Martabak, Mi Tek Tek, dan Pilihan Hidup
https://www.belajarsampaimati.com/2023/09/martabak-mi-tek-tek-dan-pilihan-hidup.html
Ilustrasi/tribunnewswiki.com |
Martabak bisa menghangatkan hati saya, karena makanan enak itu mengingatkan pada pertemanan yang tulus. Iwan dan saya telah berteman sejak remaja, dan kami sama-sama suka martabak. Di masa lalu, saat ingin menikmati martabak, dan kebetulan punya sedikit uang, kami “urunan” untuk beli martabak. Ya maklum, waktu itu sama-sama miskin, dan harga martabak relatif mahal [untuk ukuran kami waktu itu].
Saya masih bisa mengingat masa-masa itu, ketika menggabungkan uang yang kami miliki, lalu pergi ke tempat penjual martabak, berdebar senang saat menunggu martabak dibuat, kemudian menikmatinya bersama.
Seiring perjalanan waktu, usia kami terus bertambah, dan masih suka martabak. Bedanya, kami tidak lagi urunan untuk beli martabak, karena mulai bisa menghasilkan uang cukup. Jadi, kalau saya dolan ke rumah Iwan, biasanya saya akan bawa martabak, lalu menikmatinya bersama di rumahnya. Sebaliknya, saat Iwan dolan ke rumah saya, dia juga sering bawa martabak. Makanan itu seperti jadi simbol pertemanan kami.
Lalu, suatu waktu, Iwan pergi merantau ke Kalimantan. Sejak itu, kami sangat jarang ketemu. Biasanya, kami ketemu pas lebaran, tapi itu pun belum tentu, karena Iwan kadang tidak pulang pas lebaran. Menurutnya, dia baru bisa pulang kalau pekerjaan sedang sepi, sehingga bisa ditinggal sampai cukup lama.
Ada suatu waktu ketika saya tidak bertemu Iwan sampai empat tahun lamanya. Lalu suatu siang, Iwan berkirim pesan ke ponsel saya, mengabari kalau dia pulang, dan ingin dolan. Saya pun membalas pesannya dengan senang.
“Nanti malam aku ke rumahmu,” tulisnya di chat.
Malam harinya, saya langsung membeli martabak untuk menyambut kedatangan Iwan. Martabak itu masih hangat, ketika Iwan sampai di rumah saya, dan kami saling melepas kangen. Saya sudah membayangkan kami akan menikmati martabak berdua seperti di masa lalu, dan bercakap-cakap sampai martabak benar-benar tandas.
Tapi bayangan saya keliru.
Ketika mendapati saya menyuguhkan martabak di depannya, dan memintanya untuk menikmati, Iwan tampak serbasalah. Dengan nada tidak nyaman, Iwan mengatakan, “Sekarang aku tidak makan martabak.”
Saya kaget. “Kenapa?”
Iwan makin tampak serbasalah. “Sudah setahun lebih aku tidak makan martabak,” ujarnya. “Karena... maaf, tiap kali makan martabak, perutku akan sakit luar biasa.”
Saya makin kaget. “Kok bisa?”
“Aku juga tidak tahu,” jawab Iwan. Dia lalu menceritakan, “Sekitar dua tahun lalu, aku masih makan martabak, dan kadang perutku terasa sakit. Tapi waktu itu aku belum sadar kalau sakit perut yang kualami disebabkan martabak. Aku masih terus makan martabak, dan sakit perutku makin parah. Akhirnya aku sadar, sakit perut yang kualami karena makan martabak. Sejak itu, aku terpaksa berhenti makan martabak... sampai sekarang.”
Iwan menatap martabak yang saya suguhkan di depannya, dan dia berkata perlahan, “Sejujurnya, ini sangat menyiksaku. Di satu sisi, aku sangat menyukai martabak. Tapi di sisi lain, perutku sekarang sensitif dengan martabak, hingga aku sakit perut tiap kali memakannya. Aku sudah periksa ke dokter, dan dokter juga ngasih saran yang sudah kuduga. Sepertinya aku harus meninggalkan martabak.”
Kisah Iwan tampaknya relate dengan kisah adik saya.
Saya maupun adik saya sama-sama suka mi tek tek (mi kuah yang biasa dijajakan pedagang keliling). Karenanya, kami pun sering membeli mi tek tek, karena penjual mi tek tek memang bisa dibilang ada di mana-mana.
Lalu, suatu waktu, adik saya mengeluh perutnya sering sakit. Semula dia tidak tahu apa penyebabnya. Lama-lama, dia sadar. Jika suatu malam (misal habis isya) dia makan mi tek tek, perutnya akan sangat sakit di tengah malam, ketika dia sedang tidur. Sebegitu sakit, sampai adik saya terbangun dari tidur sambil kesakitan memegangi perutnya.
Setelah menyadari penyebab sakit perutnya itu, adik saya pun berhati-hati. Sama seperti Iwan yang tak lagi makan martabak, adik saya juga berhenti makan mi tek tek.
