Burung-burung Terbang Menjelang Magrib

Ilustrasi/brproud.com
Salah satu kenangan masa kecil saya yang selalu membekas di ingatan adalah menyaksikan burung-burung yang terbang menjelang magrib. Dulu, zaman masih kecil, saya suka duduk di depan rumah tiap jam lima sore, dan menatap ke langit. Menjelang magrib, sekelompok burung terlihat terbang bersama, jumlahnya mungkin puluhan atau malah ratusan.

Kemunculan burung-burung yang terbang menjelang magrib itu memang tidak pasti—kadang muncul, kadang tidak—tapi saya suka menunggu mereka. Duduk di depan rumah, menatap langit, lalu senang melihat sekelompok burung terbang bersama di langit. Saya tidak tahu itu burung apa, dan akan ke mana mereka pergi. Saya hanya senang melihatnya.

Ayah saya dulu menyebut burung-burung itu dengan nama “gaok”. Mungkin, itu istilah Jawa untuk menyebut burung layang-layang. Karena belakangan saya tahu kalau burung-burung yang terbang bergerombol menjelang magrib itu burung layang-layang.

Karena setiap sore selalu asyik menunggu burung-burung itu lewat, sampai ayah saya kadang mengingatkan, kalau sewaktu-waktu saya lupa duduk di depan rumah sore hari. “Kamu nggak lihat gaok?” tanyanya. Lalu saya pun segera duduk di depan rumah, menatap langit, dan menunggu burung-burung itu muncul seperti biasa. 

Ketika SMP, saya mulai tahu kalau burung-burung yang terbang di langit menjelang magrib itu burung layang-layang. Mereka punya kemampuan terbang yang tinggi sekaligus gesit, dan suka terbang dalam kelompok besar. Mereka burung migran yang rutin melakukan perpindahan musiman untuk mencari makanan dan habitat baru. 

Saat terbang, burung-burung itu memanfaatkan termal udara panas, yang membantu mereka terbang lebih tinggi dan lebih jauh, tanpa perlu banyak usaha. Karenanya, mereka suka terbang menjelang magrib, ketika udara lebih hangat setelah seharian panas.

Kebiasaan menyaksikan burung-burung terbang menjelang magrib itu terbawa sampai saya SMA. Namun, karena berbagai kesibukan sehari-hari, saya kadang lupa untuk menunggu mereka di depan rumah. Meski begitu, burung-burung itu masih muncul sewaktu-waktu, meski tidak sesering dulu. Dan setiap kali menyaksikan mereka, saya senang, seperti ketika masih kecil dulu.

Ketika saya memasuki masa kuliah, burung-burung itu makin jarang terlihat. Kadang-kadang, saya menunggu di depan rumah, berharap mereka melintas di langit, namun makin lama burung-burung itu makin jarang muncul. Puncaknya, saya pernah menunggu sampai seminggu lebih, dan burung-burung itu tak pernah terlihat sama sekali. Saya masih bersabar, tetap menunggu di depan rumah sore hari, tapi mereka benar-benar tak pernah muncul lagi.

Kemana burung-burung itu?

Ketika suatu populasi hewan punah, sering kali penyebab utamanya adalah hilangnya habitat. Burung layang-layang, yang sering saya saksikan menjelang magrib, biasa mencari makan di area pertanian, terutama yang memiliki padang rumput luas. Mereka memakan serangga seperti lalat, ngengat, dan capung. Ketika lahan-lahan luas pertanian dan padang rumput diubah menjadi kompleks perumahan dan area industri, burung layang-layang pun kehilangan tempat untuk mencari makanan. 

Hilangnya habitat dan hilangnya tempat untuk mencari makan, menjadikan burung layang-layang mengalami masalah dalam melanjutkan hidup. Hal itu masih ditambah perubahan iklim yang “mengacaukan” siklus migrasi mereka, sementara pertanian modern makin banyak menggunakan pestisida. 

Para petani menggunakan pestisida untuk membunuh serangga, yang jadi makanan utama burung layang-layang, dan hal itu makin menyulitkan burung layang-layang untuk mendapat makan.

Aktivitas manusia, konstruksi gedung-gedung tinggi, jalan raya, serta lampu-lampu jalan yang menyala terang di malam hari, juga mengganggu perilaku migrasi dan kebiasaan burung layang-layang. Hal itu pun kadang masih ditambah dengan perburuan dan penangkapan burung layang-layang di berbagai tempat, oleh manusia, hingga populasi burung layang-layang makin lama makin menurun. Hasil akhirnya, seperti yang sekarang terjadi; saya tidak pernah lagi menyaksikan burung-burung itu terbang di langit menjelang magrib.

