Kebaikan yang Menimbulkan Dampak Buruk

Ilustrasi/bola.com
“Kebaikan akan mendatangkan kebaikan,” kata pepatah terkenal. Dulu saya percaya pepatah itu, tapi belakangan mulai meragukan dan mempertanyakannya, setelah melihat realitas yang terjadi. Ada orang-orang yang melakukan kebaikan, dan yang datang kepadanya bukan kebaikan serupa, tapi malah beban batin yang bahkan dapat dibilang dampak buruk. 

Saya akan membatasi uraian dalam catatan ini, dan hanya membahas hal-hal yang terkait uang—sesuatu yang mungkin juga dialami oleh banyak orang di mana-mana. Karena topik dan cerita ini agak riskan, saya akan menyamarkan semua nama dalam catatan ini, namun peristiwanya saya ambil dari kejadian nyata. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita bersama.

Hafidz punya kakak perempuan yang telah menikah. Si kakak perempuan punya anak laki-laki, bernama Eki. Seperti umumnya orang lain, Hafidz sangat menyayangi Eki, keponakannya. Sebegitu sayang, Hafidz sampai sering mengajak Eki ke swalayan, lalu membelikan apa saja yang diinginkan si keponakan. 

Ketika Eki lulus dari TK, kakak perempuan Hafidz (ibu Eki) bilang ke Hafidz kalau Eki mestinya melanjutkan sekolah ke SD, tapi dia dan suaminya tidak ada biaya. Melihat kondisi keluarga kakak perempuannya waktu itu, Hafidz pun tergerak membantu. Pertama, karena dia belum punya tanggungan keluarga sendiri, dan kedua karena dia juga punya penghasilan cukup.

Maka, Hafidz lalu membiayai pendaftaran sekolah Eki, keponakannya, dan mengurus semua biaya sekolahnya. 

Sebenarnya, waktu itu, Hafidz berpikir bahwa dia hanya akan membantu biaya sekolah Eki di masa-masa awal, dan selanjutnya urusan itu akan diambil oleh kakak perempuannya, yang merupakan orang tua Eki. Tetapi, bayangan Hafidz keliru. Belakangan, kakak perempuan Hafidz seperti mengandalkan dia untuk mengurus semua biaya sekolah Eki. Kapan pun Eki butuh membayar sesuatu terkait urusan sekolahnya, bocah kecil itu akan meminta pada Hafidz. Dalam hal itu, Hafidz menyadari kalau Eki pasti disuruh ibunya.

Sampai di situ, Hafidz masih berbesar hati. Bagaimana pun, yang dia bantu adalah kakaknya sendiri, dan yang ia bayari sekolahnya adalah keponakannya sendiri. Jadi, Hafidz berusaha mengikhlaskan semua kebaikan itu. Seiring waktu, bisa dibilang Hafidzlah yang membiayai sekolah Eki, bukan kakak perempuannya yang merupakan orang tua Eki. 

Lalu, suatu ketika, Hafidz menikah. Semula, dia tetap berusaha menyisihkan penghasilannya untuk membiayai sekolah Eki, keponakannya. Namun, belakangan hal itu menimbulkan masalah. Waktu itu, Hafidz dan istrinya mulai punya anak, dan butuh biaya lebih banyak. Ketika istri Hafidz tahu suaminya harus menanggung biaya sekolah keponakannya, si istri meminta Hafidz agar hanya fokus pada anaknya sendiri, yang juga butuh biaya. 

Dengan berat hati, Hafidz menemui kakak perempuannya, dan terus terang mengatakan bahwa dia tidak bisa lagi membiayai sekolah Eki, karena sekarang harus membiayai anaknya sendiri. Menurut Hafidz, kakak perempuannya waktu itu hanya mengatakan, “Iya, tidak masalah.” Tapi belakangan Hafidz mendapati kalau kakak perempuannya seperti “memusuhi” istri Hafidz.

Kisah ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, tapi sebenarnya terjadi di mana-mana. Kamu berniat baik pada kakak atau adikmu, dalam bentuk membiayai sekolah keponakanmu, lalu kakak atau adikmu jadi seperti mengandalkanmu, bahkan menganggap biaya sekolah anaknya adalah tanggung jawabmu selamanya. Ketika kamu menghentikan bantuan itu, kakak atau adikmu jadi seperti “tidak terima”, dan timbul masalah. 

