Bocah Bernama Ganjar Pranowo

Ilustrasi/ganjarpranowo.com
Di Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, ada sebuah sekolah yang disebut SD 2, terletak di lereng Gunung Lawu. Di masa lalu, sekolah itu hanya punya tiga ruang kelas. Karenanya, sebagian murid ada yang berangkat pagi dan pulang siang, sementara sebagian murid lain berangkat siang dan pulang sore. Mereka bergantian menggunakan ruang-ruang kelas yang terbatas.

Salah satu guru yang mengajar di sana bernama Wagiyo Suratno. Suatu siang, berpuluh tahun yang lalu, hujan turun cukup lebat. Wagiyo telah bersiap di sekolah, menunggu kedatangan murid-murid kelas 3 yang dapat giliran masuk siang. Salah satu murid lalu muncul, dari balik hujan—seorang bocah yang kedua kakinya tampak berlepotan lumpur, sementara sepatunya ia tenteng di tangan.

Melihat bocah itu, yang pastinya berangkat ke sekolah dengan menerobos hujan hingga kakinya berlepotan lumpur, Wagiyo bertanya, “Kenapa tidak kamu pakai sepatumu?”

Bocah itu menjawab, ia sengaja tidak pakai sepatu saat hujan, agar sepatunya tidak rusak kena lumpur. Jadi sengaja ia jinjing, dan baru akan ia pakai setelah sampai di sekolah. Dan memang itu yang kemudian ia lakukan. Setelah membersihkan kakinya dari lumpur, bocah itu mengenakan sepatunya, lalu masuk kelas, mengikuti pelajaran Pak Guru Wagiyo.

Bocah itu bernama Ganjar Pranowo.

Saat Ganjar masih kecil, keluarganya tinggal di Desa Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Makanya ia bersekolah di SD yang dekat tempat tinggalnya. 

Sehari-hari, rumah keluarga Ganjar mengandalkan aliran air dari lereng Gunung Lawu. Kadang-kadang, aliran air itu mampet—tidak mengalir—dan Ganjar harus wira-wiri ke atas untuk mengecek saluran air. Saluran air itu hanya berupa selokan sederhana yang dibuat warga setempat, jadi kadang-kadang tersumbat sesuatu, hingga air tidak mengalir lancar.

Ganjar Pranowo menjalani kehidupan masa kecilnya di sana, dengan segala romantikanya, sampai kelas 5 SD. Setelah itu, keluarganya pindah ke Kutoarjo, Kabupaten Purworejo, karena ayahnya—yang berprofesi sebagai polisi—pindah tempat tugas. Sejak itulah Ganjar berpisah dengan teman-teman masa kecilnya, juga berpisah dengan guru-gurunya di SD, termasuk Wagiyo Suratno.

Di Kutoarjo, Ganjar memulai kehidupan barunya sebagai bocah. Ia belajar di sekolah baru, bertemu teman-teman baru, dan hidup di tempat yang benar-benar baru. Di luar aktivitas sekolah, Ganjar membantu ibunya yang buka warung kecil-kecilan, termasuk menjual bensin eceran, untuk menopang ekonomi keluarga. Ganjar kerap membantu kulakan bensin, menakarnya per liter untuk dimasukkan ke botol, hingga melayani pembeli yang datang.

Kehidupan Ganjar Pranowo adalah kehidupan jutaan bocah di Indonesia; lahir dalam keluarga pas-pasan, jauh dari kemewahan, tidak memiliki privilese, dan sejak kecil telah ditampar kesadaran untuk dewasa sebelum waktunya. 

Ayahnya, seorang polisi berpangkat rendah, memiliki gaji tak seberapa, namun Ganjar mendapat hal penting darinya; kejujuran, pentingnya tanggung jawab, dan integritas. Ibunya, seorang ibu rumah tangga, yang membantu suami menopang keluarga dengan membuka warung kecil-kecilan, mengajarkan kasih sayang dan kerja keras. Sementara kakak dan adiknya memberikan cinta tanpa syarat. Dan Ganjar tumbuh dalam keluarga itu... seorang bocah yang kelak akan mewarnai Indonesia.