Ada banyak sekali hewan yang telah punah, di Indonesia maupun di dunia. Dan rata-rata penyebab kepunahan mereka adalah rusaknya habitat. Rusaknya habitat bisa terjadi karena perubahan alam, atau karena invasi manusia. Saya sengaja menyebut “invasi”, karena nyatanya itulah yang dilakukan manusia; memasuki habitat yang semula tempat hidup hewan, dan mengubahnya menjadi tempat hidup manusia.

Di mana-mana, ada banyak padang rumput, lahan luas, sampai persawahan, yang berubah menjadi kompleks perumahan dan tempat tinggal manusia. Sementara hutan-hutan dibabat untuk kepentingan manusia. Padang rumput, lahan luas, persawahan, juga hutan, semula menjadi habitat banyak hewan, tempat mereka hidup dan mencari makan. Di sepetak sawah saja, misalnya, ada banyak bekicot, cacing, ulat, capung, belalang, burung-burung, dan berbagai organisme. 

Sawah-sawah itu tidak hanya menumbuhkan tanaman (padi) untuk keperluan makan manusia, tapi juga memberi penghidupan untuk banyak hewan yang mencari makan di sana. Sawah-sawah itu juga sering berfungsi sebagai tempat penampungan air ketika hujan turun, sehingga banjir tidak sampai terjadi. Sebagai lahan hijau, sawah juga berperan dalam mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor.

Seiring populasi manusia makin bertambah dan kebutuhan hunian terus naik, lahan-lahan untuk perumahan semakin berkurang. Ketika lahan-lahan itu akhirnya habis, sawah-sawah diubah jadi perumahan, ladang dan padang rumput diubah jadi tempat tinggal manusia. Ketika itu terjadi, bukan hanya sawah dan padang rumput yang hilang, tapi juga aneka hewan dan organisme yang semula tinggal di sana. Bekicot makin jarang terlihat, kupu-kupu semakin langka, capung dan belalang entah kemana.

Kebanyakan orang mungkin berpikir, “Kalau memang bekicot, kupu-kupu, capung, dan belalang sekarang punah, lalu kenapa? Wong paling bekicot aja kok pusing!”

Sayangnya, tempat hidup kita adalah sebuah lingkaran yang saling mempengaruhi. Jika satu spesies punah, dampaknya akan mempengaruhi seluruh spesies, termasuk spesies manusia. Jangankan bekicot yang wujudnya jelas terlihat karena relatif besar, wong umpama nyamuk yang punah saja, dampaknya bisa mengerikan—bukan hanya bagi sesama hewan, tapi juga bagi manusia. 

Kalau mau, dengan teknologi yang ada sekarang, para ilmuwan bisa memusnahkan seluruh nyamuk yang ada di muka bumi. Tapi mereka menyadari, jika nyamuk punah, dampaknya akan sangat mengerikan, karena seluruh rantai kehidupan saling terhubung dan saling mempengaruhi. Karenanya, alih-alih memusnahkan seluruh populasi nyamuk, para ilmuwan biasanya hanya mengurangi populasi, itu pun hanya pada nyamuk yang berpotensi berbahaya, semisal aedes aegypti.

Dunia tempat kita tinggal bukan hanya tempat hidup manusia, tapi juga tempat hidup makhluk lain, dari pohon-pohon sampai hewan-hewan. Masing-masing makhluk saling tergantung satu sama lain, dan, jika kita merusak salah satunya, kita sedang merusak kehidupan kita sendiri. Pohon-pohon membantu kita bernapas, hewan-hewan membantu kita mengendalikan alam. Tanpa keberadaan pohon-pohon dan hewan-hewan, manusia akan punah.

Kadang-kadang, kalau sedang kangen masa kecil, saya duduk di samping rumah saya yang kosong, memandangi langit sore hari, berharap dapat melihat burung-burung yang terbang menjelang magrib. Tapi saya tidak pernah lagi melihatnya. Burung-burung itu seperti lenyap, entah kemana.

Saya bukan hanya merasa kehilangan kenangan dari masa kecil, tapi juga menyadari bahwa bumi yang saya tinggali telah menjadi tempat yang berbeda.  

Related

Hoeda's Note 2043978255119525264

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item