Padahal, niat awalmu baik, ingin membantu. Tapi kebaikan dan bantuanmu malah dianggap sebagai kewajiban yang harus terus menerus dilakukan.

Dulu, kisah-kisah seperti ini jarang terungkap, karena rata-rata orang menyimpannya sendiri, dan orang-orang lain tidak tahu. Tapi kini, setelah ada media sosial, apalagi TikTok, kisah-kisah semacam ini bermunculan, dan ternyata ada banyak orang yang mengalaminya, di mana-mana. Niat baik malah menimbulkan masalah, kebaikan malah mendatangkan dampak buruk. 

Masih terkait niat baik, kita masuk pada kisah kedua, tentang seorang pria bernama Haikal. Seperti umumnya orang lain, Haikal juga sering menikmati kebersamaan dengan teman-temannya, sesama pria, dari makan bersama sampai traveling bersama. 

Masalahnya dimulai suatu waktu, ketika Haikal makan bersama teman-temannya di suatu tempat. Seusai makan, semua temannya tidak ada yang tampak punya inisiatif membayar, dan sama-sama saling menunggu yang lain berinisiatif terlebih dulu. Dengan niat baik, Haikal menggunakan uangnya untuk membayar semua makanan waktu itu, dan berpikir, “Mungkin lain kali ada yang gantian membayar.”

Tetapi, sejak itu, setiap kali mereka makan bareng, teman-temannya menunggu Haikal yang membayar. Sampai cukup lama Haikal mendapati kondisi itu, dan dia akhirnya sadar kalau teman-temannya seperti mengandalkan dia setiap kali makan bersama. Bahkan ketika mereka traveling, teman-teman Haikal hanya membayar biaya perjalanan masing-masing, tapi urusan makan tetap mengandalkan Haikal.

Lama-lama, karena tidak nyaman dengan kondisi itu, Haikal pun mengurangi kebersamaannya dengan teman-teman, dan lebih sering menikmati kesendirian. 

Pertemanan memang menyenangkan, jika masing-masingnya punya kesadaran dan pengertian untuk saling berbagi. Namanya juga kebersamaan. Sesekali kita yang mentraktir, di lain waktu kita yang ditraktir. Itu menyenangkan, dan makin mengeratkan pertemanan, karena saling berbagi dan saling pengertian. Tapi kalau dalam pertemanan tidak ada saling pengertian, lama-lama akan ada pihak yang tidak nyaman, dan pertemanan bisa bubar.

Dalam kasus Haikal, dia memang mengalami dampak buruk, yaitu renggangnya pertemanan gara-gara tidak ada kesadaran dan saling pengertian di antara teman-temannya. Tapi ternyata ada kisah lain yang memberi dampak lebih parah—kebaikan yang justru mendatangkan dampak buruk.
  
Farid punya usaha kecil atau UMKM. Namanya usaha kecil, penghasilannya juga rata-rata kecil. Namun, sebagaimana umumnya usaha lain, ada waktu-waktu ketika usahanya naik drastis, dan dia mendapat penghasilan besar, lalu turun lagi. Namanya usaha, tentu ada naik dan turunnya. Ada masa ketika dapat keuntungan besar, juga ada waktu ketika hasilnya pas-pasan atau malah merugi. Siapa pun yang punya usaha pasti tahu dan mengalami hal yang sama.

Suatu waktu, ketika usahanya dapat banyak keuntungan, dan jumlahnya mencapai nishab (batas minimal harta yang wajib dikenai zakat), Farid pun menghitung berapa zakat yang harus dikeluarkan. Setelah itu, dia membagikan zakat pada masyarakat di kampungnya. Dia juga berdoa, semoga usahanya selalu lancar, agar bisa terus membagikan zakat pada masyarakat sekitarnya.

Namun, seperti yang disebut tadi, namanya usaha kadang naik dan kadang turun. Setelah satu tahun mengalami kenaikan, tahun berikutnya usaha Farid mengalami penurunan. Sebegitu turun, sampai Farid agak kebingungan. Beda dengan tahun sebelumnya, hasil usahanya kini hanya cukup untuk menghidupi kesehariannya. Karenanya, tahun itu pun dia tidak mengeluarkan zakat seperti tahun sebelumnya.

