Skripsi Dihapus, dan Kisah-kisah yang Tercecer

Ilustrasi/kompas.com
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), bikin aturan baru terkait kelulusan mahasiswa. Jika sebelumnya mahasiswa harus bikin skripsi agar bisa lulus kuliah, wisuda, dan mendapat gelar, sekarang mahasiswa dapat lulus tanpa harus bikin skripsi. Menurut saya, ini peristiwa penting di dunia pendidikan yang layak kita apresiasi.

Dulu, ketika kuliah S1, saya tidak sampai lulus. Saya hanya menyelesaikan seluruh mata kuliah, lalu memutuskan drop out. Jadi, saya tidak sempat bikin skripsi, tidak sempat mengikuti KKN juga praktik lain, dan, tentu saja, tidak menjalani wisuda serta tidak mendapat gelar. Meski begitu, saya cukup tahu bagaimana ribetnya urusan pembuatan skripsi, serta kegiatan KKN yang bisa dibilang tidak jelas faedahnya.

Sebelum melanjutkan, saya perlu ngasih disclaimer terlebih dulu, bahwa uraian ini didasarkan pada kampus saya dulu, di era ketika WhatsApp belum populer seperti sekarang. Jadi jika yang saya alami atau yang saya lihat berbeda dengan yang terjadi di kampusmu, khususnya di masa sekarang, ya harap maklum.

Di kampus saya, urusan pembuatan skripsi bisa sangat ribet dan sangat melelahkan. Setiap mahasiswa yang bikin skipsi akan mendapat dosen pembimbing. Syukur kalau dosen pembimbingnya tergolong friendly, sehingga urusannya lebih enak dan nyaman. Apesnya kalau dapat dosen pembimbing yang sepertinya jadi “orang paling sibuk di dunia”.

Waktu masih kuliah dulu, saya sering nyangkruk dengan kakak-kakak tingkat yang lagi menggarap skripsi. Rata-rata mereka mengeluh bahwa yang paling ribet dalam urusan pembuatan skripsi bukan proses penulisannya, bukan juga mencari sumber referensinya, tapi urusan dengan dosen pembimbing. Ada dosen-dosen yang sepertinya tidak pernah terlihat ketika sedang dibutuhkan untuk konsultasi skripsi. Akibatnya, mahasiswa yang terkait dengannya harus “luntang-lantung” di kampus tanpa kejelasan.

Suatu hari, misalnya, seorang mahasiswa perlu menyetor bab skripsinya ke dosen pembimbing. Tetapi, dosen bersangkutan sedang tidak ada di kampus. Si mahasiswa sering harus menunggu lama, bolak-balik ke kantornya, memastikan apakah si dosen sudah datang atau belum. Biasanya, si mahasiswa sudah datang ke kampus sejak pagi, dan menunggu sampai tengah hari. Hanya untuk setor bab skripsi! 

“Ini yang paling menyita waktu,” keluh rata-rata mahasiswa yang lagi proses pembuatan skripsi.

Karena waktu itu belum ada WhatsApp, komunikasi dengan dosen pembimbing tidak semudah sekarang. Sementara kalau dihubungi lewat SMS, sering kali si dosen tidak membalas. Beberapa mahasiswa beruntung karena mampu membeli pulsa ponsel yang relatif mahal, dan menelepon ponsel dosen pembimbingnya, lalu menentukan waktu pertemuan. Tetapi bahkan seperti itu pun, urusannya sering kali tidak mudah.

Ada cerita, misalnya, seorang mahasiswa diminta datang ke rumah dosen pembimbingnya, setelah menelepon. Ketika sampai di rumah dosen, si mahasiswa berpikir dia tinggal menyodorkan bab skripsinya, lalu dosen akan mempelajari, memberikan masukan, dan si mahasiswa bisa pulang. Ternyata tidak. Ketika dia sampai di rumah dosen, dia diminta menjagai anaknya yang masih kecil, karena si dosen ternyata ada acara bareng istrinya. Sampai lama mahasiswa itu menemani anak si dosen, hingga akhirnya si dosen pulang dari acaranya.

Itu hanya secuil cerita yang pernah terjadi, tentang bagaimana ribetnya urusan skripsi dengan dosen pembimbing. Menurut kakak-kakak tingkat saya di kampus, bimbingan skripsi adalah moment ketika para dosen mendapatkan waktu untuk “merasa dirinya sangat penting”. Karena mahasiswa akan mencari-cari si dosen, menunggunya sampai seharian di kampus, atau bahkan terpaksa datang ke rumahnya, demi mendapat coretan-coretan pada skripsinya.

Idealnya, dosen pembimbing skripsi telah memiliki jadwal tetap di kampus, sehingga mahasiswa yang menggarap skripsi bisa tahu kapan menemui dosen pembimbingnya di kampus, saat memerlukan. Tapi sepertinya tidak ada jadwal atau peraturan khusus seperti itu. Akibatnya, dosen pembimbing jadi seperti “seenaknya” dalam menemui mahasiswa yang butuh bimbingan skripsi—bisa di kampus, di rumah, atau bahkan di tempat lain. 

