Manusia dan Ketidakpastian Hidup

Ilustrasi/storiloka.com
Bertahun lalu, ketika masih bekerja di pabrik batik, salah satu teman kerja saya bernama Mulyono. Kami berteman karib, dan pertemanan itu masih terjalin sampai sekarang. Dia orang sederhana, tidak suka neko-neko, dan bisa dipercaya. Saya kerap dolan ke rumahnya, dan biasanya kami duduk di teras rumah, ngobrol sambil menikmati teh dan udud. Itu kesenangan yang sering kami nikmati.

Mulyono tahu saya senang baca buku, dan kadang meminjam beberapa buku koleksi saya. Tapi belakangan dia mengatakan, “Aku lebih suka dengerin penjelasan kamu langsung, lebih cetho (jelas), dan lebih mudah dipahami. Kalau baca buku, aku sering bingung karena isinya terlalu ketip (tinggi, mengawang-awang).”

Karena itu pula, kalau kami ngobrol, topik obrolan kami biasanya “agak ilmiah”. Mulyono tipe orang yang suka belajar, tapi dia lebih senang belajar dengan berinteraksi langsung—bukan dengan membaca buku—dan ngobrol dengan saya, menurutnya, memuaskan kesenangan belajarnya.

Sampai sekarang Mulyono masih bekerja di pabrik batik, membuat desain batik. Di rumah, dia juga memanfaatkan waktu luang untuk bikin desain batik sendiri, lalu dijual ke produsen batik yang tertarik. 

Karena pertemanan saya dengan Mulyono telah berlangsung bertahun-tahun, keluarga Mulyono pun sangat mengenal saya. Beberapa waktu lalu, adik perempuan Mulyono menikah, dan saya pun datang untuk bantu-bantu. Belakangan, saat kami ngobrol seperti biasa, Mulyono menceritakan hal unik terkait adiknya.

“Adikku tuh dulu didekati dua cowok yang sama-sama baik,” ujar Mulyono, “satu cowok dari keluarga biasa, sosok sederhana, karyawan di pabrik tekstil, dan kalau ke sini naik motor. Sementara cowok satunya anak orang kaya, tipe anak muda kekinian, dan kalau ke sini naik mobil. Orang tua kami tentu lebih setuju dengan cowok kedua—yang anak orang kaya—tapi adikku milih cowok yang dari keluarga biasa.”

“Dan orang tuamu akhirnya setuju?” saya bertanya.

“Sebenarnya, semula agak keberatan dengan pilihan adikku. Ya gimana pun orang tua inginnya anak dapat jodoh yang terbaik. Di mata orang tuaku, cowok yang anak orang kaya tadi dianggap yang terbaik. Kalau bandingannya sama-sama baik kayak tadi, tentu orang tua akan milih gitu, kan? Tapi akhirnya ortu setuju, dan adikku pun nikah dengan cowok yang sederhana tadi. Nah, menurutmu, kenapa adikku milih cowok itu, padahal cowok satunya lebih segala-galanya?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Kalau kedua cowok itu sama-sama baik—khususnya di mata adikmu—meski mereka beda latar belakang, kemungkinan paling logis karena cowok pilihan adikmu jelas ngasih kepastian, sementara cowok satunya tidak ngasih kepastian.”

“Tepat sekali!” Mulyono tersenyum senang. “Itulah yang dulu dikatakan adikku, kenapa dia mantap milih cowok yang sekarang jadi suaminya.”

Malam itu, sambil menikmati udud, kami kemudian bercakap soal kepastian dan ketidakpastian hidup. 

“Kenapa perempuan sangat butuh kepastian?” tanya Mulyono.

“Bukan hanya perempuan. Sebenarnya, kita semua—laki-laki atau perempuan—juga butuh kepastian, terkait hal-hal dalam hidup kita.” Setelah mengisap rokok sesaat, saya melanjutkan, “Nyatanya, satu-satunya hal yang bisa dipastikan dalam hidup manusia cuma kematian. Sementara lainnya—sejak lahir sampai jelang kematian—adalah ketidakpastian-ketidakpastian. Kita tidak pernah bisa memastikan apapun. Karenanya, orang selalu tertarik pada hal-hal yang bisa dianggap pasti atau memberi kepastian. Terkait adikmu tadi, semua perempuan menginginkan kepastian, khususnya kepastian akan dinikahi pria yang dia suka. Karenanya, yang ganteng dan kaya bisa jadi kalah dengan yang biasa-biasa saja tapi ngasih kepastian jelas.”

