikan, reaksi masing-masing capres sangat berbeda, dan teori Charles Horton Cooley benar-benar menunjukkan buktinya. Orang akan menjadi diri mereka sendiri ketika di hadapan cermin, dan sikap mereka akan menunjukkan kepada kita mengenai seperti apa mereka. Karena, jauh di bawah sadar, orang yang berada di depan cermin tidak mampu membohongi dirinya sendiri, dan, mau tak mau, mereka harus jadi diri sendiri. 

Dalam hal ini, saya agak yakin kalau Najwa Shihab dan timnya sengaja menyiapkan cermin besar itu untuk “menjebak” masing-masing capres, untuk menunjukkan jati diri mereka yang asli, di hadapan orang-orang yang menghadiri dan menonton acara tersebut. 

Anies Baswedan menjadi orang pertama yang diminta untuk melakukan refleksi di depan cermin besar itu. Mula-mula, Anies tampak terdiam, lalu tertawa, dan mengaku belum pernah berbicara dengan diri sendiri di depan cermin.

“Saya harus mikir dulu, nih,” ujar Anies. “Ini memulai juga repot. Saya nggak pernah ngomong depan kaca—ini pertama kali saya ngomong depan kaca. Ngomong depan kamera lebih mudah daripada ngomong depan kaca pada diri sendiri.”

Setelah itu, yang dilakukan Anies Baswedan di hadapan cermin adalah mengenang masa kecilnya, ketika ia masih SD, lalu tumbuh menjadi mahasiswa, dan ia teringat pesan ibunya agar rajin, bekerja keras, dan selalu menjaga nama baik.

Berbeda dengan Anies Baswedan yang bicara cukup panjang saat diminta melakukan refleksi di hadapan cermin, Prabowo Suabianto tampak enggan atau “salah tingkah” ketika diminta melakukan hal yang sama. Ketika akhirnya dia berdiri di depan cermin besar itu, dan melihat sosoknya sendiri seutuhnya, hal pertama yang dilakukan Prabowo adalah berdiri dengan sikap sempurna, lalu melakukan hormat pada pantulan dirinya di cermin.

Setelah itu, Prabowo berbalik dan meninggalkan cermin besar tadi. Najwa Shihab meminta Prabowo agar kembali ke depan cermin untuk menyampaikan refleksi, tapi Prabowo mengatakan, “Udah, udah. Gua udah berkaca. Refleksi, kan?” 

Belakangan, yang dilakukan Prabowo bukan kembali menghadapi cermin, tapi menghadapi para penonton acara itu. Dia lalu berbicara panjang lebar, tentang kehidupannya, kenangannya, juga harapannya.

Yang menarik bagi saya adalah saat Ganjar Pranowo diminta melakukan refleksi di depan cermin besar tadi. Mula-mula, yang ia lakukan adalah menunduk sejenak, kemudian mengangkat wajahnya, dan berbicara pada pantulan dirinya dalam cermin. Dan yang ia refleksikan hanyalah kenangan serta pesan kedua orang tuanya terkait jabatan.

“Sesuatu yang tidak bisa saya lupakan adalah pesan kedua orang tua saya,” kata Ganjar, “Kalau soal jabatan, Jar, jangan pernah kamu kejar. Kalau itu takdirmu, laksanakan dengan baik. Jangan pernah korupsi. Bismillahirrahmanirrahim.”

Refleksi di depan cermin adalah kejujuran pada diri sendiri. Saya bisa membayangkan apa yang ada dalam pikiran Anies Baswedan maupun Prabowo Subianto ketika mereka diminta berefleksi di depan cermin, dan saya memahami mengapa mereka melakukan hal-hal yang mereka lakukan. 

Silakan koreksi kalau saya keliru, tapi saya percaya kalau Anies menyimpan jiwa kanak-kanak di dalam dirinya, sementara Prabowo memegang teguh doktrin militer. Karenanya, yang pertama terlontar dalam refleksi Anies adalah bayangan masa kecilnya, dan yang pertama dilakukan Prabowo saat berefleksi adalah berdiri dengan sikap sempurna dan memberi hormat.