Mengapa ada orang yang sakit perut ketika makan martabak, padahal dulunya tidak mengalami masalah apa-apa? Mengapa ada orang sakit perut ketika makan mi tek tek, padahal dulunya tidak?
Ketika Iwan mengonsultasikan masalah itu ke dokter, ia diberi penjelasan bahwa—saya sederhanakan menggunakan kalimat saya—perut kita kadang tidak bisa lagi mencerna suatu makanan dengan baik, karena faktor usia dan/atau gaya hidup.
Ketika masih remaja dulu, Iwan baik-baik saja ketika makan martabak. Perutnya, pencernaannya, tidak ada masalah. Namun, ketika usianya beranjak dewasa, ditambah Iwan sering telat makan, perutnya mulai kurang mampu mencerna martabak dengan baik, hingga menimbulkan sakit perut.
Bagaimana dengan adik saya? Adik saya tidak masalah makan mi instan, tidak masalah makan mi ayam, juga tidak masalah saat makan mi yang lain, tapi perutnya bermasalah ketika makan mi tek tek. Artinya, bukan mi yang menyebabkan masalah sakit perutnya, tapi bumbunya. Hal itulah yang dikatakan dokter, ketika adik saya memeriksakan masalahnya. Menurut dokter, ada bumbu pada mi tek tek yang merangsang pencernaan adik saya, hingga perutnya sakit.
Dari kasus Iwan maupun kasus adik saya, kita melihat sesuatu yang penting. Bahwa orang kadang menolak suatu makanan—dalam arti tidak mau memakannya—karena alasan atau latar belakang tertentu, yang di luar kuasanya.
Iwan sangat suka makan martabak, tapi dia menolak makan martabak ketika saya menyuguhkannya. Bukan apa-apa, tapi karena kondisi tubuhnya yang mengharuskan dia tidak memakan martabak.
Begitu pun adik saya. Dia sangat suka mi tek tek. Tapi dia sekarang tidak berani makan mi tek tek. Bukan apa-apa, tapi karena kondisi tubuhnya yang mengharuskan dia tidak lagi makan mi tek tek.
Kondisi fisik orang per orang, kondisi perut dan organ pencernaan orang per orang, bisa berbeda-beda. Kalau kita bisa asyik makan makanan tertentu, bukan berarti semua orang juga sama. Bahkan, kalau kita menyukai makanan tertentu, bukan berarti semua orang juga harus suka. Ini hal sepele, yang mestinya semua orang sudah tahu tanpa harus diberi tahu.
Saya sangat suka minum teh, khususnya teh hangat, bahkan menganggap teh hangat adalah minuman terbaik untuk keseharian. Suatu waktu, saya mendapati ada orang yang terang-terangan mengatakan tidak doyan minum teh. Kenapa? Ternyata, dia alergi dengan teh. Jika dia memaksa diri minum teh, tubuhnya akan terasa tidak nyaman, dari muncul gatal-gatal, kaki dan tangan kesemutan, sampai bibir yang tiba-tiba membengkak.
Fakta-fakta ini dengan jelas menunjukkan bahwa masing-masing orang memiliki kondisi fisik berbeda-beda, dan tidak bisa disamaratakan, apalagi disamaratakan dengan diri kita.
Kalau kita suka martabak, dan ada orang lain yang tidak doyan martabak, tidak usah ngamuk! Kalau kita suka makan mi tek tek, dan ada orang lain menjauhi mi tek tek, tidak usah marah! Kalau kita suka minum teh, dan ada orang lain yang justru alergi minum teh, ya maklumi saja. Wong nyatanya setiap orang berbeda, dan selalu bisa berbeda.
Dan kalau kondisi fisik saja bisa berbeda, apalagi kondisi kehidupan yang dijalani orang per orang?
Masing-masing kita menjalani kehidupan berbeda-beda, dengan jalan hidup berbeda-beda, dengan pengalaman berbeda-beda. Karenanya, masing-masing orang punya pemikiran yang juga berbeda-beda. Kita tidak bisa menggunakan diri sendiri untuk mengukur orang-orang lain, karena kehidupan yang kita jalani belum tentu sama dengan mereka.
Kalau kita memilih menikah di usia muda, misalnya, bukan berarti semua orang harus sama seperti kita. Kalau kita memutuskan buru-buru punya anak, bukan berarti semua pasangan harus sama seperti kita.
Setiap orang punya kehidupan sendiri, dengan masalah dan pengalaman masing-masing, yang berbeda dengan kita. Apa pun keputusan dan pilihan hidup mereka, tentunya ada pemikiran dan latar belakang tertentu yang tidak kita tahu. Dan kalau kita memang tidak tahu, kenapa harus bersikap sok tahu?
Setiap kali kita ingin memaksakan sesuatu pada orang lain, apalagi terkait pilihan-pilihan hidup, ada baiknya untuk berhenti sejenak, dan menanyakan pertanyaan ini pada diri sendiri, “Aku ini siapa, sampai merasa berhak mengatur-atur pilihan hidup orang lain?”