Mayat-mayat Telantar di Mushala
https://www.belajarsampaimati.com/2023/10/mayat-mayat-telantar-di-mushala.html
Ilustrasi/tintahijau.com |
Ada berita yang menggores perasaan saya, yaitu keberadaan dua mayat atau jenazah yang “telantar” di mushala, karena ketiadaan biaya untuk menguburkan. Berita dan videonya muncul di Twitter. Ketika saya baca, ternyata peristiwa itu terjadi di Bandung. Dan dua mayat tadi berada di mushala yang terletak di Jalan Kiastramanggala, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Keduanya pria, masing-masing berusia 30 dan 50 tahun.
Kedua mayat itu sudah dimandikan dan dikafani, namun belum dimakamkan, karena ketiadaan biaya. Sementara keluarganya tidak ada. Jadi, sambil menunggu ada uang cukup untuk membiayai pemakaman, dua jenazah tadi diletakkan di mushala.
Hary Kurniawan, yang bertanggung jawab atas pengurusan mayat-mayat itu, menjelaskan, bahkan biaya pemulasaran kedua jenazah pun belum sempat dibayar, karena ketiadaan biaya. Menurut dia, biaya pemulasaran, termasuk kain kafan, sebesar Rp500 ribu, untuk masing-masing jenazah, sementara biaya pemakaman Rp1,5 juta per mayat. Jadi, dua jenazah tadi membutuhkan biaya Rp4 juta untuk pengurusannya.
Sebelumnya, Hary telah mencoba mendatangi beberapa pemakaman, mencari biaya penguburan yang termurah. Namun Rp1,5 juta tadi ternyata yang paling murah. Dia hanya memiliki uang Rp800 ribu, dan berusaha mencari bantuan ke teman-temannya melalui WhatsApp, siapa tahu ada yang terketuk hatinya untuk membantu pemakaman dua jenazah tadi.
Ketika melihat video serta membaca berita terkait dua mayat di mushala itu, saya tercenung lama. Ada banyak hal yang saya pikirkan; tentang mereka yang meninggal, tentang mereka yang ditinggalkan, juga tentang betapa sulitnya kehidupan bagi sebagian orang—sebegitu sulit, sampai sudah mati pun masih menghadapi kesulitan, dalam hal ini ketiadaan biaya pemakaman.
Hidup di dunia hanya sementara, kata orang-orang. Dan yang sementara itu begitu singkat, hingga ada yang mengatakan, “Urip mung mampir ngombe.” [“Hidup cuma mampir minum.”] Tetapi, dalam hidup yang singkat ini, kematian bisa menimbulkan masalah bagi orang per orang yang hidup, khususnya keluarga atau orang-orang terdekatnya.
Ayah saya telah meninggal, jadi saya tahu bagaimana rasanya ditinggal mati orang terdekat. Dan menghadapi peristiwa kematian rasanya jauh lebih berat dibanding menghadapi peristiwa lain, semisal pernikahan. Sama-sama peristiwa besar. Tapi jika anggota keluargamu menikah, kamu bisa menyiapkannya sejak jauh-jauh hari. Sementara peristiwa kematian bisa dibilang tanpa persiapan sama sekali.
Maksud saya begini. Jika kakak kita akan menikah, misalnya, keluarga bisa menentukan waktunya, dan hal itu bisa dipikirkan banyak orang sekaligus, termasuk pihak calon pasangan kakak kita. Sejak jauh-jauh hari, kita bisa memikirkan dan merencanakan acara pernikahan itu, termasuk undangan, urusan makanan, pakaian, dan lain-lain, serta berapa total biaya yang dibutuhkan.
Mungkin butuh biaya besar, tapi setidaknya ada rencana yang matang sejak jauh-jauh hari, sehingga ada persiapan, ada perhitungan matang, ada kesiapan yang terencana.
Karenanya, menghadapi peristiwa pernikahan, tak peduli sebesar atau semegah apapun, bisa dibilang “biasa saja”, dalam arti sejak awal kita sudah melakukan antisipasi dan rencana matang. Kita tahu peristiwa itu akan datang, pada hari apa, tanggal berapa, tempatnya di mana, acaranya bagaimana, berapa biaya yang dibutuhkan, dan lain-lain. Sebagian orang bahkan telah menyiapkan acara pernikahan sejak setahun sebelumnya, agar benar-benar matang.
Dan semua itu dipikirkan, direncanakan, serta kemudian dilakukan, dalam kondisi gembira. Yang akan menikah gembira, keluarga yang menyiapkan pernikahan juga ikut gembira.
Berbeda dengan peristiwa kematian. Saat anggota keluarga kita meninggal, kita benar-benar tanpa persiapan. Itu peristiwa yang mengguncang mental dan pikiran. Ketika mengalaminya sendiri, saat ayah saya meninggal, saya merasa “blank”—karena tidak menyangka sama sekali, dan saya tidak pernah menyiapkan diri sendiri untuk menghadapi peristiwa itu. Saya pikir, kebanyakan orang yang ditinggal orang tua atau anggota keluarganya juga merasakan hal yang sama.