Dalam hal ini, saya penasaran, apa yang dipikirkan Ganjar Pranowo saat berefleksi di depan cermin, hingga yang langsung ia ingat adalah kenangan dan pesan orang tuanya?

Sebenarnya, saya telah menyiapkan catatan ini sejak lama, usai acara Mata Najwa tadi digelar. Tapi saya merasa harus yakin terlebih dulu, apa yang ada dalam pikiran Ganjar Pranowo, agar saya tidak asal-asalan menulisnya. Jadi, saya melakukan riset, membongkar banyak arsip berita terkait mantan Gubernur Jawa Tengah itu, untuk menemukan jawaban yang saya cari-cari.

Belakangan, saya menemukan jawabannya secara tak terduga.

Ganjar Pranowo punya kakak, bernama Pri Kuntadi. Ketika Parmudji Pramudi Wiryo, ayah mereka, meninggal pada 2017, Pri Kuntadi diwawancarai beberapa reporter, dan ditanya apa pesan yang biasa disampaikan sang ayah saat masih hidup. Pri Kuntadi menyatakan, “Dari dulu pesan beliau ke anak-anaknya adalah jujur, apa adanya. Dan, satu hal lagi, sebagai orang Jawa itu harus ‘ngilo githoke’, disuruh lihat diri kita sendiri, berkaca.” 

“Ngilo githoke” adalah istilah Jawa yang sering disampaikan orang-orang Jawa zaman dulu, yang artinya agar kita sering berkaca, introspeksi, sadar diri, yang tujuannya agar tidak adigang-adigung-adiguna (menyombongkan kelebihan yang dimiliki). “Ngilo githoke” adalah ajaran agar kita selalu rendah hati, dan memperlakukan siapa pun dengan baik.

Ketika menemukan penjelasan Pri Kuntadi, saya bukan hanya merasa menemukan jawaban yang saya cari-cari—terkait refleksi Ganjar Pranowo di acara Mata Najwa tadi—tapi juga membuat saya akhirnya memahami kenapa Ganjar begitu merakyat, dan bisa bergaul dengan kalangan mana pun. Selama menjabat sebagai gubernur, dia juga tanpa beban saat memecat yang korupsi, menindak para pelaku pungli, dan, di sisi lain, melahirkan banyak program yang bermanfaat bagi rakyat yang dipimpinnya.

Ganjar Pranowo tampaknya benar-benar mengikuti nasihat orang tuanya, hingga nasihat itu benar-benar meresap di bawah sadarnya. Karenanya, ketika diminta melakukan refleksi di hadapan cermin, hal pertama yang langsung terlintas dalam benaknya adalah nasihat orang tuanya—jangan menyombongkan kelebihan yang dimiliki, selalu introspeksi dan sadar diri, sementara jabatan tidak perlu dikejar. 

Tidak mengejutkan kalau dia kemudian mengedepankan semboyan, “Tuanku ya rakyat. Jabatan hanya mandat.”

Kini, mantan gubernur yang menempatkan rakyatnya sebagai “tuan” itu menjadi salah satu calon Presiden Indonesia. Dia telah meninggalkan jejak panjang yang bisa kita telusuri—kinerjanya, kejujurannya, prestasi-prestasinya—dan semua itu menjadi bukti bahwa dia tidak hanya pandai berkata-kata, tidak hanya pintar mengumbar janji, tapi telah menunjukkan sesuatu yang nyata. Janji bisa diingkari, kata-kata bisa terlupa, tapi bukti berteriak jauh lebih keras.

Dan jika kita menginginkan seorang pemimpin, apakah kita ingin seorang pemimpin yang berambisi jadi pemimpin... ataukah seorang pemimpin yang memang layak dipilih jadi pemimpin?

Ganjar Pranowo mengingat nasihat orang tuanya, “Kalau soal jabatan, Jar, jangan pernah kamu kejar. Kalau itu takdirmu, laksanakan dengan baik. Jangan pernah korupsi.”

Sepertinya, itu saja sudah cukup.

Related

Hoeda's Note 1594256602384033389

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item