Sebenarnya, bagi Farid, masa-masa sulit itu biasa. Namanya hidup, kadang senang dan kadang susah. Kadang banyak uang, kadang pula kehabisan uang. Yang membuatnya sakit hati adalah ketika ia mendengar ceramah ustaz di masjid dan mushala yang seperti mencerca dan menuduhnya tidak mau bayar zakat. 

Mungkin, ustaz-ustaz itu mengira usaha Farid lancar terus, naik terus, untung terus, dan mengira Farid akan membagi zakat secara rutin setiap tahun. Dan ketika Farid tidak membagi zakat, ustaz-ustaz itu menuduhnya kikir, bakhil, tidak mau membagi zakat, dan aneka tuduhan lain. Padahal waktu itu usaha Farid sedang turun, dan penghasilannya bahkan pas-pasan untuk kehidupannya.

Semua ceramah yang bernada mencerca itu didengar Farid ketika ia sedang kalut memikirkan hidupnya, ketika usahanya sedang macet, ketika ia dalam kondisi kebingungan. Dia pun sakit hati. Niat baiknya—membagi zakat ketika usahanya naik—ternyata malah berdampak buruk, mendatangkan aneka tuduhan yang menyakitkan.

Sejak itu, Farid memutuskan untuk tidak lagi membagi zakat ke masyarakat di sekitarnya. Beberapa tahun kemudian, ketika usahanya kembali lancar dan keuntungannya kembali mencapai nishab, dia membayarkan zakatnya lewat Baznas (Badan Amil Zakat Nasional). Lewat Baznas, Farid bisa membayar zakat tanpa ribut-ribut, dan tanpa masalah. Ketika suatu waktu dia tidak bisa bayar zakat—karena usahanya memang sedang turun—Baznas juga tidak banyak ribut.

Kisah-kisah di atas adalah contoh-contoh nyata betapa niat baik atau kebaikan ternyata bisa mendatangkan masalah atau bahkan dampak buruk. Orang yang berniat baik membantu keponakannya, malah diandalkan dan seolah bertanggung jawab atas biaya sekolah keponakannya. Orang yang berniat baik mentraktir teman, malah diandalkan untuk jadi pembayar makan teman-temannya. Dan orang yang berniat baik berbagi zakat pada masyarakat sekitarnya, malah dituduh macam-macam ketika sedang tidak bisa membagi zakat.

Semua kisah itu terjadi karena tidak adanya kesadaran dan pengertian—sesuatu yang mestinya dimiliki dan dipahami semua orang.

Kalau kakak atau adikmu membantu biaya sekolah anakmu, bukan berarti kemudian kamu bisa mengandalkannya terus menerus untuk membiayai sekolah anakmu, karena itu bukan tanggung jawab kakak atau adikmu. Itu tanggung jawabmu, karena dia anakmu!

Kalau sesekali temanmu mentraktir atau membayar makananmu, bukan berarti kemudian kamu bisa terus mengandalkannya untuk membayar makananmu. Dia temanmu, bukan orang tuamu! [Kecuali kalau temanmu miliuner yang memang tidak mau dibayari, dan harus dia yang membayar apapun—ada orang-orang semacam itu, dan kamu beruntung kalau punya teman seperti itu.]

Begitu pun, kalau seseorang punya usaha dan bisa membagi zakat di suatu waktu, bukan berarti kemudian kita bisa memastikan dia akan terus berbagi zakat! Namanya usaha, kadang naik dan kadang turun. Kalau suatu waktu dia tidak membagi zakat, bisa jadi usahanya sedang turun, dan hal terbaik sekaligus paling mudah yang bisa kita lakukan adalah membantu mendoakan, semoga usahanya membaik, agar bisa kembali berbagi zakat dengan sesama—bukan malah mencercanya dengan aneka tuduhan yang menyakitkan.

Related

Hoeda's Note 3516356362922155043

Posting Komentar

emo-but-icon

Recent

Banyak Dibaca

item