Mulyono mengangguk setuju.

Saya melanjutkan, “Jangankan perempuan dan urusan menikah, yang bisa dibilang terkait jam biologis, wong kita semua pun sebenarnya hidup di antara ketidakpastian, dan sangat menginginkan kepastian. Umpama kamu bikin desain batik, dan kamu tawarkan ke dua pihak. Pihak pertama bersedia bayar satu juta, secara cash. Sementara pihak kedua berani bayar dua juta, tapi entah kapan bayarnya, tak ada kejelasan. Kamu akan pilih mana?”

“Pilih yang pertama, yang bayar satu juta tapi cash.”

Saya tersenyum. “Tepat seperti itulah kehidupan kita semua. Kita menghindari ketidakpastian, dan memilih yang ngasih kepastian, bahkan jika nilainya lebih kecil. Karena sesuatu yang kecil tapi pasti, jauh lebih baik daripada sesuatu yang besar tapi tidak pasti.”

Kami menyeruput teh di gelas, lalu mengisap udud. 

Mulyono bertanya, “Jadi, kenapa kita butuh kepastian?”

“Ya karena hidup adalah ketidakpastian,” saya menjawab. “Kita semua sangat menginginkan kepastian, karena hidup kita adalah rangkaian ketidakpastian. Menurutmu kenapa jutaan orang rela bekerja seharian, dari pagi sampai sore, dan terus melakukannya setiap hari? Karena ada kepastian bahwa mereka akan dibayar atau digaji, dan dengan gaji itu mereka dapat melanjutkan hidup dengan baik. Jika tidak ada kepastian apapun, mereka tidak akan sudi menghabiskan waktu seharian untuk bekerja. Kalau pun mau bekerja, mereka akan bekerja ogah-ogahan, karena tidak ada kepastian. Itu contoh paling sederhana. Di antara ketidakpastian-ketidakpastian hidup, manusia membutuhkan kepastian. Karena dengan kepastian itulah manusia menjalani hidup.”

Mulyono manggut-manggut.

Saya melanjutkan, “Tidak usah jauh-jauh sampai urusan kerja atau perkawinan, wong aku mau keluar rumah, lalu datang ke tempatmu sekarang, karena ada kepastian bahwa kamu ada di rumah, lagi selo, hingga kita bisa ketemu. Kalau tidak ada kepastian apapun—misal tadi aku chat kamu, tapi tidak ada balasan—aku juga akan ragu-ragu datang ke sini. Kemungkinan besar, aku akan tetap di rumah, dan melakukan hal-hal yang jelas dan pasti.”

“Kenapa orang menghindari ketidakpastian?”

“Karena ketidakpastian bisa sangat menyiksa. Kalau kamu dimasukkan di suatu ruangan kosong, misalnya, dan tidak diberi tahu kapan bisa keluar, kamu bisa gila! Karena ketidakpastian mematikan harapan, padahal harapan adalah energi vital kehidupan. Orang termotivasi melakukan sesuatu karena adanya kepastian. Jika kepastian dihilangkan, orang akan kehilangan harapan. Dan jika harapan dihilangkan, orang akan kehilangan semangat hidup. Itu sama seperti kamu bekerja di suatu tempat tanpa diberi kepastian kapan mendapat gaji, kamu pasti akan frustrasi.”

Mulyono berkata, “Omong-omong soal kerja, aku jadi ingat sesuatu. Dulu, setelah kamu keluar dari pabrik, ada orang baru yang masuk, namanya Umar. Sekitar setengah tahun kami kerja bareng, lalu Umar keluar, karena ditawari bayaran dua kali lipat dari tempat lain. Waktu itu, sebenarnya aku juga ditawari hal yang sama, tapi aku memilih tetap kerja di tempat yang sama. Nah, bagaimana dengan kasus semacam itu? Jika alasannya adalah mencari kepastian, kenapa Umar keluar dan pindah ke tempat lain, sementara aku tidak?”

“Sebenarnya itu sama saja,” saya menjawab. “Bedanya, kamu memilih kepastian yang bersifat ideologis.”

Mulyono bengong. “Apa lagi itu?”