Yang kadang jadi masalah, peristiwa kematian tak jauh beda dengan peristiwa semacam pernikahan, setidaknya di sebagian tempat, wabilkhusus di tempat saya. Sama-sama butuh biaya.
Di tempat saya, sebagaimana kebanyakan di tempat lain, penguburan jenazah tidak gratis. Pihak keluarga harus menganggarkan sejumlah biaya pemakaman untuk dapat menguburkan yang meninggal. Dan biayanya relatif besar. Setelah itu, malam hari ada acara tahlil di rumah duka, sementara paginya ada acara ziarah kubur, biasanya sampai 7 hari berturut-turut. Itu juga membutuhkan biaya untuk jajan, minum, serta “bingkisan” untuk yang ikut tahlil, atau penyediaan sarapan untuk orang-orang yang ikut ziarah kubur.
Dan semua itu harus dipikirkan, disiapkan, serta dilakukan, ketika kita dalam kondisi berduka, karena baru kehilangan anggota keluarga.
Bagi orang-orang yang relatif mampu, tentu saja itu bukan masalah. Bahkan, bagi keluarga yang ditinggal mati, kehadiran orang-orang yang bertahlil dan ikut menziarahi makam bisa membantu mengobati kedukaan mereka. Namun, bagi orang-orang yang tidak mampu, semua hal itu bisa sangat memberatkan. Karena, seperti yang saya sebut tadi, kematian sering kali tak terduga, sehingga keluarga yang ditinggalkan juga sering kali tanpa persiapan.
Dulu, ketika ayah saya meninggal, saya tidak punya persiapan mental, sehingga sangat shock. Tetapi, setidaknya, keluarga saya memiliki biaya yang cukup untuk mengurus pemakaman sampai acara-acara setelah kematiannya. Dalam hal ini, saya hanya merasa bingung karena ditinggal mati orang tua, sementara hal-hal lain bisa dibilang tidak ada masalah.
Tapi bagaimana dengan orang-orang lain, yang bisa jadi tidak punya kesiapan mental sekaligus tidak punya kesiapan biaya, saat orang tua atau anggota keluarga mereka meninggal?
Mereka pasti shock, merasa kehilangan, dan, di waktu yang sama, mereka juga harus memikirkan biaya untuk mengurus jenazah anggota keluarga yang meninggal. Itu kesedihan yang ditikam kebingungan. Dan, saya pikir, ada banyak orang yang mengalaminya, meski mereka mungkin menyimpannya diam-diam. Peristiwa di Bandung tadi—dua jenazah yang terpaksa ditempatkan di mushala karena tak ada biaya pemakaman—hanyalah sebagian kecil yang kebetulan kita tahu.
Hidup ini singkat, kata orang-orang. Urip mung mampir ngombe. Yang tidak pernah mereka katakan, hidup yang singkat ini membutuhkan banyak biaya, sejak kita lahir sampai mati!
Ketika seorang bayi dilahirkan, orang tuanya harus menyiapkan sejumlah biaya untuk mengurus kelahirannya. Dari urusan kelahiran sampai administrasi kelahiran.
Seiring bayi itu tumbuh jadi anak-anak, hingga remaja, orang tuanya harus terus menyediakan biaya untuk menghidupinya. Lalu bayi itu tumbuh dewasa, bisa hidup mandiri, bekerja, dan mampu menghidupi diri sendiri. Ia makan, minum, udud, sampai menikah... semuanya butuh biaya!
Lalu dia melahirkan anak-anaknya sendiri, membesarkan mereka, dan semua itu butuh biaya. Akhirnya, ketika orang tuanya meninggal, dia juga harus menyiapkan biaya untuk pemakaman dan aneka penghormatan untuk mereka.
Kalau kamu melahirkan bayi di rumah sakit, dan tidak bisa membayar biaya kelahirannya, bayimu akan ditahan di sana, dan baru bisa diambil setelah kamu melunasi semua biaya kelahiran dan segala tetek bengek selama di rumah sakit.
Begitu pun, kalau anggota keluargamu meninggal dunia, dan kamu tidak bisa membayar biaya pemakamannya, jenazah keluargamu tidak dapat dikuburkan, sampai kamu bisa membayar biaya pemakaman yang telah ditentukan.
Sepanjang menjalani kehidupan—yang konon katanya singkat ini—kita harus bekerja keras, menghasilkan uang, demi bisa menjalani hari demi hari dengan badan yang sehat, akal yang waras, dan tidak sampai mati kelaparan. Dan ketika kemudian mati, kita juga masih membutuhkan uang untuk mengurus pemakaman dan berbagai urusan lain terkait kematian.
Urip mung mampir ngombe, katanya.
Dunia hanya sementara, tak perlu mati-matian mengejar uang yang tak seberapa.
Sayangnya, sejak lahir, selama menjalani hidup, untuk kemudian mati, semuanya butuh “uang yang tak seberapa”. Dan, malangnya, ada banyak orang yang harus mati-matian demi bisa memiliki “uang yang tak seberapa”... sampai mereka harus menunggu “uang yang tak seberapa” agar dapat dimakamkan setelah ajal datang.