Rezeki Tidak Akan Tertukar, Katanya

Ilustrasi/evermos.com
Banyak orang, khususnya di Indonesia, yang percaya bahwa “rezeki tidak akan tertukar”. Maksud kepercayaan itu adalah “jika sesuatu memang dimaksudkan atau ditakdirkan untukmu, maka akan datang kepadamu, entah bagaimana jalannya. Sebaliknya, jika sesuatu tidak ditakdirkan untukmu, maka tidak akan datang kepadamu, meski kamu mati-matian mengejarnya.”

Dalam sebagian hal, kepercayaan semacam itu memang terbukti—pada sebagian orang. Misal, kalau kita masuk pasar, kita akan melihat deretan penjual yang menawarkan aneka barang. Ada yang berjualan pakaian, makanan, barang-barang rumah tangga, dan lain-lain. Meski para penjual itu berdagang di tempat sama, namun rezeki mereka “tidak tertukar”. Karena pembeli akan mendatangi mereka, sesuai keperluannya.

Orang yang masuk ke pasar dengan maksud membeli beras, misalnya, umumnya akan menuju lapak beras, dan si penjual beras mendapat rezeki dari penjualannya. Begitu pun, orang yang mau membeli pakaian tentu akan datang ke penjual pakaian, dan si penjual pakaian mendapat rezeki dari dagangannya. Dan begitu seterusnya. Karenanya, para penjual di pasar rata-rata rukun, meski saling bersaing di tempat yang sama, karena mereka percaya bahwa “rezeki tidak akan tertukar”.

Jangankan berjualan barang yang berbeda, bahkan ketika berjualan barang yang sama pun, mereka tetap rukun, karena, lagi-lagi, percaya bahwa rezeki tidak akan tertukar. Di pasar, kita pasti sering mendapati ada penjual daging ayam yang bersisian, atau bahkan di satu deret isinya penjual daging ayam semua. Tapi mereka tetap rukun, karena percaya bahwa masing-masing mereka telah mendapat takaran rezeki sendiri-sendiri, dan rezeki tidak akan tertukar.

Karena latar belakang itu, banyak orang yang sampai meyakini bahwa “pekerjaan bisa ditiru, tapi rezeki tidak bisa ditiru.” Maksudnya, kita mungkin bisa meniru kerja atau usaha seseorang, tapi kita tidak bisa meniru/menduplikasi rezekinya.

Misal, kita melihat ada penjual bakso yang sangat laris. Terinspirasi hal itu, kita terpikir untuk berjualan bakso, agar sama laris dan mendapat banyak keuntungan. Kita bisa meniru usaha atau pekerjaannya (berjualan bakso), tapi apakah bakso kita pasti akan laris seperti orang yang kita tiru? Belum tentu! Karena “pekerjaan bisa ditiru, tapi rezeki tidak bisa ditiru.” Dan “rezeki tidak akan tertukar”.

Sampai di sini, kedengarannya baik-baik saja, ya? 

Tetapi, kemudian, kesadaran kita tertampar ketika artis-artis terkenal memasuki wilayah usaha kita, dan mengambil pekerjaan kita. Berjualan beras, berjualan baju, berjualan sembako—yang semula adalah usaha kita—tiba-tiba diambil mereka. Pasar yang semula ramai tiba-tiba sepi, karena para pembeli berpindah tempat, menuju ke pasar lain yang para penjualnya artis-artis terkenal. 

Kita sedang memasuki era baru, dan tesis “rezeki tidak akan tertukar” sedang diuji. Kita sedang dihadapkan pada kenyataan baru, untuk melihat dan membuktikan kebenaran-kebenaran yang selama ini kita yakini. 