Lulus SMA, Ganjar merasa galau. Ia ingin melanjutkan kuliah—impiannya adalah masuk Fakultas Hukum UGM Yogyakarta—tapi waktu itu bertepatan dengan masa pensiun ayahnya. Artinya, orang tuanya tidak akan bisa membiayai kuliahnya. Sementara ia tak bisa mengandalkan siapa pun, karena keluarganya bukan konglomerat.

Sekali lagi, yang dialami Ganjar Pranowo waktu itu adalah hal sama yang dialami jutaan bocah lain di Indonesia; anak-anak yang lulus SMA, yang baru saja membangun impian indah untuk dapat kuliah, mengejar cita-cita, lalu menghadapi realitas pahit yang tak pernah terbayangkan... dan melihat impiannya runtuh. 

Akhirnya, diam-diam Ganjar nekat. Tanpa memberitahu siapa pun, ia mendaftar ke UGM. Mungkin yang ia lakukan waktu itu semacam “iseng-iseng berhadiah”—kalau diterima ya syukur, kalau tidak diterima ya tidak apa-apa karena memang tidak ada biaya. Sialnya, atau untungnya, Ganjar diterima kuliah di UGM, dan dia kebingungan bagaimana mengabarkan hal itu pada orang tuanya.

Orang pertama yang tahu kabar itu adalah ibunya. Ganjar mengaku pada ibunya kalau dia mendaftar ke UGM, dan diterima, “Tapi saya bingung,” kata Ganjar pada ibunya, “karena saya tahu keadaan keluarga kita seperti apa.” 

Setelah menyampaikan pengakuan itu, tangis Ganjar pecah. Ia tidak tahu apakah orang tuanya akan mendukung impiannya untuk kuliah di UGM... ataukah akan menyerah pada keadaan dan mematikan impian anaknya.

Keluarga Ganjar lalu berembuk, dan menghasilkan keputusan mendukung Ganjar kuliah, meski untuk itu harus mengorbankan yang lain. Dua kakak Ganjar—yang biasa ia panggil Mbak Watik dan Mas Joko—rela berhenti kuliah, agar biayanya bisa dialihkan untuk Ganjar. “Wis rapopo,” kata Joko pada Ganjar waktu itu, “biar aku sama Watik nggak sekolah, yang penting kamu bisa sekolah lagi.”

Sadar bahwa kuliahnya dibiayai pengorbanan yang begitu besar dari keluarganya, Ganjar Pranowo tidak menyia-nyiakan kepercayaan mereka. Ia berkuliah dengan baik... dan selanjutnya adalah sejarah.

Bertahun-tahun kemudian, bocah dari lereng Gunung Lawu, yang kadang berangkat sekolah tanpa pakai sepatu, yang sewaktu-waktu harus mengecek aliran air rumahnya karena mampet, yang saban hari berjualan bensin untuk membantu ibunya, yang kuliah dengan biaya pengorbanan dan air mata... menjadi Gubernur Jawa Tengah dua periode, dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyatnya.

Gubernur Ganjar Pranowo bukan hanya pemimpin yang mengemban tanggung jawab dengan integritas, tapi juga mewakili perjalanan hidup jutaan bocah di Indonesia. Ia tidak lahir dengan sendok emas di tangan, tidak tumbuh dengan tumpukan privilese, pun tidak membangun karier dengan koneksi keluarga. Sebaliknya, ia lahir dalam kemiskinan, tumbuh dari bawah dengan perjuangan dan kerja keras. Ketika ia berada di atas, menjadi orang nomor satu di Jawa Tengah, kebijakan-kebijakannya pun menyentuh rakyat bawah.

Orang tidak akan tahu apa itu kemiskinan, jika tidak pernah menjalaninya. Orang tidak akan tahu apa itu kenyataan, jika hanya berkutat dengan tumpukan teori. Orang tidak akan tahu seperti apa rasanya hidup susah, jika sejak lahir hidup dalam kemewahan keluarga. 

Ganjar Pranowo tahu apa itu kemiskinan, karena ia bocah miskin. Dan karena ia tahu apa itu kemiskinan, ia pun tahu bagaimana membuat kebijakan yang membantu orang-orang miskin. 