Saya menjelaskan, “Kamu sudah bekerja di pabrik itu selama bertahun-tahun, dapat bayaran layak, punya hubungan baik dengan majikan, dan tidak pernah ada masalah. Semua hal itu menciptakan sesuatu yang bersifat ideologis, atau kesetiaan. Kamu setia pada tempat kerjamu. Karenanya, ketika ditawari bayaran lebih besar, bahkan dua kali lipat, kamu memilih tetap bekerja di tempat yang sama. Waktu itu, mungkin kamu berpikir bahwa bekerja di pabrik lain memang dapat bayaran lebih besar, tapi belum tentu kamu akan nyaman seperti di pabrik yang lama, dengan majikan yang baik, dan lingkungan kerja yang menyenangkan. Lagi pula, kamu juga mungkin berpikir, lama-lama bayaranmu di pabrik itu juga akan naik sendiri seiring waktu. Kamu berpikir begitu, kan?”

Mulyono mengangguk. “Sejujurnya, ya. Aku memang berpikir begitu.”

“Nah,” saya melanjutkan, “Umar—temanmu tadi—tidak punya pikiran dan pengalaman seperti kamu. Bagaimana pun, dia baru kerja setengah tahun, belum punya hubungan dekat dengan majikan maupun tempat kerjanya. Karenanya, ketika mendapat tawaran dua kali lipat dari tempat lain, dia tidak pikir panjang dan langsung pindah. Karena dia tidak mempertaruhkan apapun sebagaimana yang kamu alami, dan dia memburu kepastian, dalam hal ini bayaran yang lebih besar.”

“Sebenarnya,” kata Mulyono, “waktu dapat tawaran itu, aku sempat ngobrol dengan Umar, dan sejujurnya aku tertarik dengan tawaran tadi. Cuma, aku merasa bersalah kalau harus meninggalkan tempat kerjaku untuk kerja di tempat lain hanya gara-gara masalah bayaran.”

“Itulah yang disebut ideologis, sudut pandang dan kesetiaan pada sesuatu yang kamu percaya.” Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Kamu sudah bekerja di pabrik yang lama bertahun-tahun, dapat bayaran yang memungkinkanmu hidup layak, dan kamu punya hubungan baik dengan majikan, serta tidak ada masalah apapun. Kamu percaya pada majikanmu, sebagaimana majikanmu percaya kepadamu. Semua itu menciptakan ideologi dalam pikiranmu bahwa kamu bisa hidup baik-baik saja dengan tetap bekerja di tempat itu, dan tetap setia pada majikanmu. Sementara Umar tidak—atau belum—punya keyakinan ideologis seperti kamu, sehingga dia enteng saja meninggalkan tempat kerjanya untuk bekerja di tempat lain yang menawari bayaran lebih besar.”

Mulyono mematikan puntung rokok di asbak, lalu berkata, “Di antara aku dan Umar, terkait kisah itu, manakah yang benar dan yang salah?”

“Kalau melihat latar belakangnya, menurutku tidak ada yang benar atau salah, karena kamu maupun Umar sama-sama punya pertimbangan sendiri-sendiri. Intinya kan sama saja, kalian menginginkan kepastian. Umar mengejar kepastian finansial, kamu setia pada kepastian ideologis. Yang salah itu kalau, misalnya, kamu bekerja di tempat yang tidak nyaman, dengan bayaran sangat kecil, sementara majikanmu sewenang-wenang, dan kamu tetap bertahan di sana padahal ada tawaran yang memberimu bayaran lebih besar dan kehidupan yang lebih pasti.”

Mulyono mengangguk-angguk. “Jadi, kalau dipikir-pikir, kita sebenarnya hidup dengan mengejar kepastian, ya?”

“Ya,” saya menjawab. “Karena hidup kita adalah ketidakpastian-ketidakpastian, sehingga insting alami kita selalu mencari dan mengejar kepastian. Dan kita lebih memilih hal-hal biasa tapi pasti, daripada hal-hal luar biasa yang tidak pasti. Analoginya sama seperti kamu menawarkan desain batik tadi. Kamu akan memilih yang bayar satu juta tapi cash, daripada dua juta tapi entah kapan bayarnya.”

Mulyono berkata, “Kalau aku boleh mengambil kesimpulan, artinya cara paling mudah menarik orang lain adalah dengan memberinya kepastian?”

Saya tersenyum, “Kamu bisa menanyakannya pada adikmu.”

Related

Hoeda's Note 8407026818515483646

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item