Padahal, ada anggaran khusus untuk dosen-dosen yang jadi pembimbing skripsi mahasiswa. Umumnya, mahasiswa [di kampus saya] menggarap skripsi dalam waktu satu semester, setelah seluruh mata kuliah selesai, sehingga biaya semesterannya digunakan untuk membayar dosen pembimbing. Artinya, dosen-dosen itu dibayar untuk jadi pembimbing skripsi, bukan kerja gratisan. Tetapi, di mata para mahasiswa, dosen-dosen itu seperti seenaknya sendiri.

Gara-gara sering melihat kakak-kakak tingkat di kampus frustrasi saat menggarap skripsi, saya sampai skeptis dan tidak punya minat untuk juga membuat skripsi. Mungkin saya punya kemampuan untuk menulis skripsi. Tapi saya tidak yakin punya kemampuan untuk berurusan dengan dosen pembimbing menyebalkan, yang sangat menguras kesabaran. Kenyataannya, saya memang drop out dari kampus sebelum repot-repot bikin skripsi. 

Memang, tidak semua dosen pembimbing skripsi pasti menyebalkan. Ada pula dosen-dosen di kampus saya yang benar-benar bertanggung jawab pada mahasiswa yang dibimbingnya. Salah satu kisah yang masih saya ingat sampai sekarang adalah kisah Lily—kakak tingkat yang akrab dengan saya—ketika dia dalam proses penggarapan skripsi.

Lily mendapat dosen pembimbing yang sangat baik dan bertanggung jawab. Setiap kali Lily perlu bertemu, si dosen selalu stand by di kampus, sehingga mudah ditemui. Urusan dengan dosen itu juga tidak ribet-ribet amat. Setiap kali Lily menyetorkan bab skripsinya, dosen pembimbing mengatakan, “Saya akan bawa dulu, untuk saya pelajari di rumah. Besok temui saya kembali di kampus.”

Besoknya, Lily kembali menemui dosen itu di kantornya, di kampus, dan skripsinya sudah penuh catatan atau saran perbaikan. Setelah bagian yang dicorat-coret itu diperbaiki, masalah selesai, dan Lily bisa lanjut ke bab berikutnya. Menurut Lily, dia sangat menyukai dosen pembimbingnya, karena begitu perhatian, sabar, sekaligus bertanggung jawab.

Suatu waktu, Lily kembali akan menyetorkan bab skripsinya, namun si dosen tidak ada di kampus. Ketika Lily mengirim SMS, dosennya membalas dan mengatakan bahwa Lily bisa membawa skripsinya ke rumah. “Nanti sekalian saya pelajari, biar bisa kamu tunggu.”

Sore harinya, Lily berangkat ke rumah dosen pembimbingnya, dengan membawa sekeranjang buah-buahan, sebagai ucapan terima kasih karena telah dibimbing dengan baik dalam pengerjaan skripsi.

Dosen pembimbing Lily menepati janjinya. Dia memeriksa bab skripsi Lily, memberikan catatan dan saran perbaikan, hingga Lily bisa membawanya kembali saat itu juga. Ketika Lily berpamitan untuk pulang, dosennya berkata, “Maaf, tolong bawa kembali keranjang buahnya. Terima kasih atas pemberian kamu, tapi saya tidak bisa menerimanya.”

Lily kebingungan, dan berusaha menjelaskan kalau itu pemberiannya sebagai ucapan terima kasih, karena telah dibimbing dalam pengerjaan skripsi. Dosennya menyahut, “Itu sudah tugas saya, membimbingmu, memastikanmu membuat skripsi dengan baik dan benar. Kamu tidak perlu memberi saya apapun, dan saya juga tidak berhak menerimanya.”

Akhirnya, Lily membawa kembali keranjang buahnya, dan peristiwa itu meninggalkan kesan amat dalam di hatinya. Di antara dosen-dosen pembimbing skripsi yang mengesalkan, dia beruntung mendapat dosen pembimbing yang sangat baik, penuh dedikasi, dan sangat bertanggung jawab atas tugasnya; memastikan Lily menyelesaikan skripsinya dengan baik, hingga akhirnya wisuda dan mendapatkan gelarnya.

Kini, Mendikbudristek Nadiem Makarim menghapus tugas pembuatan skripsi untuk mahasiswa, hingga siapa pun yang kuliah bisa lulus tanpa harus repot menyusun skripsi, tanpa harus ribet berurusan dengan dosen pembimbing yang ngeselin, dan hal-hal terkait lainnya. Namun, mungkin pula ada mahasiswa yang tidak sempat mengenali dosennya yang begitu baik dan berdedikasi, seperti yang dialami Lily.

Proses penulisan dan bimbingan skripsi selama satu semester sering kali menjadi saat-saat yang sangat menguras pikiran dan energi mahasiswa. Kadang-kadang, itu juga menjadi saat-saat mahasiswa mengenali sosok asli dosennya.

Related

Pendidikan 6330771177826012022

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item