Sejak internet semakin merangsek kehidupan manusia, berbagai hal terjadi, dan berubah, dari gaya hidup sampai aneka disrupsi di dunia bisnis. Dulu, kita hanya mengenal pasar di dunia nyata, entah pasar tradisional maupun pasar modern yang kita sebut swalayan. Ketika internet lahir, dunia maya juga membangun pasar-pasar sendiri, yang kita sebut marketplace. Di marketplace, sekarang, kita bahkan mendapati pasar yang jauh lebih besar, lebih lengkap, dan lebih memudahkan saat kita mencari apapun.

Sampai di situ, peralihan besar-besaran telah mulai terjadi, khususnya di Indonesia. Orang-orang yang tadinya membeli aneka barang di pasar dunia nyata, beralih ke pasar dunia maya. Karena memang jauh lebih besar, lebih lengkap, dan lebih mudah.

Di marketplace atau pasar dunia maya, kita tidak perlu keluar rumah, tidak perlu menghadapi kemacetan, tidak perlu repot mencari tempat parkir kendaraan, tidak perlu capek berkeliling pasar, tidak perlu berdesak-desakan, bahkan tidak perlu bangkit dari tempat duduk! Kita hanya perlu membuka marketplace di smartphone atau PC, memasukkan kata kunci barang yang kita butuhkan, pilih, lalu bayar. Selesai. Besoknya, kurir mengirimkan barang yang kita beli ke rumah.

Karenanya, seiring berkembangnya marketplace di dunia maya, pasar-pasar atau swalayan di dunia nyata semakin sepi, bahkan sebagian swalayan sampai tutup karena tak mampu bersaing dengan marketplace. Tapi itu rupanya belum klimaks. 

Klimaksnya baru terjadi ketika TikTok Shop mulai muncul, dan seketika jutaan orang berteriak panik.

Secara sederhana, TikTok Shop adalah platform jual beli yang menggunakan fasilitas aplikasi TikTok. Di TikTok Shop, siapa pun bisa tampil live dan menjual apapun, dan orang-orang (para penonton) bisa langsung membeli. Dulu, para pengguna TikTok Shop adalah orang-orang biasa yang berjualan aneka barang, dari kebutuhan sehari-hari sampai aneka pernak pernik. Belakangan, artis-artis terkenal ikut masuk ke TikTok Shop, berjualan hal yang sama, dan seketika semua pasar jadi sepi.

Artis-artis terkenal itu sama berjualan kebutuhan sehari-hari, dari beras sampai bawang goreng. Dan orang-orang langsung tertarik membeli pada mereka, karena... kapan lagi bisa beli beras pada artis terkenal? Terbukti, omset artis-artis itu mencapai miliaran rupiah dalam setiap kali live! Saya ulangi, dalam setiap kali live! Jika sehari mereka live satu kali saja, mereka sudah mengantongi miliaran rupiah! Kalikan itu dengan tujuh dalam seminggu, atau tiga puluh dalam sebulan!

Yang menjadikan artis-artis itu seketika mampu mengeruk uang dari perdagangan di TikTok Shop adalah karena popularitas yang mereka miliki, jumlah follower, dan algoritma. Tiga hal itu berpihak pada mereka, tapi tidak berpihak pada orang-orang biasa atau masyarakat umum seperti kita.
  
Dan sekarang kita menyaksikan dampaknya yang mengerikan. Pasar-pasar di dunia nyata kini sepi. Para penjual di Tanah Abang Jakarta, misalnya, rata-rata mengeluh omset mereka turun drastis sejak para artis muncul di TikTok Shop dan menjual aneka barang yang sama.

Sebagian orang menyarankan agar para pedagang di pasar-pasar tradisional juga ikut berdagang di TikTok Shop, sebagai upaya adaptasi pada kemajuan teknologi—jangan hanya mengeluh, kata mereka. 

Sebenarnya, para pedagang di pasar-pasar itu telah mencoba. Mereka telah mencoba berdagang di TikTok Shop, berharap mendapat rezeki dari usahanya, tapi mereka menghadapi kenyataan pahit. Berjam-jam melakukan live, bahkan ada yang sampai live seharian penuh, tapi tidak ada yang beli!