Ganjar Pranowo tahu bagaimana rasanya hidup susah, karena ia telah susah sejak kecil. Dan karena ia tahu seperti apa rasanya hidup susah, ia pun tahu cara membantu rakyatnya untuk terangkat dari kesusahan. 

Ganjar Pranowo tahu apa itu kenyataan, karena ia telah ditampar kenyataan hingga dewasa sebelum waktunya. Dan karena ia tahu apa itu kenyataan, ia pun tahu bagaimana cara menghadapinya... bukan sekadar berteori dan mewacanakannya.

Selama menjabat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengangkat lebih dari satu juta orang dari kemiskinan, membangun dan memperbaiki ribuan rumah untuk keluarga yang membutuhkan, menghidupkan puluhan ribu usaha kecil yang semula stagnan dan sekarat, mewujudkan desa-desa wisata agar rakyat berdikari, membangun puluhan puskesmas agar warga lebih mudah mengakses layanan kesehatan, menyediakan sekolah-sekolah untuk anak-anak tidak mampu serta anak-anak disabilitas, menaikkan gaji guru yang semula pas-pasan, dan... seiring dengan itu, ia menghabisi praktik pungli dan korupsi.

Kalau mau, daftar itu bisa diperpanjang dan diperpanjang lagi, karena begitu banyak yang telah dilakukan Ganjar Pranowo selama menjabat Gubernur Jawa Tengah. Dari pembangunan jalan yang mencapai lebih dari 10 ribu kilometer, revitalisasi 79 pasar tradisional, membangun lebih dari 40.000 jamban untuk warga miskin, menginisiasi pembangunan 3 bandara baru dan 17 mal pelayanan publik, hingga membangkitkan 120 kelompok seni tradisi desa. 

Di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo, Jawa Tengah juga menjadi provinsi paling berintegritas, sekaligus peraih Juara Umum Antikorupsi menurut KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Dengan e-budgeting, provinsi Jawa Tengah berhasil menyelamatkan uang negara hingga mencapai Rp1 triliun. Aneka penghargaan dan apresiasi yang telah diterima Ganjar Pranowo, baik sebagai gubernur maupun sebagai pribadi, adalah bukti dari semua pencapaiannya.

Meski begitu, Ganjar Pranowo tetap seorang bocah dari lereng Gunung Lawu. Di luar prestasi dan aneka pencapaiannya untuk rakyat, dia tetap sosok sederhana yang bisa bercanda dan tertawa bersama rakyat, yang bisa duduk beralas tikar dan makan bersama warga kampung, yang ucapan dan guyonannya tetap relate dengan kalangan masyarakat bawah. 

Ia tidak menciptakan jarak sebagaimana umumnya pejabat; sebaliknya, ia justru menghilangkan jarak. Rakyat mudah mendekatinya, dan rakyat melihat diri mereka pada diri Ganjar Pranowo.

Faktanya, Ganjar Pranowo tetap seorang bocah, khususnya di mata gurunya di zaman SD, Wagiyo Suratno. Suatu hari, ketika telah menjadi gubernur, Ganjar mengunjungi gurunya, dan Wagiyo terkejut. Wagiyo masih ingat, inilah bocah yang dulu datang ke sekolah sambil menenteng sepatu di kala hujan, yang kakinya berlepotan lumpur. Dan sekarang bocah itu telah jadi gubernur. Tetapi, yang membuat mata Wagiyo berkaca-kaca, bocah itu masih ingat pada guru yang dulu mendidiknya. 

Belakangan, ketika Ganjar Pranowo menjadi calon presiden Indonesia, Wagiyo Suratno punya harapan istimewa, “Semoga Allah mengabulkan permohonan kita agar Ganjar Pranowo dapat memimpin Indonesia.”

Selamat ulang tahun, Pak Ganjar Pranowo. Selalu sehat dan panjang umur. Tetaplah menjadi pribadi yang baik, suami yang setia, dan ayah yang dibanggakan anaknya. Di atas semua itu, tetaplah menjadi pemimpin merakyat yang dicintai rakyatnya. Indonesia membutuhkan panjenengan.

Related

Hoeda's Note 4144288087257276171

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item