Di sini, kita tidak berhadapan dengan takdir yang gaib, tapi berhadapan dengan algoritma! Dan algoritma berpihak pada yang populer. Kalau kamu jualan beras di TikTok Shop, misalnya, sementara Deddy Corbuzier juga jualan beras di platform yang sama, hasilnya sudah bisa diprediksi; lapakmu akan sepi seperti kuburan, sementara lapak Deddy Corbuzier akan seramai pasar malam! 

[Catatan; saya hanya meminjam nama Deddy Corbuzier sebagai ilustrasi, faktanya dia tidak berjualan beras di TikTok Shop!]

Itulah yang kini terjadi. Orang-orang biasa, masyarakat umum, kini bersaing dengan para artis dan orang-orang terkenal, berjualan di tempat yang sama, memperdagangkan barang-barang yang sama. Bahkan sambil merem pun kita bisa memprediksi apa yang akan terjadi... dan kenyataannya sudah terjadi. Para artis dan orang-orang terkenal mengeruk miliaran setiap kali live yang hanya beberapa menit, sementara masyarakat umum live seharian tapi tak berhasil menjual apapun.

“Rezeki tidak akan tertukar,” katanya. Sekarang kita berhadapan dengan fakta yang menguji keyakinan itu, dan kita bisa melihat langsung kebenarannya. Pasar di TikTok semakin ramai, pasar di dunia nyata semakin sepi.

“Orang bisa meniru pekerjaan atau usaha kita, tapi tidak bisa meniru rezeki kita,” katanya. Sekarang, para artis meniru usaha atau pekerjaan orang lain—berjualan beras, berdagang sembako—dan mereka bukan hanya berhasil meniru rezeki orang-orang yang mereka tiru, tapi bahkan bisa melipatgandakannya ribuan kali! Orang-orang yang mereka tiru dulunya berdagang seharian di pasar, dengan omset tak seberapa. Tapi para artis hanya berdagang selama beberapa menit atau beberapa jam, dan omsetnya miliaran.

Tentu saja, kita boleh tetap percaya bahwa rezeki tidak akan tertukar, bahwa masing-masing orang punya takaran rezeki sendiri-sendiri, bahwa orang bisa meniru usaha orang lain tapi tidak bisa meniru rezekinya, dan lain-lain. Tetapi, kehidupan ini tidak berjalan dengan berdasar pada hal-hal yang kita yakini. 

Sama seperti kita meyakini rumah tidak akan kebanjiran, tapi air tidak peduli dengan keyakinan kita. Kalau saatnya meluap, air tetap berubah jadi banjir, dan bisa masuk ke rumah kita, meski kita mati-matian meyakini bahwa rumah kita tidak akan kebanjiran.

Keyakinan, terkait rezeki, itu penting. Agar kita dapat berpikir positif dan bekerja dengan baik. Tapi pengetahuan terkait hal itu tak kalah penting, agar mata dan pikiran kita terbuka, dan tidak hanya terbuai oleh kata yakin.

Omong-omong, Rancangan Undang-Undang Publisher Right, yang sempat heboh tempo hari, salah satunya dimaksudkan untuk mengatur hal-hal seperti ini, dan di antara sasaran tembak RUU itu adalah TikTok. Karena aplikasi satu itu tidak hanya meresahkan masyarakat luas, tapi juga meresahkan pemerintah, sehingga pemerintah merasa perlu membuat regulasi khusus untuk menanganinya. 

Faktanya, kita memang harus memaksa pemerintah untuk mengatur masalah ini, agar TikTok tidak menjadi “pasar tidak jelas” yang menciptakan monopoli perdagangan hingga mematikan jutaan pedagang lain. Pemerintah harus turun tangan, menetapkan regulasi yang jelas, membuat aturan dagang yang berkeadilan, agar, setidaknya, rezeki benar-benar tidak tertukar.

Related

Hoeda's Note 8757983585843392207

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item